Pesan yang membuat kita terharu, munculnya ucapan, selamat hari raya Idul Adha 2020/1441 Hijriyah, dan merdeka Pancasila yang diucapkan oleh umat Islam hingga non-muslim sekalipun, kalimat demi kalimat, sampai detik ini masih menyelimuti sudut-sudut media sosial. Tentunya, pesan moral ini bertujuan untuk menata spirit toleransi, dan hubungan persaudaraan.
Sebagai komitmen simbolis-kultural, mewujudkan negara merdeka Pancasila, maka Idul Adha merupakan ajang penting dalam meraih cita-cita mulya, yaitu menagih janji konstitusi umat Islam dalam melindunginya dari guncangan ideologi transnasional. Dan paham kekerasan ekstrem (terrorism) adalah isu terpanas menyeruak di bulan kemerdekaan ini.
Sehingga Agustus, menjadi bagian investasi estafet tumbuhnya peradaban kemanusiaan di hari besar Islam ini (Idul Adha), meskipun hanya datang satu kali dalam setahun. Pesta keislaman tersebut telah mengukir sejarah kenabian memancarkan wahana yang indah. Jika sebelumnya, simpatisan khilafah dan kaum ekstremis sering memusuhi umat Islam/non-muslim yang membela Pancasila. Kini tibalah ruang konsensus.
Momentum inilah yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka bagi semua kelompok agama, simpatisan khilafah jelas kaum ekstremis. Mereka bilang Pancasila ideologi sekuler atau wasathiyah unlimited edition, tetapi, negara memang tidak memonopoli tafsir. Hanya yang harus dibatasi tindak kekerasan ektrem-radikal yang potensial menyisir toleransi.
Idul Adha dan era kemerdekaan Pancasila memang tampak terusik oleh agenda-agenda kudeta ideologi, keberadaan HTI yang rindu negara khilafah, sedangkan FPI rindu negara syariah. Lantas, mereka yang menggugat legitimasi, negara harus berdiam diri. Tentunya, tidak. Utamanya, umat Islam yang ikut andil dalam jasa perjuangan melalui representasi ulama.
Dengan intoleransi kelompok mereka, Pancasila seakan-akan tidak dimiliki, dan tertutup rapi. Ditambah lagi, sejarah tidak digali secara sumpurna sebagaimana hasil musyawarah para alim ulama dengan negarawan kita. Inilah bukti krisis keteladanan moral terjadi di area kelompok tersebut, sehingga FPI-HTI tidak memiliki kekuatan argumen secara historis.
Merdeka Pancasila
Pun, Yudi Latif (2020), mengatakan harus dipahami bahwa Pancasila itu menyangkut nilai-nilai pergaulan hidup (muamalah) dalam kebangsaan Indonesia majemuk. Adapun nilai-nilai ubudiya (keyakinan-keimanan, penyembahan, dan peribadatan) menjadi urusan rumah tangga agama-keyakinan masing-masing.
Dalam konteks ini, intoleransi dan kekerasan ekstrem pada ranah keyakinan maupun ideologi sangat rentan terjadi akibat terpapar radikalisme khilafah. Negeri yang harusnya hidup tentram, nyaman, dan damai. Malah dibuat pusing mengurus kelompok yang memberontak dan ingin mengkudeta ideologi. Parameter tersebut menunjukkan defacto ahistoris.
Dalam buku (Islam, dan Muslim di Negara Pancasila; 2017), sejarah hidup kiai Wahid Hasyim dan karangan tersiar yang ditulis Abu Bakar Aceh terbitan Kementerian Agama 1957 mengutarakan, kemerdekaan Indonesia berarti kemerdekaan kaum muslimin Indonesia. bahwa kemerdekaan Indonesia adalah satu syarat yang penting guna tercapainya kemerdekaan umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
Di sinilah, esensi syariat agama dapat dimaknai secara teologis, bahwa akidah atau keyakinan harus sesuai dengan agamanya masing-masing. Karena itu, Indonesia tidak akan merdeka tanpa jasa para ulama dan pendiri bangsa. Jadi, tidak mungkin kita bernegara tanpa konstitusi, dan ideologi. Sebab, konsep tersebut perlu menjadi landasan yang bersifat pasti (qat’i).
Agenda Idul Adha yang disusun oleh bulan kemerdekaan adalah momen berharga tidak hanya bagi umat Islam. Tetapi, non-muslim sekalipun. Artinya, di satu momen berlomba-lomba meningkatkan keyakinan dan keimanan pada Tuhan/Allah. Di waktu yang bersamaan, seluruh umat beragama menyadari akan pentingnya kemanusiaan, dan keadilan.
Pada hemat penulis, intervensi dalam konteks keyakinan (akidah) merupakan cermin buruk dan krisis keteladanan moral di kalangan umat beragama. Bagaimana mungkin, Pancasila yang final dan termaktub dalam kesepakatan atau perjanjian kebangsaan (al-mitsaq al-wathaniyah) masih saja dipersoalkan. Bahkan, ditantang oleh kelompok pendengung khilafah.
Jangan sampai ideologi selain Pancasila menjadi faktor utama dangkalnya batu pijakan dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila, dan mentransmisikan Islam dalam kultur keberagaman. Paling tidak, terobosan tersebut mampu menata toleransi di setiap golongan, dan memajukan umat yang berperadaban.
Delegitimasi Khilafah
Kelompok Islam ekslusif tidak jauh beda pola gerakan politiknya dengan FPI-HTI yang mencari legitimasi khilafah di atas Pancasila, dan kitab suci di atas konstitusi. Dua hal yang final ini selalu mereka anggap tidak relevan, dan menurut mereka menjadi penghambat formalisasi syariat Islam. Argumen tersebut wajib hukumnya diluruskan secara kompleks dan damai.
Menurut Munawir Aziz dalam penelitiannya terangkum dalam buku (Nadhlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan; 2010), ia mengatakan, politik kenegaraan. Politik ini dijalankan NU melalui keterlibatan wakilnya semisal kiai Wahid Hasyim dalam perumusan UUD negara (1945), dengan menyelamatkan Pancasila dari praktik ekslusivisme Islam. NU juga terbukti tidak terlibat berbagai pemberontakan.
Ulama sangat-sangat berjasa dalam memerdekakan Indonesia, dan Pancasila. Pelbagai jenis gangguan Islam radikal-ekstrem telah runtuh di tangan para ulama, tidak secara langsung. Perjuangannya dapat ditafsirkan, Pancasila adalah pusat membangun nilai-nilai toleransi, dan peradaban kemanusiaan di negeri ini. Untuk itu, kontribusi inilah yang belakangan mendeligitimasi khilafah.
Pada kali ini, dengan menjaga dan memperkuat Pancasila bukan berarti para ulama membungkam kelompok pro khilafah. Akan tetapi, karena terikat kesepakatan atau konsensus kebangsaan yang menjadi dasar hukum bagi siapa saja yang hidup di negeri ini. Mungkinkah kita selalu tidak toleran pada Pancasila? Jawabannya, ucapakan saja selamat Idul Adha dan merdeka Pancasila.
Melalui Idul Adha, komitmen menata hubungan persaudaraan dan persatuan semakin menguat, keberagaman yang awal mula dimusuhi. Kini mulai dicintai oleh sebagian umat beragama. Dan keteladan ini, selaras dengan yang menjadi cita-cita luhur di batang tubuh Pancasila, dan piagam Madinah, bahwa “innahum ummatun wahidatun min dunin nassi”. Artinya, sesungguhnya mereka satu umat, bukan dari (komunitas) manusia lain.