29.1 C
Jakarta

Seketika Sendu

Artikel Trending

KhazanahOpiniSeketika Sendu
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Seorang ibu yang masih berusia muda itu tergerak untuk menceritakan pengalaman pahitnya dalam berumah tangga. Seisi ruangan hening dan hanyut dalam tangis yang tak mampu lagi dia tahan. Dengan suara terbata-bata ia selesaikan kisahnya. Dan suasana pun seketika menjadi sendu.

Hari ini aku mendapatkan pelajaran amat sangat berharga.

****

Siang tadi aku didapuk jadi salah satu narsum talkshow dalam rangka Rakornas LKK PBNU. Padahal awalnya sebagai moderator. Narsum lainnya adalah mbak Badriyah Fayumi dan mbak Alissa Wahid. Moderator jadinya mbak Ratu Dian Hatifah.

Bagianku adalah menjelaskan tentang konsep Keluarga Maslahah. Poin pentingnya antara lain adalah bahwa Islami tidaknya seseorang atau sesuatu itu hanya ditentukan oleh sejauhmana ia mencerminkan nilai Tauhid kepada Allah yang melahirkan kemaslahatan pada makhluk-Nya (Taqwa). Maslahatnya baik secara internal, maupun ekternal seluasnya. Maslahat tidak hanya bagi sendiri melainkan juga pihak lainnya. Tidak juga hanya untuk pihak lainnya, tapi juga untuk sendiri. Daya lenting maslahat makin luas, makin islami.

Orang, keluarga, masyarakat, dan Negara yang islami dengan demikian adalah ia yang maslahat (baik) pada diri/anggota keluarga/ masyarakat/ warga Negara sendiri tanpa kecuali, sekaligus pada diri/anggota keluarga/ masyarakat/ warga Negara lain seluas-luasnya atas dasar iman kepada Allah.

Keluarga Maslahah tentu saja diyakini sebagai keluarga islami. Karenanya, ia didefinisikan sebagai keluarga yang melahirkan kemaslahatan (kebaikan) pada seluruh anggota keluarganya tanpa kecuali, dan keluarga tersebut juga mampu melahirkan “kemaslahatan” seluasnya pada makhluk Allah, atas dasar tauhid atau iman pada-Nya.

Mbak Nyai Badriyah membawa konsep di atas dalam konteks Indonesia, termasuk konteks khusus radikalisme agama. Mbak Alissa lebih spesifik lagi membawa konsep tersebut dalam praktek berkeluarga sehari-hari.

Ketika sesi tanya jawab dibuka, salah seorang seorang peserta maju menuju mikrofon yang disediakan panitia. Aku yakin sebelumnya dia galau antara mau berbagi pengalamannya atau tidak. Syukurlah akhirnya ia memberanikan diri maju sambil minta maaf dirinya nervous.

Tujuh tahun lalu ia bercerai dengan suaminya. Lalu suami menikah lagi dengan perempuan lain dan memisahkan dua anak mereka dari dirinya. Lima tahun sejak bercerai, ia baru bertemu kembali dengan anak-anaknya. Ternyata mereka didoktrin oleh suami dan mertua untuk membenci ibunya.

BACA JUGA  Mendidik Anak, Membangun Bangsa: Belajar dari Ibunda Imam Syafi’i

Kini anak perempuan (si sulung) yang baru lulus SMA memutuskan untuk hidup sendiri. Lepas dari ayah maupun ibunya. Dia kecewa luar biasa dengan ayah maupun ibunya. Anak laki-lakinya yang sekarang kelas 5 SD juga tidak lagi bisa dihubunginya.

Pertanyaan ditujukan langsung pada mbak Alissa: “Apa yang harus saya lakukan? Saya ingin hidup bersama anak-anak saya, tapi saya tidak ingin berseteru dengan ayah dan mbahnya anak-anak?”.

Mbak Alissa merespon dalam kapasitas sebagai psikolog keluarga. Jawaban yang sangat bagus. Salah satu poin yang kuingat adalah ada banyak hal dalam hidup yang sering terjadi bertentangan dengan harapan kita, sedangkan ia bukan dalam kendali kita. Kalau kita terus berfikir kenapa saya diperlakukan seperti ini, maka energi kita akan semakin habis dan kita pun terus down. Padahal dalam situasi sulit kita justru perlu energi banyak.

Oleh karena itu, apapun masalah yang kita hadapi, kenali apa yang kita inginkan. Ibu misalnya ingin berkumpul dengan anak-anak kan? Fokuskan sepenuhnya energi yang ibu punya untuk berdoa dan berikhtiyar mewujudkannya. Insya Allah kalau kita fokus pada kebaikan, maka pertolongan akan datang dari arah yang tak disangka untuk terwujud.

Selama peristiwa ini terjadi aku kok jadi mikir ya. Apakah karena hal-hal seperti ini dianggap tabu untuk diceritakan akhirnya tidak diketahui banyak orang? Ketika sesuatu tidak diketahui, bukankah kecenderungan besarnya adalah dianggap tidak ada?

Waduh, jangan-jangan kekerasan seksual dianggap mengada-ada juga karena jarang yang mau menceritakan? Apakah mereka yang menolak perlindungan hukum pada korban kekerasan seksual akan kekeuh menolak setelah mendengar langsung suara korban aneka bentuk kekerasan seksual yang nyata-nyata mengalaminya termasuk dalam perkawinan? Apakah setelah masyarakat dan bangsa Indonesia ini sering mendengar suara-suara korban, mereka masih tega menjadikan kekerasan seksual sebagai bahan candaan???

Sekali lagi, jika menceritakan tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), apalagi kekerasan seksual dianggap aib, bukankah melakukannya jauh lebih aib? Mana yang lebih penting untuk dihentikan?

Terimakasih bu, atas keberaniannya untuk berbagi pengalaman. Semoga tidak lama lagi Allah memberikan pertolongan dari arah yang tak disangka-sangka.

Salam Flat,
Pamulang, 6 Oktober 2019
Nur Rofiah

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru