27.9 C
Jakarta
Array

Sejarah Ketegasan NU Terhadap Anasir Radikal Ekstrem Kanan

Artikel Trending

Sejarah Ketegasan NU Terhadap Anasir Radikal Ekstrem Kanan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sejarah Ketegasan NU Terhadap Anasir Radikal Ekstrem Kanan*

Oleh: Dr. Ainur Rofiq al-Amin*

Saifuddin Zuhri memaparkan,  pada tanggal 7 Agustus 1949, Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo memproklamasikan  “Negara Islam” di salah satu daerah di  Tasikmalaya. Selanjutnya lebih dikenal dengan  Pemberontakan Dl/TII. Pemberontakan ini diikuti  Ibnu Hajar di Kalimantan pada  Oktober 1950. Dia menamakan gerakannya sebagai bagian dari Dl/TII Kartosuwiryo. Kemudian disusul pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi pada  Januari 1952 yang juga menyatakan, daerah Sulawesi Selatan adalah bagian dari “Negara Islam”-nya Kartosuwiryo. Hal inilah yang mendatangkan citra Islam sebagai anasir radikal dan ekstrem kanan. Terciptanya citra “Islam sebagai ekstrem kanan” itu dirasa arnat berat bagi umat Islam Indonesia. Inilah tugas berat NU selaku partai politik yang saat itu baru lahir untuk mengikis serta menanggulangi citra negatif yang bukan pembawaan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Munculnya  DI/ TII ada kaitan dengan perjanjian Renville yang dirasa merugikan Indonesia. Selanjutnya pemerintah Indonesia pada tahun 1960 memerintahkan  Kodam VI Siliwangi untuk memadamkan pemberontakan.

Ada cerita menarik terkait dengan kisah DI/TII di atas seperti yang diceritakan oleh KH Ahmad Hasan dari Tambakberas. Setelah selesai ngaji rutinan Ahad Pahing MWC NU Jombang Kota  di Masjid Roudlotul Muqorrobin Tunggorono (7/5/2017), beliau menyinggung tentang pelaku makar alias bughot.

Kata kyai Hasan,  “Saat itu Kyai Wahib Wahab kuliah umum fiqih siyasah di Tambakberas, beliau mengatakan bahwa pelaku makar harus diperangi.”

Lalu apa kaitannya dengan DI/TII? Kiai Hasan menjelaskan,  sebelumnya saat DI/TII memberontak,  Presiden Soekarno  sempat ragu untuk memadamkannya. Sebab DI/TII itu sesama muslim. Namun Kiai Wahib Wahab menjawab tegas. Beliau mengutip QS. Al Hujurat ayat 9 yang  menegaskan pelaku makar wajib diperangi. Kenapa pelaku makar wajib diperangi? Karena mereka merusak tatanan. Itulah alasan KH.  Wahib Wahab.

Ketegasan KH.  Wahib Wahab ini sebangun dengan keputusan NU dalam menyikapi pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Pada tanggal 10 Februari 1958 diadakan rapat raksasa di Padang.  Sebelum rapat raksasa itu didahului oleh suatu pertemuan antara Letkol Ahmad Husein, Kolonel Simbolon, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Dahlan Djambek dan Letkol Samual. Pertemuan yang berlangsung di Sungai Dareh, Sumatra Barat, itu juga dihadiri oleh tokoh-tokoh Masyumi Mohammad Natsir, Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr. Burhanuddin Harahap dan Syarif Usman. Selanjutnya di sungai Dareh pada tanggal 15 Februari 1958, Letkol Ahmad Husein memproklamasikan berdirinya “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI) disertai pembentukan Kabinet PRRI dengan Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai perdana menterinya. Proklamasi PRRI diikuti oleh proklamasi Permesta di Indonesia Timur (Sulawesi Utara). Pemberontakan PRRI itu dijawab dengan operasi militer.

Hal yang perlu diketahui, sebelum pemadaman ini,  pemerintah merasa perlu dapat sokongan. Dalam hal ini, NU dengan tegas mengutuk pemberontakan PRRI yang disponsori oleh pimpinan Masyumi dan PSI itu.  Beberapa pihak menilai bahwa Statemen PBNU terhadap Pemberontakan PRRI dikeluarkan agak terburu-buru. Memang hal itu sengaja dilakukan agar pemerintah jangan sampai didahului oleh golongan lain (golongan kiri). Sebab kalau sudah didahului oleh kaum kiri, tentu kesannya seolah-olah pemerintahan  ini telah dikuasai PKI dan menjalankan politik PKI, sebagaimana dipropagandakan PRRI di luar negeri.

Hal ini menunjukkan bahwa para pimpinan NU telah memiliki kepekaan dan naluri yang tajam dalam menghadapi situasi politik yang genting seperti itu. Benar, setelah keluar statemen NU, besok paginya keluar statemen dari kelompok  komunis. NU tidak mau didahului PKI dalam hal ini.

Ada beberapa alasan yang bisa dipahami dari ketegasan NU tersebut. Pertama, PRRI telah mencoba mencapai  cita-citanya dalam negara dengan menggunakan kekerasan, hal ini yang tidak bisa diterima.  Selain itu sikap NU juga untuk menghindari agar umat Islam seluruhnya tidak didakwa telah menyetujui PRRI. Kedua,  supaya pihak luar negeri jangan menganggap pemerintah kita ini betul-betul di bawah pengaruh PKI. Ketiga,  kalau pihak asing terutama AS dan Inggris terkena propaganda kelompok Masyumi-PSI yang mengatakan Indonesia telah dikuasai PKI, maka hal tersebut sangat berbahaya, sebab itu yang ditunggu musuh. Dengan alasan untuk memukul PKI, maka pasukan asing bisa masuk ke negara kita. Padahal tujuannnya bukan memukul PKI tetapi untuk mengukuhkan dominasinya atas ekonomi Indonesia.

Sekalipun NU  mendesak pemerintah agar bertindak tegas terhadap pemberontak PRRI, namun PBNU tidak tinggal diam dalam mengatasi dan menolong korban PRRI. Untuk menjalankan tugas ini PBNU Mengutus KH. Mushlih dan KH. Abdul Madjid dan lain-lain untuk membantu korban dengan menyumbang logistik, makanan dan obat-obatan serta menggerakkan warga Nahdliyin di Sumatera Tengah dan Sumatera Barat untuk menyelamatkan harta benda mereka, termasuk masjid dan madrasah yang ditinggalkan lari ke hutan. Ini semua merupakan tanggung jawab kita pada bangsa dan negara ini.

*Diolah oleh Ainur Rofiq Al Amin dari sumber:

– KH.  Saifuddin Zuhri,  Berangkat dari Pesantren

– KH.  Abdul Mun’im DZ,  KH. Abdul Wahab Chasbullah,  Kaidah Berpolitik dan Bernegara

– Wawancara dengan KH.  Ahmad Hasan Tambakberas pada tanggal 8 Mei 2017

– Rajif, Khilafah DI/TII

*Penulis adalah dosen UIN Surabaya

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru