27.1 C
Jakarta

Sekarang Juga, Indonesia Butuh Sekularisasi Islam

Artikel Trending

Milenial IslamSekarang Juga, Indonesia Butuh Sekularisasi Islam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Jangan kaget. Saya kira sebagian dari Anda adalah orang Islam yang kagetan dan suka marah-marah tidak jelas. Negeri ini setiap hari dipenuhi narasi saling umpat, kebencian, saling klaim kebenaran, dan yang paling ujung adalah aksi teror ketika kekagetan tersebut tidak mendapat tanggapan. Saya di sini ingin memantik kesadaran reflektif Anda tentang apa yang dialami bangsa ini sekarang. Saya bilang, saat ini juga, negara kita Indonesia, butuh sekularisasi Islam.

Adalah fakta yang menarik, namun mungkin akan memerahkan telinga, bahwa paling sedikitnya lima tahun terakhir, wacana keislaman di Indonesia yang mengindikasikan cencervative turn, mewariskan kemunduran dan fenomena kekanak-kanakan. Gagasan pembaharuan bukan saja mandek, melainkan surut oleh kritik yang mengklaim diri sebagai kesalehan padahal aslinya kebodohan. Siapa pun boleh tidak setuju dengan ini, tapi memang begitulah faktanya.

Meminjam istilah Martin Riesebrodt dalam kuliahnya, Religion in the Modern World: Between Secularization and Resurgence, kita berada di fase resurjensi. Kemajuan Islam di masa lalu dipahami secara serampangan yang alih-alih memperbaiki keadaan ke arah maju, justru semakin memerosotkan citra Islam di seluruh dunia. Indonesia ikut ambil bagian dalam hal ini. Bagaimanapun, Islam adalah agama yang paling banyak dipeluk penduduknya.

Hari ini, umat Islam di Indonesia, terutama yang setiap hari bising dengan asongan khilafah, syariah, dan sunnah, yang masing-masing direpresentasikan oleh HTI, FPI, dan Salafi, juga kelompok afiliasi dengan mereka apa pun namanya, telah menjadi benalu yang tidak hanya menghambat kedewasaan bangsa dan kemajuan seluruh aspeknya, melainkan menciptakan iklim kejumudan dan ketegangan antarumat. Tidak perlu dipaparkan di sini betapa naifnya mereka.

Resurjensi Islam sering kali dikontraskan dengan sekularisasi Islam. Mereka yang merindukan kejayaan secara malu-malu menentang modernitas, sambil menikmati apa yang modernitas sediakan untuk mereka. Ekstremisme di negeri ini marak bukan karena mereka—para pelakunya—tidak berilmu, melainkan terjebak euforia abad pertengahan. Padahal, kemajuan Islam akan dicapai, satu-satunya cara, hanya melalui sekularisasi itu sendiri.

Sekularisasi: Memberantas Ekstremitas

Sekularisasi sudah ditawarkan Nurcholish Madjid alias Cak Nur setengah abad yang lalu, persisnya 1970. Seharusnya, wacana keislaman kita hari ini sudah matang, sudah progresif, dan tidak lagi dipenuhi percekcokan hal-hal sepele yang sangat jauh dari progresivitas. Apalagi setelah Cak Nur, pembaruan Islam di Indonesia sangat gencar. Keislaman-keindonesia terkonsep dengan matang dan tidak ada lagi resistansi, karena memang keduanya tak perlu dipertentangkan.

Sayangnya, wacana keislaman kita kembali konservatif lagi, persis dengan sebelum masa pembaruan Islam gencar dipromosikan oleh para intelektual tanah air. Sementara para pembaru generasi Cak Nur dan Gus Dur sudah banyak yang wafat, wacana mereka ditentang oleh generasi umat belakangan, terutama setelah Reformasi. Artinya, bersamaan dengan semakin sediktnya pembaru Islam, Reformasi menambah eskalasi arus konservatisme.

HTI, FPI, Salafi, Ikhwanul Muslimin, dan sekawanannya, marak di era pasca Orde Baru runtuh. Pada saat yang sama, pemikir Islam di Indonesia tidak ada yang sekaliber Cak Nur maupun Gus Dur. Gagasan sekularisasi Cak Nur, umpamanya, menjadi asing—sebagaimana saat ia kali pertama diucapkan Cak Nur dalam pidatonya. Generasi kita hari ini adalah generasi ekstrem; memiliki gairah keislaman yang kuat tapi minim ilmu. Ekstremitas menguasai medan.

BACA JUGA  Isu Kekacauan Politik, Senjata Indoktrinasi Aktivis Khilafah

Karenanya, sekularisasi Islam sangat urgen. Melalui sekularisasi yang oleh Cak Nur didefinisikan sebagai upaya “menduniawikan nilai-nilai yang semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan mengukhrawikannya”, profanisasi sesuatu yang aslinya profan akan mengembalikan agama ke tugas idealnya. Sekularisasi Islam yang demikian sama dengan pandangan untuk memelihara nilai lama yang baik, sembari menggali nilai baru yang lebih representatif.

Politik itu sifatnya profan, maka ia harus dikembalikan ke bentuk awalnya sebagai sesuatu yang profan, bukan dijadikan sesuatu yang sakral. HTI, misalnya, menjadikan khilafah yang jelas-jelas itu politik sebagai bagian dari syariat agama yang sakral. Itu adalah kebodohan. Para teroris menjadikan perang yang juga politis sebagai perintah syariat, itu sama kelirunya. Arus tersebut harus ditentang, dan sekularisasi Islam adalah jawabannya.

Ini tentu membutuhkan diskusi yang panjang. Namun di sini hendak diuraikan benang merah bahwa sekularisasi Islam bukanlah sesuatu yang menakutkan, sebagaimana dalam anggapan sejumlah kalangan hari ini. Politik harus diposisikan sebagai politik, bukan syariat. wacana yang sudah berusia setengah abad ini jangan sampai kalah pada arus balik konservatisme. Jangan sampai, negeri ini tidak damai karena umat Islamnya suka ribut sesama dan sentimental.

Muslim Sentimental

Pemerintah melalui kementeriannya sedang menggenjot moderasi beragama, baik menggunakan top to down atau down to top. Moderasi tersebut adalah bahasa lain dari netralisasi ekstremitas, yang sudah kadung menjadi penyakit umat Islam Indonesia hari ini. Islam ramah sedang gencar ditawarkan ke publik tidak lain tujuannya adalah untuk menetralisir cara berislam yang suka marah-marah dan mengidolakan ideologi transnasional.

Islam berasal dari tanah Arab, maka kita tidak boleh benci Arab—setidaknya untuk menghormati tanah kelahiran Nabi Muhammad. Namun, yang sakral dari Arab adalah Islamnya, bukan budaya jahiliahnya. Hari ini, budaya Arab tersebut dibawa ke Indonesia dan dianggap sakral. Orang Arab yang suka bertengkar sesama orang Arab pun, karena masyarakat mereka kental kesukuan, mau diadopsi ke Indonesia. Itu sangat naif, bukan?

Saya harus menegaskan bahwa sangat disayangkan gagasan pembaruan Islam tersendat oleh para pendatang baru yang jualan budaya jahiliah di negeri ini. Alih-alih melestarikan gagasan pembaruan dan mengembangkan Islam progresif, hari ini malah kita diseret paksa untuk ikutan seperti para pengganggu. Ke mana gagasan brilian yang Cak Nur, Gus Dur, dan para pembaru Islam di Indonesia wariskan? Mengapa kita lebih tertarik Islam transnasional?

Sekali lagi, sekularisasi Islam sangat mendesak untuk menjadi gaya hidup berbangsa kita, Indonesia. Sekularisasi beda dengan sekularisme, dan kita jangan sampai salah paham—apalagi karena terprovokasi kalangan transnasional yang memang takut kita melakukan sekularisasi. Sekularisasi Islam adalah untuk menyelamatkan Islam dari para perampok yang berkedok membelanya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru