Harakatuna.com – Ada satu video tentang biografi singkat Taqiyuddin an-Nabhani pendiri Hizbut Tahrir (HT). Di dalam video dikatakan kakek Taqiyuddin an-Nabhani dari sebelah ibu bernama Yusuf an-Nabhani.
Syekh Yusuf an-Nabhani ulama besar yang dikenal para kiai, ustaz, dan santri NU. Maksud video tersebut ingin menghubung-hubungkan antara Hizbut Tahrir dengan Nahdlatul Ulama. Apakah benar ada hubungannya?
Syekh Yusuf an-Nabhani seorang ulama terkemuka di akhir masa Khilafah Utsmaniyah. Beliau ulama ahlu sunnah wal jama’ah. Menganut aqidah Asy’ariyah, bermazhab fikih Syafi’iyah dan bertarekat Syadziliyah.
Kakek pendiri HT ini masyhur di kalangan pesantren di Indonesia karena kitab-kitabnya dipelajari. Di antaranya kitab Al-Anwar al-Muhammadiah Mukhtasar al-Mawahib al-Ladunniah, Wasa’il Wusul ila Syamail al-Rasul, dan Jami’ Karamatil Auliya’.
Oleh aktivis HTI kemasyhuran ini dijadikan pintu masuk ke pesantren-pesantren. Khususnya pesantren-pesantren basis NU. Mereka membuat narasi seolah-olah NU dan HT satu guru satu ilmu yaitu melalui Syekh Yusuf an-Nabhani.
Pada faktanya, Taqiyuddin an-Nabhani tidak mewarisi ilmu dan tradisi keilmuan sang kakek yang bermazhab dan bertarekat.
Taqiyuddin an-Nabhani bukan seorang Asy’ariyah. Taqiyuddin an-Nabhani mengkritik dan menolak konsep kasbul ikhtiari yang diungkapnya ketika membahas qadha qadar.
Menurutnya pembahasan qadha qadar berhubungan dengan area yang menguasai manusia (musayyar) dan area yang dikuasai manusia (mukhayyar). Karena itu dia juga mengkritik dan menolak konsep tentang qadar ghaibiyah.
Taqiyuddin an-Nabhani bukan pengikut mazhab Syafi’iyah. Mazhab Syafi’iyah menjadikan ijma ulama, ijma umat dan istishab sebagai dalil syar’i. Taqiyuddin an-Nabhani menolaknya. Menurutnya ijma yang dapat dijadikan dalil syar’i hanya ijma sahabat. Adapun istishab bukan dalil, melainkan terduga dalil.
Syekh Yusuf an-Nabhani meskipun memiliki ilmu yang mumpuni memilih bermazhab. Dia memposisikan dirinya sebagai muqallid. Berbeda dengan sang cucu.
Taqiyuddin an-Nabhani memang tidak pernah secara terbuka mendeklarasikan diri sebagai mujtahid muthlaq yang membangun mazhab sendiri. Akan tetapi metode ushul fiqih dan pendapat-pendapat fiqihnya yang tersendiri tanpa merujuk kepada metode dan pendapat empat mazhab fikih secara tidak langsung memposisikan dirinya sebagai imam mazhab. Dia memposisikan dirinya sejajar dengan empat imam mazhab.
Kedudukannya sebagai mujtahid muthlaq diakui dan diterima oleh aktivis HT di seluruh dunia. Shiddiq al-Jawi, seorang ahli fikih HTI, menulis dalam tulisannya Seputar Masalah Mazhab mengatakan; Sebab, beliau (Taqiyuddin an-Nabhani) adalah mujtahid muthlaq yang memiliki metode istinbâth (ushul fikih) tersendiri dan meng-istinbâth hukum-hukum syariat berdasarkan ushul fikih tersebut.
Ihsan Sammarah dalam kitabnya Mafhûm Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyah (1991: 267) berkata, “Syekh Taqiyuddin an-Nabhani adalah seorang mujtahid yang mengikuti metode para fukaha dan mujtahidin, namun beliau tidak mengikuti satu mazhab dari mazhab-mazhab yang telah dikenal. Sebaliknya, beliau mengadopsi ushul fikih yang khas bagi beliau dan menggali hukum-hukum syariat berdasarkan ushul fikih tersebut.”
Dalam hal tasawuf dan tarekat, Taqiyuddin an-Nabhani berpandangan minor. Dia bukan pengikut salah satu tarekat.
Bahkan menurutnya, maraknya gerakan kerohanian di antara biang dari kemunduran umat Islam yang berujung kepada runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Kemudian dia berpendapat, perbaikan akhlak bukan solusi kebangkitan umat. Baginya solusi kebangkitan umat melalui gerakan politik ideologis.
NU adalah organisasi Asy’ariyah. Bermazhab fikih 4 imam mazhab. Bertasawuf dan bertarekat. Jadi, dari mana aktivis HTI dapat menghubung-hubungkan antara Hizbut Tahrir dengan Nahdlatul Ulama, sedangkan kadar ke-NU-an Taqiyuddin an-Nabhani sangat minim?