32.9 C
Jakarta

Seakan Mimpi

Artikel Trending

KhazanahOpiniSeakan Mimpi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

“Pemenang pertama, sekaligus presentator pertama adalah Diva Rizka Maulia, delegasi Pesantren Annuqayah Madura,” sebut seorang panitia yang menjadi master of ceremony pada acara Sayembara Menulis Nasional yang diadakan oleh kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Diva mematung, kaget, seakan ini semua mimpi. Tapi, ini benar-benar nyata. Antara percaya dan tidak. Setelah berkali-kali gagal, kini mimpi menjadi nyata (come true). I win, batinnya.

“Diva, Diva, Diva.” Suara penonton bergemuruh, menyesaki ruang Auditorium  Harun Nasution.

“Pemenang kedua, Nadia Nabila Nasywa, delegasi kampus Universitas Gadjah Mada.” Suara tepuk tangan makin menjadi-jadi. Siapa yang tidak kenal kampus terbaik ini?

Seorang MC melanjutkan, “Pemenang ketiga, Asma Fida Salsabila, delegasi kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.” Tepuk tangan penonton tak dapat dibendung.

“Kepada para pemenang lomba Sayembara Menulis dimohon untuk menaiki panggung kehormatan.”

Diva, Nadia, dan Asma bergegas melangkahkan kaki. Mata penonton semua tertuju kepada sang pemenang. Sorot kamera membidik dari beragam sisi, samping kanan, depan, dan samping kiri. Mereka tak ubahnya artis.

“Kepada Mas Fairuz, dimohon untuk memberikan kenangan-kenangan kepada tiga peserta pemenang,” panggil seorang MC.

Fairuz merasa ini kesempatan berharga bisa menatap bola mata Diva. Tak lama, Fairuz naik ke atas panggung diikuti seorang panitia yang membawa trofi dan medali mas. Dikalungkanlah trofi dan medali berharga kepada masing-masing pemenang.

Diva tidak kuasa menatap wajah Fairuz. Tak ada tabir yang menghalangi. Sungguh nyata. Seketika mencoba memandangnya seakan tidak kuasa melepasnya. “Kau ini siapa, Div? Jangan perbudak aku dengan paras wajahmu,” batin Fairuz dalam hati dalam-dalam.

“Kenapa kau mulai memenjarakanku lewat tatapanmu, Mas? No problem, aku sudah terbiasa terpenjara dalam kata-kata indahmu.” Diva membatin sembari menundukkan pandangan.

Tiada kata yang terucap, padahal tiada tabir yang membatasi mereka berdua. Mereka memilih diam. Hanya dua hati saja yang bisa berkata-kata.

“Jika kau adalah kesatria yang menunggu cinta di tapi danau, biarkan aku yang membawa cinta itu,” Diva melamun teringat mimpi kemarin sambil menggenggam trofi.

Begitu turun dan acara baru usai, semua penonton bertebaran. “Mbak Diva, Mbak Nadia, Mbak Asma,” seru penonton berdesakan minta foto bareng plus selfie.

Fairuz masih ngobrol dengan dua juri yang duduk di sampingnya. Diva merasa bahagia mendapatkan penghargaan ini. Penghargaan ini diperuntukkan buat Abah dan Ummi beserta para guru di Pesantren Annuqayah, termasuk Nadia, guru pertama menulisnya.

Beberapa wartawan meliput acara ini, termasuk mewawancarai Diva. Diva bercerita saat ditanya proses menulisnya sampai meraih penghargaan yang begitu bergengsi ini, bahwa prestasi digapai melalui ketekunan dan kesabaran. Diva pernah gagal berkali-kali mengikuti lomba menulis, tapi Diva terus bangkit sehingga kesuksesan itu baru digapai di sini. Membutuhkan waktu untuk menggapai impian. Tidak semudah membalikkan telapak tangan.

“Diva,” panggilan itu terdengar jelas dari arah sana, tidak jauh dari tempat Diva berdiri saat diwawancari beberapa wartawan.

Kepala Diva menoleh. “Fairuz,” desis Diva seakan tidak percaya.

“Mas, Mas Fairuz,” ucap Diva gugup.

“Selamat ya! Aku bangga, kau bisa membawa nama almamater kita, Pesantren Annuqayah, di ranah nasional,” puji Fairuz. Diva tersipu rasa malu.

Syukran, Mas. Diva masih belajar.”

“Aku denger presentasinya keren. Diva benar-benar menguasai sejarah perkembangan tafsir, termasuk di Indonesia. Bahkan, ayat-ayat yang dibacakan fasih banget.”

Diva tersenyum mendengar sanjungan seorang penulis hebat. “Habis ini Diva punya acara?” tanya Fairuz.

Kepala Diva menggeleng. “Tidak, Mas.”

“Bisa ikut jalan-jalan?”

“Dengan senang hati, insya Allah bisa.”

“Di sini ada lembaga yang dibangun pakar tafsir Indonesia M. Quraish Shihab.”

Tiba-tiba teringat cerita Abah dahulu, bahwa M. Quraish Shihab adalah sosok ilmuwan dan pakar tafsir yang prokutif menulis. Pandangannya moderat, tidak ekstrem. Beliau menganut pandangan Hujjatul Islam Al-Ghazali dan Imam Syafi’i yang mana kedua tokoh ini terkenal kemoderatannya. Mereka mampu mengawinkan teks dan akal, sehingga keduanya berjalan beriringan.

“Pusat Studi Al-Qur’an?”

“Benar.”

Pusat Studi Al-Qur’an adalah lembaga yang didirikan oleh M. Quraish Shihab pada tahun 2004. Tujuan lembaga ini untuk membumikan Al-Qur’an kepada masyarakat yang pluralistik. Lokasinya di Jl. Kertamukti No. 63 Pisangan, Ciputat. Berdekatan dengan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah.

BACA JUGA  Bahaya Besar Jika Gen Z Defisit Religiositas

Fairuz berjalan beriringan dengan Diva menuju lembaga tersebut. Fairuz sudah berkali-kali berkunjung ke lembaga ini, sementara Diva baru pertama kali.

Panas menyengat ditambah polusi udara transportasi yang berdesak-desakan di jalan raya dekat kampus.

“Naik mobil aja ya,” ucap Fairuz.

“Bukannya dekat, Mas?” tanya Fairuz.

“Memang, kalo jalan kaki lumayan pegal juga. Aku udah order gojek online.”

Beberapa menit kemudian menunggu di halte TrasJakarta dekat kampus, sebuah mobil Innova mendekat.

Kaca samping kiri mobil terbuka, seorang driver tanya, “Mas Fairuz?”

“Benar, Pak,” decak Fairuz kemudian masuk ke dalam mobil diikuti Diva. Mereka duduk satu kursi.

“Macet banget,” keluh Diva samar-samar.

“Beginilah Ciputat. Tiada hari tanpa macet.”

AC mobil menyembur mendinginkan tubuh yang berkeringat disengat terik matahari.

“Div.”

“Iya, Mas.”

“Masih ingat, Diva pernah ngirim surat dulu di pesantren.”

Surat itu mengingatkan Diva saat dahulu mengaguminya lewat tulisan yang dimuat di koran Jawa Pos.

Sorry, Diva tidak sopan ngirim surat ke santri putra.”

“Tidak. Suratnya bagus, kok. Kata-kata yang ditulis penuh kejujuran. I love that.

Diva terdiam. Malu. Speechless.

“Itu awal pertama kali Diva belajar nulis.”

“Sekarang kan udah jadi star.

“Ah, Mas Fairuz ngeledek ya.”

“Dulu Diva ngajak aku ngajarin Diva menulis. Sekarang aku yang minta diajarin.” Fairuz bersenda gurau.

Keakraban mulai terasa antara mereka berdua. Padahal baru bertemu, di sebuah acara pula. Entahlah, kadang keakraban itu datang secara tiba-tiba seakan hujan yang turun dari langit tanpa mendung.

Banyak cerita yang terbingkai. Tak terasa mobil memasuki halaman parkir. Fairuz dan Diva keluar mobil. Terbentang jelas di depan mata tulisan di pintu masuk Lentera Hati Pusat Studi Al-Qur’an.

“Ayo, Div,” ajak Fairuz.

Mereka masuk sembari melihat foto-foto yang terpajang di dinding. Ada foto M. Quraish Shihab saat meletakkan batu pertama pembangunan lembaga Pusat Studi Al-Qur’an. Kelihatan pula tulisan visi dan misi lembaga ini. Kerinduan bertemu pendiri lembaga ini semakin menjadi-jadi.

“Div,” seru Fairuz sambil menarik tangan Diva yang dari tadi tertegun melihat aneka foto, “Sorry, Div.” Fairuz tanpa sengaja menyentuh tangan Diva, padahal di pesantren berkhalwat saja tidak boleh. Anehnya, Diva tidak memberontak. Bahkan, yang melepasnya Fairuz sendiri.

Memasuki ruang perpustakaan di lantai tiga. Terlihat buku-buku berbahasa Arab, lebih-lebih buku tafsir.

Tafsir al-Mizan,” kata Fairuz sambil menunjukkan kepada Diva. Kertasnya sudah kusut, karena sudah bertahun-tahun mendekap di perpustakaan. Tapi, tak hinggap debu, karena setiap minggu banyak pengujung yang membaca kitab ini.

“Ini ternyata buku tafsir karangan Thabaththaba’i, panganut Syiah, yang banyak dikutip Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah?”

“Benar.”

“Karena mengutip buku tafsir ini, banyak pembaca mengklaim Quraish Shihab penganut madzhab Syiah.”

“Benar, Div.”

“Menurutku, nggak fair ya. Quraish Shihab kan ilmuwan. Seorang ilmuwan kan harus objektif. Tidak boleh memihak pada satu sumber saja. Kalo pembaca kritis dan membaca sampai selesai, Quraish Shihab tidak hanya mengutip Tafsir al-Mizan, tapi beliau juga ngutip al-Kasysyaf karangan az-Zamakhsyari, penganut Sekte Mu’tazilah dan tafsir-tafsir mazhab Sunni seperti Mafatih al-Ghaib karya ar-Razi, At-Tahrir wa at-Tanwir karya Ibnu Ashur, bahkan Tafsir Jalalain yang banyak dipelajari di pesantren.” Diva membantah tudingan pihak oposisi Quraish Shihab yang subjektif cara berpikirnya.

Buku-buku yang berderet rapi di rak adalah koleksi bacaan M. Quraish Shihab, saat bertahun-tahun menyelesaikan pendidikan sarjana sampai doktornya di Universitas Al-Azhar Kairo. Ada sekitar delapan rak lebih. Diva tidak sempat menghitungnya. Di rak yang lain berjajar rapi koleksi buku-buku yang ditulis Quraish Shihab. Ada sekitar enam puluh buku lebih. Di antaranya, Perempuan, Jilbab, Membumikan Al-Qur’an, Al-Lubab, bahkan Tafsir Al-Mishbah.

Di rak yang sama ada Sunnah Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Buku Quraish Shihab ini ditulis untuk mencari solusi persamaan dan perbedaan antara Sunni dan Syiah yang dari dulu sering berseteru. Masing-masing saling menuding dan menyalahkan. Sikap ini tidak diinginkan Islam yang menghendaki persatuan. Begitu buku ini launching, santri Sidogiri menyalahartikan maksud buku ini. Ditudinglah, Quraish Shihab penyebar paham Syiah. Pernyataan ini ditanggapai langsung sebagaimana disisipkan dalam pengantar cetakan terbaru buku ini. Quraish Shihab merasa kecewa mendengar komentar yang tidak objektif, antara lain, karena mereka tidak menelaah langsung atas beberapa bacaan atau sumber yang dikutip.

Buku-buku itu menginspirasi Diva untuk terus menulis, sehingga pada akhirnya melahirkan buku pula. Buku yang menginspirasi banyak pembaca. Tidak mau kalah dengan sosok Quraish Shihab yang produktif. Berpuluh-puluh karyanya sudah mendapat apresiasi di penjuru dunia, terutama di Nusantara. Merasa malu melihat produktivitas penafsir Nusantara itu. Dengan usianya yang sudah tua, semangat berkarya tetap hidup. Seakan-akan tiada hari tanpa menulis. Menulis sudah menjadi kebutuhan yang terus dirindukan.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru