28.9 C
Jakarta
spot_img

Sel Tidur Kelompok Radikal-Teroris: Ancaman Laten di Tengah Kita, Waspadalah!

Artikel Trending

Milenial IslamSel Tidur Kelompok Radikal-Teroris: Ancaman Laten di Tengah Kita, Waspadalah!
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Jumat (27/12) pagi, langkah-langkah berat Densus 88 terdengar menyusuri jalan sempit Desa Jayaratu, Kecamatan Sariwangi, Kabupaten Tasikmalaya. Tujuan mereka adalah rumah sederhana milik seorang pria berusia 56 tahun, bernama Hamdan J., yang ternyata memiliki riwayat kelam tentang jaringan teroris era Orde Lama, yang pernah mengguncang Indonesia ketika itu, yakni Negara Islam Indonesia (NII).

HJ, begitu inisialnya disebut, seperti dilansir dari Detik, bukan sosok mencolok di masyarakat. Selama ini, ia lebih banyak menghabiskan waktu di luar kota, jarang berbaur, dan hanya sesekali terlihat ikut kerja bakti. Namun, di balik kehidupan yang terlihat biasa itu, HJ ternyata memiliki peran yang tidak biasa. Pistol seukuran pena, butir peluru, hingga buku-buku tentang jihad ditemukan di rumahnya di Desa Sukamaju, tempat ia tinggal sejak 2010.

Barang-barang itu mengisyaratkan, NII, meski banyak yang menganggapnya sebagai bayang-bayang masa lalu, masih menanamkan akarnya di masyarakat. Apalagi, Tasikmalaya, tempat HJ diringkus Densus 88, adalah juga tempat pendiri NII Kartosoewirjo mendeklarasikan negara Islam dan mengonfrontasi rezim Orde Lama. Artinya, seperti bara di bawah abu, gerilya NII tetap eksis dan bersembunyi di balik wajah-wajah yang tak disangka.

Menurut informasi aparat, HJ bukan eksekutor. Ia lebih menyerupai ‘Jenderal Bintang 4’, kalau diumpamakan jabatan di birokrasi pemerintahan. Namun, di balik ketidakterlibatannya dalam aksi operasional, peran HJ tak bisa diremehkan. Ia adalah bagian dari struktur yang membuat jaringan NII tetap hidup, meski tidak terlihat. Yang lebih mengkhawatirkan, penangkapan HJ mengungkap fakta lain yang mencengangkan.

Bayangkan, ia punya sepucuk pistol berbentuk pena, senjata kecil dengan kekuatan mematikan, yang artinya NII terus memperbarui cara mereka survive. Alat-alat semacam itu bukan barang bukti belaka, tetapi juga simbol dari adaptasi dan inovasi kelompok radikal-teror tertua itu untuk menjadi ancaman laten bagi Indonesia. Adalah ironi, bahwa kehidupan mereka paradoks: membuat masyarakat terbuai dalam rasa aman yang palsu.

Mewaspadai Sel-sel Tidur Kelompok Teror

Refleksi dari penangkapan HJ ialah bahwa ancaman NII, atau kelompok teror lainnya di tanah air, tidak akan hilang dengan mengandalkan aparat penegak hukum saja. Ada ideologi yang mesti dilawan dengan kontra-narasi dan edukasi kolektif ihwal sel-sel tidur terorisme. Tasikmalaya, yang telah jadi saksi awal lahirnya NII, kini kembali menjadi medan perjuangan melawan sisa-sisa jejak mereka.

Pertanyaannya, apakah aparat sudah cukup untuk membersihkan ancaman tersebut, atau diperlukan langkah berani untuk membentengi diri serta masyarakat dari ideologi yang menggerogoti dari dalam? Apa pun itu, penangkapan HJ adalah reminder yang menampar: ternyata sel-sel teror menyusup ke celah-celah yang tak pernah disangka. NII pun masih mengancam. Dan masyarakat, mau tidak mau, harus senantiasa waspada.

Istilah ‘sel tidur’ merujuk pada orang atau kelompok yang berhibernasi, tanpa aktivitas apa pun untuk sementara waktu, yang padahal mereka kelompok teror. Mereka tetap hidup di masyarakat, tetapi diam-diam mempertahankan ideologi dan jaringannya. Kasus HJ di Tasikmalaya adalah bukti riil sel-sel tidur NII, orang yang tampak biasa ternyata punya relasi struktural kelompok teror paling militan sejak lebih dari setengah abad lalu.

BACA JUGA  Industri Game Online: Ladang Subur Radikalisasi Anak Muda dan Solusi Mengatasinya

Prinsip sel tidur kelompok teror itu satu: meski gerakan strukturalnya melemah, ideologi dan gerilya bawah tanahnya terus bertahan. Ironisnya, NII bukan satu-satunya kelompok yang menggunakan strategi semacam itu. JI yang baru-baru ini mendeklarasikan pembubarannya di Solo, adalah contoh lain dari kelompok teror yang mengandalkan sel tidur untuk survive di tengah represi aparat dan pemerintah.

Selama beberapa dekade, JI telah menggunakan sel-sel tidur untuk menjaga jaringan mereka tetap hidup. Anggotanya menjalani kehidupan normal, bahkan ada yang menyamar jadi ustaz di YouTube, sementara secara diam-diam menyimpan ideologi dan melakukan kaderisasi. Artinya, sebagai kewaspadaan, deklarasi pembubaran JI tidak boleh serta-merta diyakini sebagai punahnya ideologi kelompok teror itu sendiri.

Selain NII dan JI, afiliasi ISIS juga jadi ancaman riil yang menggunakan strategi serupa. Simpatisan ISIS, baik yang ada di Indonesia maupun simpatisan kelompok jihadis HTS di Suriah, menunjukkan pola serupa. Mereka memanfaatkan propaganda digital, yang mereka sebut ‘jihad media’, untuk merekrut anggota baru dan meradikalisasi kelompok masyarakat teralienasi yang mudah didoktrin untuk menjadi teroris.

Mengupayakan Resiliensi Nasional

Penting dicatat, strategi sel-sel tidur kelompok teror hari ini memanfaatkan medsos. Mereka tak lagi memerlukan kontak langsung, cukup menyusup melalui platform daring, membangun narasi framing ekstremisme sebagai jihad, dan dakwah provokatif yang masif. Para simpatisan mereka beroperasi dalam bayang-bayang, menunggu momen yang tepat untuk bertindak, hingga membangun jaringan teror yang siap beraksi sewaktu-waktu.

Karenanya, sel-sel tidur itu membutuhkan pendekatan semi-represif cum pendidikan narasi kontra-radikalisasi, sebagaimana disinggung sebelumnya. Di situ, masyarakat perlu diberi panggung keterlibatan yang intens. Program-program strategis BNPT, seperti Desa Siapsiaga umpamanya, jadi salah satu contoh pelibatan masyarakat dalam upaya menciptakan resiliensi nasional. Namun, monitoring juga perlu dimasifkan di lini-lini daring.

Selain itu, pengawasan berbasis kelompok mesti direvitalisasi. Kasus HJ di Tasikmalaya kemarin menegaskan, masyarakat boleh jadi tak menyadari ancaman sekitar mereka. Pada saat yang sama, edukasi tentang cara mendeteksi kelompok radikal-teror dan membangun kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum merupakan langkah krusial untuk mewaspadai sel-sel tidur di satu sisi dan menciptakan masyarakat tangguh di sisi lainnya.

Ancaman sel-sel tidur seperti yang ditunjukkan NII, JI, afiliasi ISIS, dan lainnya merupakan realitas nyata, ihwal ideologi yang hidup di bawah permukaan. Untuk menghadapi ancaman tersebut, kewaspadaan kolektif, pendidikan, dan keterlibatan masyarakat tak dapat ditawar lagi. Kelompok teror adalah ancaman nyata yang tidak boleh disikapi secara lengah. Sebab, ketika masyarakat terlena, maka hanya soal waktu, aksi teror akan terjadi. Waspada.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru