31.1 C
Jakarta

Sebulan Insiden KM50; FPI Masih Buta Kebenaran

Artikel Trending

Milenial IslamSebulan Insiden KM50; FPI Masih Buta Kebenaran
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tepat sebulan yang lalu, senin (7/12/2020) dinihari, enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) tewas ditembak polisi di Tol Jakarta-Cikampek KM 50 Karawang, Jawa Barat. Insiden KM50 tersebut hingga kini masih dalam investigasi. Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, Komnas HAM akan mendasarkan kronologis peristiwa itu dari hasil pengecekan kamera pengawas (CCTV) Jasa Marga, serta hasil uji balistik dan uji forensik.

“Ya, pasti (menjelaskan runtut kronologis). Insya Allah, pekan ini. Paling lambat, awal pekan depan,” terang Taufan melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Senin (4/1) lalu, seperti dilansir Tempo. Pihak Polri juga memberi keterangan yang tidak tebang pilih. Dari 83 orang yang diperiksa, 4 di antaranya adalah anggota Polri. Dari kabar yang beredar, kasus tersebut telah ditangani secara serius dan intensif. Tetapi, tuduhan miring kepada eparat-pemerintah tak juga mereda, utamanya dari FPI itu sendiri.

Seharusnya, berdasarkan keterangan tersebut, hari ini hasil investigasi sudah diumumkan. Toh berdasarkan berita yang beredar, Komnas HAM sudah mengantongi semua bukti kunci. “Kami punya rekaman yang lebih lengkap dibandingkan yang beredar di sosial media. Durasi kalau yang ada di WhatsApp sekitar 22 menit begitu, terus ada rekaman juga sekitar tiga menitan, berarti sekitar 25 menit,” ujar Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara.

Baiknya, jika memang suah lengkap bukti, hasil investigasi segera diumumkan. Penembakan enam laskar tersebut merupakan insiden yang sangat menyakitkan, terutama bagi FPI. Sakit hati yang tidak akan mereka lupakan ialah karena setelah Imam Besar-nya dipenjara, organisasinya dibubarkan, kasus yang menimpa mereka juga dianggapnya tidak melalui proses yang sigap dan transparan. Maklum kemudian di Twitter tagar #KomnasHAMpa trending—kritik kepada Komnas HAM itu sendiri.

Dampaknya, kebencian FPI (Front Persatuan Islam?) jika dibiarkan akut akan melarutkan mereka dalam kebutaan melihat kebenaran. Jika hasilnya tidak sesuai yang diharapkan, misalnya ditemukan bahwa polisi tidak melakukan pelanggaran hukum dalam insiden KM50 tersebut, maka mereka akan menolaknya betapapun itu adalah kebenaran. FPI tidak ingin apa-apa selain menjebloskan polisi ke penjara, sebab dari awal mereka yakin bahwa insiden KM50 murni adalah extrajudicial killing.

Insiden KM50 Extrajudicial Killing

Banyak pihak yang menyayangkan insiden KM50 karena seolah mengulang sejarah kelam Orde Baru. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menganggap penembakan enam laskar FPI sebagai extrajudicial killing, alias pembunuhan di luar hukum, yang jelas-jelas tidak dapat dibenarkan. Menurut KontraS, senjata kepolisian digunakan hanya untuk melumpuhkan saja, bukan membunuh. Apalagi beredar informasi bahwa pembunuhan tersebut dilakukan di dalam mobil.

Felix Nathaniel dalam esainya di Tirto berjudul “Penembakan Anggota FPI & Extrajudicial Killing yang Terus Berulang” mengatakan bahwa insiden KM50 telah menambah daftar pembunuhan di luar hukum yang dilakukan aparat Negara. Nathaniel mengutip Kaufman dan Weiss bahwa tanpa kontrol dan pengawasan, insiden semacam itu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. Pada saat yang sama, tidak ada yang bisa menghentikan itu karena penegak hukum memiliki aturannya sendiri.

BACA JUGA  Melawan Otoritarianisme-Radikalisme dengan Tradisi Kritisisme

Dalam konteks demikian, maka insiden KM50 mesti diselesaikan secara adil, tanpa menguntungkan pihak tertentu. Jika hasil investigasi menunjukkan kekeliruan penegakan hukum oleh polisi, maka proses hukum terhadapnya mesti segera direalisasikan. Dan jika sebaliknya, hasil investigasi menemukan fakta bahwa anggota FPI berada di pihak yang salah, FPI harus menerimanya. Salah satu cara terbaik menyelesaikan polemik ini ialah terima atas apapun hasil investigasi—tanpa tuduhan yang tidak-tidak.

Kita harus melihat kasus ini secara utuh. Extrajudicial killing tentu tidak bisa dicari pembenarannya. Itu mutlak. Masalahnya, investigasi masih belum menemukan hasil akhir. Sangat disayangkan jika kebencian kepada aparat-pemerintah membuat FPI tak bisa berlaku adil, dan proses hukum insiden KM50 diproyeksikan untuk balas dendam belaka. Karena, jika demikian, hasil investigasi yang sudah sebulan itu tidak membebaskan mereka dari kebutaan kebenaran tunggalnya.

Tuduhan Sebelum Hasil Investigasi

Faktanya, proses hukum insiden KM50 diusut FPI bukan untuk mencari fakta, melainkan menjebloskan polisi yang melakukan penembakan. Ketika mereka berencana membawa kasus tersebut ke mahkamah internasional, itu artinya mereka tidak punya kepercayaan sama sekali kepada pemerintah. Komnas HAM yang selama ini dituding memihak mereka, jika pada akhirnya tidak bisa memuaskan hasratnya, akan juga dituduh berkomplot dengan penguasa zalim.

Menuduh pemerintah bermain sehingga apapun hasilnya jika tidak menguntungkan mereka itu dituduh curang adalah sikap yang tidak patriotik. Memaksakan kehendak proses hukum untuk menyudutkan pihak tertentu adalah pelanggaran terhadap hukum itu sendiri. FPI selaiknya tidak berproses dalam hukum lantaran dendam, melainkan keadilan. Betapa buruk jika setiap hari masyarakat disuguhi narasi bahwa enam laskar FPI yang meninggal dalam insiden KM50 dianiaya, dibantai semena-mena.

Sudah sebulan kita menunggu hasil. Dan selama itu pula, narasi miring ihwal insiden KM50 masih dimainkan FPI, termasuk dengan membuat rekonstruksi palsu yang disebarkan melalui siber opposite-nya. Itu artinya, FPI masih memercayai kebenaran tunggal, bahwa apapun hasilnya, polisilah yang salah, dan pemerintah melindungi mereka. Dengan kata lain, FPI masih buta kebenaran bahwa dalam kasus apapun, penegakan secara adil sudah ditempuh oleh pihak yang berwenang.

Sebulan kasus berlalu, tetapi selama-lamanya mereka akan berpegang kepada kebenaran egoistik: “Pokoknya insiden KM50 itu pembantaian dan hukum paling benar adalah balas dendam!

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru