27.3 C
Jakarta

Sebuah Harapan (Bagian VII)

Artikel Trending

KhazanahOpiniSebuah Harapan (Bagian VII)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Mengintip Senja Berdua – Dua hari seakan dua tahun. Pergantian waktu terasa lama dan membosankan. Diva dibuat galau menunggu balasan surat dari Fairuz. Pikiran bergelombang. Apakah surat itu sudah sampai di tangan Fairuz dan isi surat itu tidak berkenaan di hatinya? Ataukah surat itu masih di tangan pengurus keamanan karena dipersoalkan isinya? Hanya harapan yang terus dirapal.

Ayat demi ayat dibaca berulang-ulang, ditakrir sehingga bacaannya lancar dan meminimalisir kesalahan, karena nanti Diva akan menyetor bacaan Al-Qur’an surah al-Fatihah kepada Nyi Nuh. Diva duduk di belakang beberapa santri sembari menunggu giliran beberapa santri yang datang lebih awal dan menyetor bacaan lebih awal pula.

Mengaji Al-Qur’an di hadapan Nyi Nuh adalah suatu kebanggaan, karena tidak semua santri mendapat kesempatan semacam itu. Ngaji kepada pengasuh pesantren harus melewati beberapa tes seleksi yang ketat mulai dari pengurus bilik pesantren kemudian pengurus pesantren yang sudah mendapat amanat dari pengasuh. Diva memang santri baru, tapi kemampuan tahsin (bacaan Al-Qur’an) sudah dipandang baik sejak sebelum belajar di pesantren, karena di rumahnya, Abah dan Umminya saban hari mengajari Diva membaca dan menghafal Al-Qur’an. Impian terbesar Ummi, Diva menjadi hafidzah (penghafal) Al-Qur’an, sementara Abah mengimpikan Diva menjadi mufasir Al-Qur’an layaknya M. Quraish Shihab. Begitu besar impian orangtuanya yang menyatukan mimpi menghafal dan memahami kalam Ilahi yang kandungannya bak samudera yang luas.

Hari pertama setoran bacaan Al-Qur’an Diva kurang fokus karena surat yang dikirimkan beberapa hari kemarin. Diva tidak mengerti apa yang sedang dirasakan seakan tidak rasional. Mau mengadu ke Nadia rasanya malu. Mau curhat ke Adel dan Hanum takut digojlokin. Bingung rasanya. Hanya hati yang bisa mengerti ke mana perasaan ini berlabuh.

BACA JUGA  Menjaga Persatuan dalam Keberagaman Agama

“Diva Rizka Maulia.” Nyi Nuh memanggilnya samar-samar. Diva mendekat. Basmalah dibaca dan kemudian dilanjutkan membaca surah al-Fatihah.

Diva memabacakan penuh penghayatan ditambah menghayati pesan yang tersurat dalam surah itu. Rasanya seperti berbicara langsung dengan penuh harapan kepada Tuhan, pengarang Al-Qur’an. Betapa indahnya pesan Al-Qur’an. Al-Fatihah membuka pintu Diva semakin mencintai Al-Qur’an, bahwa di dalamnya terhidang aneka pengetahuan, baik pengenalan sifat Tuhan maupun permohonan manusia kepada-Nya.

“Khalash,” kata Nyi Nuh sontak.

Seketika itu Diva menghentikan bacaan dengan kalimat “Shadaqallah al-Azim.” Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya!

Diva tetap duduk. Terdiam dengan harapan cemas.

Nyi Nuh menatap Diva dengan mata yang berbinar-binar. “Masya Allah, saya bangga punya santri seperti Ananda Diva. Bacaan Al-Qur’annya bagus. Tajwidnya benar. Bahkan, makhrajnya pun tidak ada yang keliru. Apalagi orangnya cantik.”

“Syukran!” jawab Diva singkat sambil menundukkan pandangan. Tidak kuasa menatap wajah Nyi Nuh. Menatap wajah guru di pesantren adalah suatu ketidaksopanan.

“Besok pagi Diva bisa lanjut ke surah al-Baqarah.” Pesan Nyi Nuh membuat hati Diva lega, karena bacaan al-Fatihahnya dinyatakan lulus. Menyetor bacaan kepada sang guru di pesantren tidak akan dilanjutkan bilamana ayat yang telah dibaca belum dinyatakan lulus.

“Insya Allah!” Diva berucap singkat.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru