27.5 C
Jakarta

Santri Mustami’: Gerakan Sendiko Dawuh dan Anti-Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifSantri Mustami': Gerakan Sendiko Dawuh dan Anti-Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dalam lintasan sejarah memerjuangkan kemerdekaan, santri memiliki peran yang sangat signifikan walaupun jarang sekali tertulis dalam buku-buku kurikulum pelajaran di sekolahan. Seakan identitas santri berusaha diasingkan dan dihapus dari ingatan bangsa besar ini.

Menengok masa lalu yang juga untuk meneropong masa depan, santri berada dalam poros dari peradaban dan kebudayaan Indonesia. Pendidikan lahir dan batin yang didapatkan di pesantren tidak hanya mencetak agamawan saja, melainkan suatu agen perubahan bahkan hemat penulis juga ambil bagian dari agent of change yang saat ini hanya dinisbatkan pada mahasiswa saja, namun santri juga patut menyandang gelar demikian.

Terdapat bait syair dalam kitab Ta`limul Muta`alim yang menjadi nilai-nilai dasar seorang santri. Yakni, “dzukain, wa hirshin, wa-sthibarin, wa bulghatin, wa irsyadi ustadzhin, wa thuli zamani”. (Kecerdasan, semangat, kesabaran, modal finansial, petunjuk guru dan belajar sepanjang masa). Nilai-nilai dasar tersebut menjadi syarat bagi para santri ketika menimba ilmu dimanapun berada. Hemat penulis, bait syair tersebut tidak terbatas untuk santri saja, namun juga untuk para pelajar dan pecinta ilmu.

Jika membaca buku babon tentang pesantren anggitan Zamakhsyari Dhofier yang berjudul “Tradisi Pesantren” akan disuguhkan sub-bab yang membedah perihal santri. Bagi Dhofier, santri merupakan elemen penting dalam lembaga pondok pesantren. Beliau juga mengklasifikasikan santri menjadi dua bagian yakni, santri mukim dan santri kalong.

Santri mukim lazim dikenal dengan murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. Sedangkan santri kalong dikenal sebagai murid-murid dari desa-desa di sekitar pesantren, biasanya tidak menetap dalam pesantren.

Namun, di sisi lain, jika kita membaca buku Pesantren Studies garapan Ahmad Baso akan dimenemui nomenklatur yang sama sekali tidak ditemukan di buku anggitan Zamkhsyari Dhofier tadi. Yakni, santri mustami’. Siapa itu santri mustami`?

Mustami’ secara bahasa berarti orang yang mendengarkan. Jika kata mustami’ disandingkan dengan santri maka dapat diartikan dengan santri pendengar. Begitulah singkatnya.

Jika merujuk pada syair bait di muka, maka santri pendengar atau santri mustami` ini hanya mengamalkan nilai kedua saja, yakni hirshin. Dalam hal ini, santri mustami’ diartkan sebagai santri yang hanya memerhatikan dan mendengarkan kiai atau guru. Namun tak dinafikan pula, jika santri mustami’ mengamalkan beberapa nilai sekaligus yang termaktub dalam syair tersebut.

Para santri mustami’ tersebut setidaknya memiliki usaha dan tekad yang kuat dalam mendengarkan dawuh-dawuh dari lisan mulia para kiai. Dalam keseharian para santri mustami` ini pun tidak selalu berada di sekitar para kiai, namun hanya pada momen tertentu saja ketika bertamu untuk sowan atau menghadiri berbagai majelis dan pengajian.

Dalam relasinya, yakni, antara kiai dan santri mustami’ memiliki hubungan yang dialogikal. Yaitu melalui dua cara yakni, Kiai mendekati masyarakat lalu dijadikan sebagai santri mustami`. Atau pun para masyarkat mendekati lalu menjadi pendengar setia para Kiai.

BACA JUGA  Mitos: Menyangkal Labelisasi Agama sebagai Sumber Konflik dan Kekerasan

Seperti halnya dalam sebuah cerita, Mbah Kiai Chudlori pendiri Ponpes Tegalrejo Magelang yang suatu saat dihadapkan dengan persoalan penyaluran dana desa yang digunakan untuk membangun masjid atau membeli alat kesenian. Mbah Kiai Chudlori yang mengetahui masyarakat desa menyukai kesenian mengambil langkah kedua. Dengan itu, dibelikanlah alat kesenian tersebut lalu dengan perlahan masyarakat mendekatinya dan dijadikanlah mereka sebagai santri mustami’.

Lanjut, Baso menyebut para mustami’ ini sebagai jalan para masyarakat yang tidak bisa menjadi santri namun tetap setia pada kiai dan NKRI. Para mustami’ ini menjaga betul dan mengamalkan dengan penuh kesabaran atas apa yang dipelajarinya dari kiai. Entah ilmu praktis tentang kehidupan, ilmu politik, ketatanegaraan dan lain sebagainya. Bahkan, mereka banyak menjadi aktor gerakan sosial yang digelar oleh para kiai-ulama pada masa kolonial silam.

Mustami’ tidak sekadar individu atau pun kelompok melainkan juga sebuah komunitas atau pun organisasi. Sebut saja, pada masa pra kemerdekaan, Boedi Oetomo dan Studieclub garapan Douwes Dekker disebut menjadi mustami’ atas Tasjwiroel Afkar yang didirikan oleh Kiai Wahab Chasbullah. Keduanya, merupakan perpanjangan ide atas pesantren, juga menjadi kontra pendidikan pemerintah kolonial.

Terdapat pula para mustami` yang menjadi juru bicara atas pesantren. Artinya, mereka mememlihara tradisi kepesantrenan. Mustami’ disini tidak hanya menjadi pendengar setia kiai, namun juga menghasilkan suatu karya mengenai kepesantrenan. Juga membela pesantren dan menjaga kesinambungan tradisi pesantren. Tak lain, demi keutuhan NKRI dan orisinalitas pendidikan Indonesia.

Santri Mustami’ dan Narasi Radikalisme

Dalam konteks hari ini, marak dan merebak narasi-narasi radikalisme. Para santri menjadi tangan panjang para Kiai atau tim eksekusi dawuhdawuh para Kiai terhadap narasi radikalisme.

Seperti yang dijelaskan di muka, para mustami’ ini tidak 24 jam mengikuti kegiatan di Pondok Pesantren, namun selalu mendengar dan berada di samping para Kiai dan selalu mengatakan “Sendhiko Dawuh Kiai”. Maka dari itu, para mustami’ ini memiliki visi dan misi yang sama dengan para Kiai dan Santri.

Tak ayal, radikalisme menjadi musuh kita semua, khususnya pesantren. Pasalnya, mereka (radikalis) berusaha memberantas tradisi kepesantrenan yang berporos pada nasionalisme. Upaya pemberantasan ini dengan dalih bahwa Nasionalisme tidak ada dalilnya. Dan perawatan tradisi yang selalu digaungkan oleh pesantren khususnya NU dianggap suatu bid`ah yang sesat.

Maka disini perlunya pembagian peran dalam mengangkal arus lajunya paham radikal. Para Kiai menjadi penggagas atas konsep perawatan tradisi dan penangkalan paham radikal. Sedangkan, para santri mukim dan atau santri kalong menjadi aktor perawat tradisi.

Sedangkan yang terakhir, santri mustami’ sebagai aktor penangkal paham radikal yang merebak di tengah-tengah masyarakat. Sehingga siapapun yang memiliki visi yang sama dengan pesantren, yakni merawat tradisi dan menangkal paham radikal dapat dijuluki sebagai santri mustami’.

Satrio Dwi Haryono
Satrio Dwi Haryono
Pegiat Komunitas Dianoia. Minat pada kajian kefilsafatan, keislaman, dan kebudayaan.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru