32.9 C
Jakarta

Senjakala Rezim Netanyahu dan Masa Depan Palestina

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahUlasan Timur TengahSenjakala Rezim Netanyahu dan Masa Depan Palestina
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Lebih dari satu dasawarsa lamanya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berkuasa di negeri yahudi tersebut. Pemerintahan serta pengaruhnya yang kuat menjadikan Netanyahu Perdana Menteri dengan masa jabatan terlama dalam sejarah Negeri Israel.

Netanyahu terpilih sebagai perdana menteri Israel dua kali pada masa yang berbeda. Untuk pertama kalinya pria kelahiran 21 oktober 1949 itu, terpilih sebagai perdana menteri pada usia yang relatif muda, 47 tahun, yaitu pada tahun 1996 hingga 1999. Kemudian, pada tahun 2009 Netanyahu terpilih kembali sebagai Perdana Menteri setelah sebelumnya berhasil merebut kursi ketua partai sayap kanan Israel, Likud, dan berkuasa hingga saat ini.

Perjalanan Karir Netanyahu bermula sejak ia bergabung menjadi anggota militer dan berhasil menyelesaikan beberapa misi yang ditugaskan kepadanya. Salah satunya adalah misi menyelamatkan jet penumpang Sabena yang dibajak di bandara Tel-Aviv. Sementara dalam bidang politik, ia pernah menduduki berbagai jabatan publik, mulai dari duta besar hingga menteri dan akhirnya perdana menteri.

Selama perjalanan karirnya, Netanyahu kerap kali tampil sebagai penentang kebijakan-kebijakan yang dianggapnya merugikan Israel dalam konteks perselisihan dengan Palestina. Bahkan saat ia menjabat sebagai perdana menteri, kebijakan-kebijakan yang ia keluarkan pun tidak sedikit yang merugikan Palestina.

Akhir Rezim Netanyahu

Sepandai pandainya tupai melompat pasti akan terjatuh juga, pun demikian Netanyahu, sepandai pandai ia bermanuver pasti akan lengser juga. Setelah 15 tahun berkuasa, kekuasaan Netanyahu tampaknya sedang berada di ujung tanduk, sebab kubu oposisi mendeklarasikan diri telah berhasil membentuk koalisi dan pemerintahan setelah Netanyahu gagal melakukannya (Reuters,2021).

Kubu oposisi yang dipimpin Yair Lapid berhasil menyatukan suara partai-partai kecil, termasuk partai Ra’am, yakni partai Arab-Israel yang dipimpinan politikus Muslim Israel Mansour Abbas. Selain itu,, Lapid juga mampu meloby partai Yamina yang beraliran ultranasionalis untuk bergabung dengan kubu oposisi, setelah melakukan “kesepakatan politik” soal rotasi kepemimpinan setelah dua tahun. Dengan demikian, peta koalisi politik telah berubah dan mengancam kekuasaan Netanyahu.

Dari skema politik yang telah dibentuk koalisi oposisi, Pimimpin partai Yamina yaitu Nafftali Bannett, akan dipasang menjadi perdana menteri pada paruh pertama, jika oposisi berhasil menggulingkan rezim Netanyahu. Kemudian pada paruh kedua, kursi perdana menteri akan diberikan kepada Lapid.

Jika diamati lebih dalam, tampaknya kegagalan Netanyahu dalam mempertahankan kekuatan rezimnya, salah satunya disebabkan oleh menurunnya kepercayaan publik (public trust) pasca dugaan kasus korupsi yang menimpanya. Terkait dengan kasus itu, Netanyahu tidak tinggal diam, berbagai upaya dan manuver ia lakukan untuk memulihkan public trust terhadap pemerintahannya. Salah satunya adalah dengan melancarkan serangan membabi buta ke permukiman warga Palestina di Ghaza beberapa pekan lalu. Namun hingga saat ini, persepsi publik tak kunjung membaik, ditambah lagi dengan semakin ruetnya permasalahan ekonomi Israel pasca diguncang pandemi Covid-19 yang membuat posisi Netanyahu kini kian terdesak.

Membaca Masa Depan Palestina

Perubahan peta politik dalam negeri Israel sepertinya juga akan berdampak terhadap situasi geopolitik kawasan timur tengah, termasuk terhadap dinamika relasi konflik Israel-Palestina.

Lengsernya Rezim Benjamin Netanyahu sebagai perdana menteri Israel setidaknya memberikan sedikit optimisme namun sekaligus pesimisme bagi warga Palestina. Netanyahu selama ini dikenal sebagai sosok yang tidak menghendaki adanya kesepakatan perdamaian antara Palestina-Israel. Jika kita flashback ke masa ketika terjadi gerakan intifada 1, yang berakhir dengan disepakatinya perjanjian Oslo, Netanyahu adalah orang yang paling keras menolak kesepakatan tersebut. Bahkan ia pernah memutuskan untuk mundur dari kursi menteri, sebagai bentuk protes atas ditariknya pasukan Israel dari Ghaza.

Namun disisi lain, kesepakatan kubu oposisi untuk mengusung Naftali Bannet menjadi perdana menteri pengganti Netanyahu merupakan kabar buruk bagi masa depan Palestina. Pasalnya, mantan menteri pertahanan itu dikenal sebagai orang yang enggan mengakui keberadaan negara Palestina. Bahkan ia pernah berkata bahwa “konflik (Israel-Palestina) tidak bisa diselesaikan tetapi harus di langgengkan.

Mantan Staff khusus Natanyahu itu malah pernah mengucap sumpah tidak akan menyerahkan satu sentimeter pun tanah Israel selama ia masih memiliki kekuasaan dan kendali. Melihat track record Bannet, rasa-rasanya akan sulit tercipta perdamaian di tanah para nabi itu. Palestina bak keluar dari mulut buaya, tetapi mulut singa siap melahap.

Namun demikian, di tengah pekatnya situasi semacam itu, selalu ada cahaya di ujung terowongan. Di tengah pesimisme itu, ada setitik harapan yang masih tersisa bagi perjuangan warga Palestina untuk menjadi negeri yang berdaulat, yaitu bergabungnya partai Islam-Israel, Ra’am, dalam koalisi yang akan menggulingkan kekuasaan Netanyahu. Sebagai partai Islam yang mayoritas anggota dan pemilihnya adalah warga Israel keturunan Palestina, kehadiran Ra’am diharapkan mampu mempengaruhi kebijakan pemerintahan baru nantinya.

Secara kalkulasi politik, perbedaan jumlah kursi yang tipis antara kubu Netanyahu (59 kursi) dengan oposisi (61 kursi), menempatkan partai Raam dengan perolehan 4 kursi pada posisi yang sangat menentukan. Jika oposisi berhasil menggulingkan Netanyahu, maka kebijakan-kebijakan politik partai Ra’am akan mempengaruhi langgeng tidaknya pemerintahan dalam formasi yang dibentuk oposisi nantinya. Secara kalkulasi, Abbas dengan partai Ra’am memiliki bergaining position pada koalisi partai-partai oposisi, wajar jika publik menaruh asa terhadap partai pimpinan Mansoer Abbas itu, untuk memperjuangkan kemerdekaan serta mewujudkan perdamaian di tanah Palestina.

Realitas politik tersebut merupakan variabel yang menentukan masa depan Palestina. Jika koalisi pimpinan Yair Lapid ini berjalan mulus dan partai Ra’am menjadikan isu Palestina sebagai platform perjuangan politik mereka, maka tidak mustahil perdamaian yang dicita-citakan akan terwujud dan tentunya akan memberikan secercah harapan bagi perjuangan palestina untuk menjadi negara berdaulat. Namun jika tidak, maka episode-episode kekerasan terhadap warga sipil di Palestina akan terus berlanjut.

Ahmad Hadi Ramdhani, Penulis adalah Analis Politik di TGB Institute.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru