31.4 C
Jakarta

Semakin Islami, Semakin Kritis Pada NKRI?

Artikel Trending

Milenial IslamSemakin Islami, Semakin Kritis Pada NKRI?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kritis merupakan sikap yang lumrah, bahkan harus, dalam demokrasi. Tanpa sikap kritis, demokrasi bisa keluar khitah. Kecintaan terhadap negeri tidak mewariskan pola pikir sami’na wa atha’na—karena ini negara, bukan pesantren. Kritis tidak berkenaan dengan predikat ‘ketaatan’ atau pun ‘pembangkangan’. Maka, ia bukan sesuatu yang tabu. Kritis pada NKRI justru bagian dari tugas menjaga negara, dan seharusnya, semakin kritis, itu tanda semakin besarnya kecintaan pada negara.

Namun, mengapa sikap kritis hari ini kerap diperdebatkan? Paling tidak ada dua alasan. Pertama, sasaran. Kerap kali yang menjadi sasaran kekritisan adalah presiden, wakil presiden, para menteri, dan para pejabat, bukan kebijakan mereka. Kedua, maksud tujuan. Tujuan dari sikap kritis tersebut kerap kali bukan untuk memperbaiki keadaan yang salah, tetapi untuk memperkeruh suasana. Pada dua alasan ini, kritis menjadi sesuatu yang tabu. Hari ini, buktinya, sikap kritis Cak Nun.

Budayawan Muhammad Ainun Nadjib atau biasa dikenal Cak Nun viral di media sosial. Pernyataannya dalam momen Mocopat Syafaat dan Tawashshulan di Tamantirto, Kasihan, Bantul, DIY, Selasa (17/1) malam, yang menyebut Jokowi sebagai Fir’aun dan Menko Marves Luhut Pandjaitan sebagai Haman, diprotes sejumlah pihak. Ruhut Sitompul misuh-misuh. Ali Ngabalin juga demikian. Sementara itu, warganet ada yang mendukung dan juga tidak sedikit yang mencela Cak Nun.

Memprotes pejabat negara di dalam forum dakwah Islam bukan kali pertama terjadi. Oleh karena pelakunya sering kali tokoh Muslim dan forumnya islami, muncul pertanyaan apakah keislaman seseorang memengaruhi tingkat kekritisan mereka. Apakah semakin islami seseorang, mereka akan semakin kritis pada NKRI? Apakah jika tidak kritis, itu artinya mereka tidak islami? Tidak hanya pada kasus Cak Nun, kasus lainnya juga bisa menjadi contoh.

Cak Nun, Mengapa Kritis?

Meskipun Cak Nun sudah klarifikasi bahwa dirinya kesambet, sikap kritisnya pada pemerintahan Jokowi tampak sejak sang presiden memasuki periode pertama pemerintahannya. Pada saat yang sama, Cak Nun juga kerap kali dianggap lebih dekat dengan oposisi dibanding dengan pemerintah. Bagi yang mengenal Cak Nun dan mengikuti rangkaian maiyah-nya, hal itu sudah jadi rahasia umum. Namun, Cak Nun kritis beserta guyonan-guyonan khas budayawan.

Namun terlepas dari itu semua, ia tidak diragukan lagi kecintaannya terhadap NKRI. Kontroversi yang tengah terjadi hari ini merupakan hal lumrah. Setiap budayawan memiliki gaya kritisnya sendiri. Sujewo Tejo, umpamanya, ia juga kerap melontarkan sikap kritis namun dengan bahasa yang halus hingga audiens mungkin mengira itu bukan kritik. Artinya, pada dasarnya, kritis atau tidak, yang bermasalah adalah hasrat untuk menguasai dan merombak negara.

BACA JUGA  Rajab, Bulan Penuh Pahala untuk Memerangi Khilafahisme

Cak Nun tidak demikian. Pendapatnya mengenai Fir’aun dan Haman tidak bisa menjadi patokan anti-NKRI. Sikapnya yang kritis dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik tertentu. Yang jelas, ia tidak kritis karena menganut ideologi transnasional, sebagaimana orang-orang HTI mengkritisi segala hal untuk memprovokasi rakyat versus pemerintah. Cak Nun kritis namun tidak bisa dihitung sebagai pemberontakan. Ia kritis karena budayawan memang style-nya demikian.

Sementara, dari perspektif tertentu, Cak Nun tidak bisa dibuat perpeloncoan bahwa semakin islami seseorang maka semakin kritis pada NKRI. Semua tergantung agenda besar di balik sikap kritis masing-masing. Cak Nun kritis karena budayawan, dan boleh juga karena tendensi politik masa lalu. Namun pejuang khilafah kritis karena ingin merebut kekuasaan. Perbedaan tersebut hari ini sirna dan dipotong rata bahwa sikap kritis bagian dari keislamian seseorang. Padahal tidak.

Sikap Kritis Pejuang Khilafah

Semua kelompok khilafah di negara ini kritis. Bahkan, kritisnya sampai melebihi batas. Namun, sekali lagi, Cak Nun tidak masuk pada rombongan tersebut. Sekilas memang Cak Nun dengan pejuang khilafah sama-sama islami, tetapi titik tolak dan ujung tombak kekritisan mereka sama sekali berbeda. Yang berbahaya adalah sikap kritis pejuang khilafah. Sebab, tidak hanya mengklaim paling islami, mereka menuduh siapa pun yang berbeda sebagai yang paling jauh dari Islam.

Maka, jika Cak Nun dilaporkan ke polisi karena terlalu kritis, masyarakat perlu juga ingat bahwa pejuang khilafah jauh lebih kritis. Cak Nun tidak akan makar, sekalipun ia punya puluhan ribu jemaah maiyah. Tetapi pejuang khilafah tidak; sikap kritis mereka adalah untuk mengumpulkan massa sekuat-kuatnya lalu kemudian melakukan makar. Mereka identik sebagai sosok islami tapi faktor sikap kritisnya berbeda. Pejuang khilafah punya motif yang Cak Nun tidak memilikinya.

Biar Cak Nun kritis. Ia budayawan. Masyarakat Indonesia tidak perlu reaktif seperti Ruhut Sitompul atau Ali Ngabalin. Sikap kritis ibarat mata uang koin. Ia punya dua sisi. Islami atau tidak, itu bisa dikamuflase. Cak Nun benar-benar sosok yang istimewa sehingga label islami sangat laik. Namun pejuang khilafah, mereka tidak benar-benar islami—hanya baju belaka. Maka, ihwal pertanyaan di judul; semakin islami, semakin kritis pada NKRI? Jawabannya jelas: tidak. Tergantung orang dan maksud terselubungnya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru