Lagi-lagi, dan ini sudah kesekian kalinya, kita kecolongan oleh kaum radikal. Ismail Yusanto yang notabene Jubir HTI, ternyata merupakan pimpinan 22 Sekolah Islam Terpadu yang tersebar di berbagai kota se-Indonesia. Jenjang pendidikannya lengkap: SD-SMA. Yayasan Insantama yang Yusanto kelola ada di Bekasi, Makassar, Kendari, Ternate, Malang, Tangerang Selatan, Jember, Pontianak dan lainnya. Sementara pusatnya di Bogor: Insantama Pusat.
Sama sekali, ini bukan hendak mencipta stigma. Faktanya, Ismail Yusanto memang anti-Pancasila. Dia adalah amir HTI yang amir Hizbut Tahrir internasional lantik, maka kompromi terhadap Pancasila merupakan pengkhianatan. Di YouTube, Yusanto setiap hari berdakwah yang isinya mengkritik pemerintah di satu sisi, lalu menghubungkannya terhadap kritik sistem pemerintahan di sisi lainnya. Apakah selaku kaum radikal, dia tidak akan melakukan radikalisasi di sekolah yang dipimpinnya?
Sekolah Islam Terpadu, sebagai produk Orde Baru, tentu tidak bisa kita generalisir sebagai sekolah radikal. Ia tidak monolitik. Muhammadiyah juga punya pendidikan integratif semacam itu. Tetapi, yang jelas, semua sekolah berlabel ‘terpadu’ menerapkan dikotomi keilmuan: umum-Islam. Pendeknya, pelajaran Islam disatupadukan dengan pelajaran umum. Pelajaran Islam yang seperti apa? Kegamangan itulah yang kemudian jadi lorong besar masuknya radikalisme.
Kita tahu, kaum radikal sering kali memanfaatkan lembaga pendidikan umum untuk menyebarkan ideologi radikalnya: anti-Pancasila, kewajiban jihad, dan men-thaghut-kan NKRI. Mereka tahu, bahwa sekolah umum butuh nafas Islam, dan ketika pendidikan umum dipadukan dengan pendidikan Islam menjadi Sekolah Islam Terpadu, mereka beraksi. Mereka memanipulasi ideologi radikal sebagai ‘Islam’. dan dari manipulasi tersebut, indoktrinasi tersebar luas.
Kasus Ismail Yusanto ada di situ. Dia berusaha jadi representasi ‘Islam’ dalam pendidikan terpadu, yang nantinya akan mencekoki siswa dengan pelajaran Islam khilafah, jihad, thaghut, dan anti-Pancasila. Tak hanya HTI, Salafi-Jihadi juga banyak bermain di situ. Mereka semua, yang anti-NKRI, merusak generasi melalui jalur pendidikan manipulatifnya. Apakah sekolah binaan kaum radikal semacam itu hendak dibiarkan, memberikan musuh negara lahan melakukan indoktrinasi?
Anti-Pancasila Adalah Musuh
Ismail Yusanto, berdasarkan pendiriannya yang memusuhi negara, adalah musuh bagi negara itu sendiri. Dan sebagai musuh, dia tidak boleh dapat ruang gerilya sejengkal pun. Tetapi jika sudah terlanjur memimpin 22 sekolah bagaimana? Hanya ada dua solusi atas pertanyaan ini. Pertama, pengawasan terhadap sekolah tersebut. Kurikulum nasional tidak boleh absen dan pelajaran Islam yang radikal harus dibuang. Atau, kedua, memecat Ismail Yusanto dan para bawahannya yang HTI juga.
Pengawasan (monitoring) sekolah-sekolah sangat penting, karena banyak kasus sekolah menyelipkan ideologi anti-Pancasila dalam kurikulum mereka. Kurikulum anti-Pancasila yang dimaksud tentu beragam, mulai dari sekadar tidak peduli dengan NKRI hingga menyerukan konfrontasi. Meskipun tidak semua SDIT, SMPIT, dan SMAIT anti-Pancasila, tetapi nafas ‘Islam’ di lembaga-lembaga semacam itu patut ditelisik. Adalah miris jika siswa menjadi korban indoktrinasi sejak pendidikan dasar mereka.
Arah monitoring adalah upaya menyematkan kurikulum nasional. Pilihannya hanya dua: menerapkan kurikulum nasional dan pelajaran wajib tentang Pancasila, PKn, dan sejarah, atau membubarkan diri. Regulasinya bisa melibatkan Kemenag dan Kemendikbud, melalui kebijakan pelarangan izin lembaga pendidikan non-kurikulum nasional. Memaksa sekolah-sekolah binaan kaum radikal tersebut untuk mengajarkan nasionalisme, atau jika tidak, mereka wajib dibubarkan.
Sementara, pilihan memecat Yusanto sebenarnya juga tidak akan efektif. Dia hanya pucuk pimpinan. Di bawahnya, ratusan kader HTI mungkin sudah mengindoktrinasi siswa. Jadi sekalipun Yusanto tidak ada, radikalisasi tidak akan berkurang di sekolah binaan mereka. Mustahil ada sekolah yang dibina kaum radikal yang tidak menyematkan ideologi transnasional. Kalau setelah monitoring tetap tidak patuh terhadap regulasi, bubarkan!
Dikotomi ilmu umum (negara) dan ilmu Islam (agama) sebenarnya sudah tidak lagi penting. Faktanya, melalui dikotomi tersebut, penyalahgunaan lembaga pendidikan makin semarak. HTI hanya satu dari eksploitasi pendidikan lainnya yang belum terungkap. Organisasi lainnya yang anti-Pancasila, yang kesemuanya kaum radikal, yang bergerak di bawah tanah, dan belum terungkap pemerintah, membutuhkan regulasi khusus. Sebab, radikalisasi melalui pendidikan itu nyata.
Pendidikan sebagai Indoktrinasi Kaum Radikal
Sudah bukan rahasia, bahwa banyak kaum anti-Pancasila yang menyediakan pendidikan gratis. Mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Mereka tidak meminta apa pun kecuali loyalitas dan pengabdian dari peserta didiknya. Pendidikan, dengan demikian, adalah kaderisasi kaum radikal itu sendiri. Mereka yang telah terdoktrin sejak dini adalah kader militan di masa depan melalui investasi jangka panjang pendahulu mereka.
HTI, IM, dan kaum radikal lainnya banyak bergerak melalui pendidikan. Pendidikan jadi basis indoktrinasi mereka. Pengajaran khilafah dan anti-NKRI mereka sematkan dalam kurikulumnya, sementara pemerintah melalui Kemenag maupun Kemendikbud belum memiliki regulasi yang memaksa mereka menerapkan kurikulum nasional. Sekolah binaan kaum radikal yang kebanyakan menyediakan pendidikan gratis menambah minat masyarakat, tanpa tahu agenda di baliknya.
Insantama milik Yusanto adalah satu dari ratusan penyebaran radikal lainnya yang memerlukan antisipasi lanjut dan penguakan hingga ke akar-akarnya. Semua sekolah harus menerapkan kurikulum nasional, sebagai konsekuensi peneguhan wawasan kebangsaan. Sekolah-sekolah binaan Ismail Yusanto maupun kaum radikal lainnya, yang anti-Pancasila dan NKRI, jika tidak memegang teguh nasionalisme, bubarkan saja!
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…