26.1 C
Jakarta
Array

Seni Berdialog Antara Pengkaji Al-Qur’an Muslim dan Non Muslim

Artikel Trending

Seni Berdialog Antara Pengkaji Al-Qur’an Muslim dan Non Muslim
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sebuah dialog mampu menyajikan peluang untuk terjadinya pertukaran pikiran, pertukaran rasa, hingga kemampuan untuk mendapatkan inspirasi. Dalam kehidupan sehari-hari kita mampu menangkap banyak sekali ragam dialog, dari yang bertaraf sederhana seperti penjual dan pembeli yang memperjuangkan nilai jual barang di pasar, para mahasiswa yang berdemonstrasi menuntut keadilan atas ketimpangan kehidupan rakyat kepada pemerintah, hingga dialog yang tidak bersifat fisik, salah satunya adalah pertukaran pemikiran melalui karya ilmiah di dunia akademik.

Tentu dialog sangat dibutuhkan di era kontemporer ini, mengingat begitu kuatnya keberagaman di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya. Jika ruang dialog dipersempit atau bahkan dihilangkan sama sekali, bisa dibayangkan sekat-sekat tak berbingkai akan semakin mengkotak-kotakkan khalayak publik.

Salah satu etika berdialog yang tepat diawali dari kesediaan mendengar dengan baik untuk menghindari terjadinya kekacauan penerimaan informasi, dilanjutkan dengan pencarian dan pemahaman dalam duduk persoalan, dan yang tak kalah penting adalah memposisikan lawan bicara sesuai kedudukannya. Sebagian dari kita bermasalah dalam poin ini, yakni menghadirkan kemauan melihat permasalahan dari sudut pandang lawan bicara.

Meski terlihat sepele, gelaja tersebut bisa mengubah orientasi dialog yang awalnya bersifat terbuka untuk menerima kritik dan saran dari pihak lain, beralih menjadi kaku dan terkesan sepihak karena tetap menggunakan idealitas yang terbangun dalam pemahaman kita. Meski tidak selalu, gejala ini juga beberapa kali nampak sepanjang perdebatan para orientalis dalam menggali sejarah, isi, dan keautentikan al-Qur’an (Qu’anic Studies). Nah, siapakah orientalis itu?

Dalam disiplin ilmu ketimuran yang lebih sering disebut orientalisme dan disiplin ilmu barat yakni oksidentalisme terjadi gejala dialogis yang cukup menarik. Sebelum terjun ke ranah dialognya, perlu kita ketahui bahwa ranah pembahasaan orientalis cukup beragam. Dimulai dari kebudayaan, agama, kesusasteraan, sejarah, etnografi, dan masih banyak lagi. Dalam bentangan sejarah yang cukup panjang selama berabad-abad banyak    sekali tokoh orientalis bermunculan.

Dalam diskursus pembahasan al-Qur’an sendiri tokoh yang terkenal diantaranya Theodor Noldeke, Ignaz Goldziher, Richard Bell, Abraham Geiger, Angelika Neuwrith, Andrew Rippin, dan masih banyak lagi. Pada periode tertentu, Qur’anic Studies muncul sebagai proyek apologis missionaris yang bertujuan untuk  melakukan Kristenisasi. Namun, Qur’anic Studies  juga tak jarang didorong oleh proyek kolonialisme, dan seringkali semata-mata untuk memenuhi rasa ingin tahu.

Orientalis pengkaji al-Qur’an yang menggunakan pendekatan historis-kritis diantaranya adalah Theodor Noldeke dan Abraham Geiger. Mereka adalah sarjana barat yang berlatar belakang Yahudi kuat. Geiger mengkaji pada penekanan situasi dan kondisi masyarakat yang dianggap menjadi sumber isi al-Qur’an. “Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang luar biasa, hanyalah refleksi Muhammad tentang tradisi dan kondisi masyarakat Arab waktu itu, dan terbukti pula di dalamnya terdapat kombinasi berbagai tradisi, baik itu Yahudi, Nasrani, maupun Jahiliyah”, tambah Geiger.

Secara singkat Geiger hendak menyampaikan bahwa al-Quran adalah imitasi dari Yahudi. Dari sini nampak bahwa Geiger yang sesungguhnya adalah seorang rabbi dan tokoh intelektual dari Yahudi belum mampu melepaskan kacamata teologi Yahudi seutuhnya. Kecenderungan seperti ini tentu tidak terlalu sehat dalam tradisi akademik, dimana suatu permasalahan dikaji dengan kacamata ilmiah tanpa dicampuri latar belakang subyek yang menelitinya.

Begitupun dari pihak cendekiawan muslim, tidak akan mampu menjawab argumen dari Geiger dengan cukup menjustifikasi bahwa Al-Qur’an adalah kalam suci Tuhan yang tidak mungkin tercampur dengan tradisi apapun. Keautentikan al-Qur’an adalah sebuah kepastian, fakta tersebut tentu sangat final kebenarannya tetapi hanya berlaku bagi umat Islam. Fakta tersebut akan sulit dicerna pemeluk agama lain yang tidak mengajarkan tradisi seperti ini. Pada kenyataannya dogma agama belum cukup mampu menyelesaikan keresahan-keresahan dalam perselisihan pandangan keagamaan. Namun bukan berarti pula perdebatan dalam ranah agama tidak mampu dikupas oleh penelitian ilmiah sama sekali.

Jika kedua belah pihak dengan rendah hati bersedia melepaskan jubah identitas dan melihat suatu fenomena dengan pandangan jernih maka terciptanya atmosfer dialog antar agama yang sejuk bukan menjadi hal yang mustahil lagi. Cara berdialog seperti ini juga tak salah kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, karena pelepasan kepercayaan yang berlebihan sesungguhnya memiliki garis lurus dengan nilai-nilai toleransi.

Kita akan lebih mampu menghargai pendapat orang lain tanpa harus memunculkan stigma negatif dalam pemikiran kita hanya karena perbedaan latar belakang. Nilai seperti ini termasuk dalam salah satu nilai yang diperjuangkan oleh Gus Dur, dimana semakin tinggi ilmu seseorang maka semakin tinggi pula rasa toleransinya.
Wallahu a’lam bishshawab.

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru