26.9 C
Jakarta

Senja di Pelataran Pesantren (Bagian XXXIII)

Artikel Trending

KhazanahOpiniSenja di Pelataran Pesantren (Bagian XXXIII)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Senja berkejaran di pelataran pesantren. Seakan mimpi, mengingat awal kali memandangi menara masjid yang tinggi menjulang ke langit. Pertama tidak kerasan nan muak hidup di tengah keramaian pesantren yang tidak menyenangkan, hingga akhirnya hati tertambat pada sosok lelaki inspiratif, kendati sekarang konflik datang silih berganti.

Sore itu orangtua Diva datang bersama keluarga besar. Ada Fatimah, adik paling bungsu, dan ada Zainab, kakak paling tua. Mereka tiga bersaudara. Baru kedua kalinya Fatimah dan Zainab ikut Abah dan Ummi ke pesantren. Dulu saat mengantarkan Diva ke pesantren dan sekarang menjemput Diva berhenti dari pesantren.

Begitulah orang Madura dalam memondokkan dan berhenti dari pesantren. Saat mengantar ke pesantren, siapa pun yang mondok biasanya diantar oleh berpuluh-puluh masyarakat, sementara saat dipamitkan hanya keluarga besar saja yang sowan kepada Kyai, paling tidak orangtuanya. Saking bahagianya ada orang yang mondok, para tetangga menyuguhkan uang saku sambil berbisik, “Sedikit doang buat beli sabun.” Mereka tidak keberatan menyisihkan sebagian hartanya, sekalipun harta itu untuk makan hari ini. Karena, mereka berkayakinan orang yang belajar di pesantren akan menyerap barakah para Kyai yang menjadi dirindukan masyarakat Madura.

Air mata Diva tiba-tiba tumpah saat melihat Nadia, Adel, dan Hanum di depan mata. Abah dan Ummi sudah memahami suasana hati putrinya sedang bersedih meninggalkan sahabat-sahabat terdekatnya yang seakan-akan saudara sendiri. Abah dan Ummi merasakan hal sama saat dahulu berhenti dari pesantren. Bahkan, saking sedihnya , mereka tidak berhenti menangis di atas angkot.

Pesantren memang menyimpan barakah dan cinta yang dalam. Pesantren seakan cermin yang memantulkan cahaya kebaikan yang ditanam. Pesantren bukan tempat biasa semisal asrama, tetapi di sana hidup seorang Kyai yang rela bertapa, berpuasa, dan ikhlas menyisihkan waktunya untuk mendidik para santri.

Hati terasa perih karena sedih. Diva mengekspresikan dengan lelehan air mata. Nadia dan dua sahabatnya pun juga ikut menangis. Air mata tumpah menjadi saksi, bahwa mereka sahabat sejati. Sahabat tidak pernah meminta, tapi memberi. Suka dan duka dirasakan bersama. Karena, kata M. Quraish Shihab, “Sahabat adalah anda dalam sosok yang lain.”

BACA JUGA  Mengaktualisasi Idulfitri dalam Konteks Persatuan dan Kesatuan

“Kak, maafkan Diva jika banyak salah,” isaknya mengingat kenakalan yang telah diperbuat.

“Tiada manusia yang sempurna. Setiap manusia pasti memiliki kesalahan, entah disengaja atau tidak. Tidak jadi masalah kita berpisah sekarang. Yakinlah, di tengah perpisahan ini hanya mimpi yang akan menyatukan dan mempertemukan kita kembali.” Nadia berkata lirih seakan hati-hati berucap. Pesan bijaknya membangkit semangat dari kesedihan.

Masih ingat, jika mereka berempat memiliki mimpi besar, baik dari mimpi yang paling sepele sampai mimpi yang tidak terjangkau akal. Tapi, mereka yakin, bahwa yang terjadi adalah yang tertulis. Sehingga, semua mimpinya tercatat dalam lembar buku harian. Mereka bermimpi mencium tembok Ka’bah di Tanah Suci Mekkah dan mengelilingi seratus negara di dunia. Keberhasilannya yang telah dicapai sekarang karena mimpi yang tertulis.

Di tengah kuatnya persahabatan yang dibangun selama di pesantren, akhirnya mereka harus berpisah juga. Mereka berpelukan satu sama lain. Saling menitipkan pesan semangat. Setelah itu, Nadia, Adel, dan Hanum mencium tangan Abah dan Ummi begitu mereka pamit pulang. Ransel yang sesak dengan pakaian digendong. Bukunya ditata rapi dalam kardus dan dimasukkan ke dalam mobil.

Mobil bergerak pelan dan makin jauh. Diva mengintip di jendela mobil. Terlihat jelas wajah sahabatnya yang berdiri mematung dan menara cinta yang terus mengingatkan pada sosok lelaki yang mengajaknya mengintip senja berdua di tepi danau. Senja mulai samar-samar menghias bilik pesantren. Good bye, Annuqayah! Sampai jumpa nanti!, batinnya dalam-dalam.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru