26.2 C
Jakarta

Seharusnya Khalid Basalamah Belajar Berdakwah kepada Wali Songo, Bukan kepada Mereka

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanSeharusnya Khalid Basalamah Belajar Berdakwah kepada Wali Songo, Bukan kepada Mereka
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Penceramah Khalid Basalamah lagi-lagi menuai kontroversi. Setelah beberapa waktu silam penceramah ini dipersoalkan isi ceramahnya yang mengharamkan musik, melarang lagu kebangsaan Indonesia, menghukumi haram hormat kepada bendera merah putih, hingga melarang ziarah kubur disertai membid’ahkan maulid Nabi, kini ia juga dipermasalahkan isi ceramahnya yang mengharamkan wayang.

Pertanyaannya, benarkah wayang itu diharamkan seperti yang disebutkan Khalid Basalamah? Sebelum menjawab pertanyaannya ini, saya teringat dengan dakwah Wali Songo, tepatnya Sunan Kalijaga yang menggunakan wayang untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Sunan Kalijaga melihat wayang ini dapat dijadikan sarana dalam mendekati masyarakat dalam berdakwah. Karena, hampir masyarakat menyukai wayang, sehingga menolak wayang tak ubahnya kata pepatah: Mengembek di kendang harimau. Maksudnya, dakwah yang dilakukan tidak bakal diterima, karena dianggapnya dakwah disampaikan itu terkesan pemaksaan. Padahal, dakwah dan pemaksaan itu berbeda.

Khalid Basalamah yang mengharamkan wayang, bahkan menyarankan wayang dimusnahkan, merupakan langkah yang kurang tepat—jika enggan berkata “keliru”. Menghapus dakwah sama halnya menghapus budaya yang sangat dijaga di negara plural ini. Apalagi, wayang di Indonesia sudah mendapatkan pengakuan dari UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) atau Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Menghapus wayang kemudian diganti dengan saran Khalid Basalamah untuk menjadikan Islam sebagai budaya, bukan menghadirkan budaya ke dalam Islam, adalah sesuatu yang sangat kaku dalam melihat esensi agama itu sendiri. Saya masih ingat pesan guru saya Prof. M. Quraish Shihab yang menyebutkan dalam bukunya Islam yang Saya Anut, bahwa yang tidak boleh diubah dalam Islam adalah esensinya atau ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Sementara, bentuk untuk mengekspresikan dari ajaran ini berkembang dan relevan dalam setiap situasi dan kondisi. Semisal, Islam menganjurkan beribadah di masjid, tapi Islam tidak mengatur bentuk masjidnya. Bebas pemeluk agama ini membangun masjid, baik mulai gaya tradisional hingga gaya modern.

Mengharamkan, bahkan memusnahkan wayang dalam berdakwah mengisyaratkan bahwa Islam tidak terbuka terhadap perkembangan budaya. Padahal, Islam yang sebenarnya sangat terbuka terhadap budaya yang berkembang. Buktinya, menara yang dibangun di beberapa masjid bukanlah berasal dari Islam, tetapi diadopsi dari menara gereja dan mercusuar pantai sebagai tempat menara pengawas. Selain itu, kubah masjid yang sesungguhnya berasal dari bangunan gereja di Eropa Timur yang digunakan sebagai corak arsitektur. Bahkan, bedug yang digunakan di sekian masjid bukanlah berasal dari Islam, tetapi berasal dari India dan Cina.

BACA JUGA  Lebaran Ketupat dan Makna Filosofis yang Dapat Kita Petik

Menjadikan menara, kubah, bedug, bahkan juga wayang dalam beribadah mengisyaratkan bahwa Islam ini adalah agama yang sangat terbuka terhadap budaya manapun, baik budaya itu berasal dari dalam Islam maupun dari luar. Masih ingat nasehat Prof. Quraish Shihab tadi, bahwa Islam tidak mempersoalkan bentuk, tapi Islam hanya fokus pada esensinya. Selagi menara, kubah, dan bedug yang jelas-jelas berasal dari luar Islam tidak dipersoalkan selagi esensi yang melekat di dalamnya tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.

Dalam kasus yang lain, persoalan boleh tidaknya menghadirkan budaya luar ke dalam Islam tidak jauh berbeda dengan melakukan shalat di dalam gereja. Kasus ini akan direspon keras—bila enggan berkata “diharamkan”—oleh beberapa kelompok karena mereka tidak memahami esensi shalat yang dilakukan di dalam penjara tadi. Mereka mengharamkan, karena gereja bukan masjid, padahal Nabi menyebutkan: Bumi dijadikan untukku sebagai masjid dan alat bersuci. Di mana saja seseorang menemui waktu shalat hendaklah shalat di situ. (HR. Bukhari dan Muslim).

Membatasi Islam menyerap budaya-budaya luar secara tidak langsung mengekangnya. Islam yang dibatasi ini akan berbahaya terhadap masa depan Islam yang pasti dihadapkan dengan zaman yang terus-menerus berkembang. Islam akan menjadi tertutup, sehingga mudah mengharamkan, mengkafirkan, dan membid’ahkan. Persis gaya Islam semacam ini dengan Islam yang disebarkan oleh kelompok Wahabi. Kelompok ini sangat berbahaya bilamana dihadapkan dengan spirit Islam yang harus terbuka terhadap perkembangan budaya.

Khalid Basalamah, apalagi dia sebagai pendakwah, hendaknya menghadirkan dakwah yang relevan dengan perkembangan budaya di mana dakwah itu disampaikan agar dakwahnya lebih membumi dan dapat diterima. Semestinya, Khalid Basalamah belajar berdakwah kepada Wali Songo yang sangat terbuka dengan budaya-budaya di mana mereka berdakwah. Mereka tidak gampang mengharamkan, apalagi mengkafirkan budaya-budaya tersebut.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru