32.9 C
Jakarta
Array

Santri dan Wajah Nasionalisme Kultural

Artikel Trending

Santri dan Wajah Nasionalisme Kultural
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Santri dan pesantren pernah menjadi sorotan publik saat isu radikalisme sedang marak di tanah air. Hal ini disebabkan beberapa pelaku aksi radikal-teroris memiliki keterkaitan dengan institusi pesantren. Selain itu, kurikulum pendidikan di pesantren yang bebas dari campur tangan Kementrian Agama dan Kementrian Pendidikan serta Kebudayaan juga dianggap menjadi celah masuknya ideologi radikal. Ditambah lagi, materi pelajaran yang menguatkan jiwa nasionalisme santri juga jarang ditemukan diajarkan di pesantren.

Namun, alasan-alasan tersebut ditepiskan oleh beberapa hal: 1) Pesantren yang ditemukan bersinggungan dengan para pelaku radikalisme diketahui tidak memiliki watak pesantren secara umum, yang mengedepankan dakwah dengan ramah; 2) Bebasnya campur tangan Kemenag dan Kemendikbud tidak lantas menjamin pesantren menjadi institusi tempat berkembangnya radikalisme. Begitu pula sebaliknya. Sehingga tidak ada keterkaitan antara keduanya; 3) Kini pesantren mulai berbenah memasukkan kurikulum yang menguatkan jiwa nasionalisme santri. Salah satunya Pondok Pesantren Lirboyo yang menyusun buku Fikih Kebangsaan dan menjadikannya materi pelajaran di tingkat Aliyah.

Pendidikan Nasionalisme di Pesantren

Namun, meski di pesantren tidak ditemukan mata pelajaran yang bersifat menguatkan jiwa nasionalisme santri, pesantren sendiri telah mengembangkan Pendidikan nasionalisme lewat kultur pesantren. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek:

Pertama, pesantren yang menjunjung tinggi sosok kiai sebagai suri tauladan dalam laku keseharian, tidak pernah mencerminkan figur kiai yang memiliki tindakan yang dalam tanda kutip dianggap keras dalam berdakwah. Justru, yang ada adalah sebaliknya. Kiai dikenal sebagai seorang pendakwah yang menjadikan budaya masyarakat sebagai media dakwahnya.

Budaya adalah media perubahan yang cenderung lambat dalam melakukan perubahan, meski kemudian efeknya lebih kuat tertanam. Langkah dakwah lewat budaya inilah yang juga menyebabkan kiai dianggap kurang tegas dan terkesan setengah-setengah dalam berdakwah.

Andai kata kiai memilih dakwah secara radikal, tentu sejak zaman dahulu akan tercatat bagaimana kiai-kiai gemar mengumbar kesaktian-kesaktian semacam ilmu kebal atau merubah benda kecil menjadi bom dalam dakwahnya. Tapi, hal itu justru jauh dari watak kiai yang dikenal rendah diri dan enggan menampakkan keistimewaan dari Allah kecuali dalam keadaan amat sangat terpaksa. Dakwah lewat budaya ini kemudian meniscayakan adanya dorongan tetap menjaga keadaan tetap kondusif dan jauh dari gejolak masyarakat. Sebuah sinyal atas nasionalisme kultural.

Santri dan Pandangan yang Inklusif

Kedua, ajaran pesantren yang termaktub dalam kitab kuning tidak mengajarkan watak untuk merasa paling benar dalam memiliki pendapat. Sehingga, watak santri memiliki potensi luas dalam membuka dialog pemikiran. Dialog inilah yang kemudian mengarahkan santri untuk bersikap menimbang antara maslahah serta mafsadah yang diakibatkan oleh keputusannya.

Kemudian, dengan adanya wawasan bahwa kekacauan yang disebabkan oleh gerakan radikalisme justru memperparah atau merusak tatanan masyarakat yang menjadi jalan dalam berdakwah, hal ini dengan sendiri mendorong santri untuk menjaga suatu negara dalam keadaan kondusif.

Watak untuk tidak merasa paling benar merupakan buah dari keyakinan bahwa hidayah Allah diberikan murni atas kehendak Allah. Tidak bergantung seberapa frontal kita menjejalkan ajaran Islam, maupun memaksakan suatu ajaran agar diamalkan oleh masyarakat. Watak ini tersurat dalam pelajaran akhlak. Seperti melaksanakan sifat Shiddiq, amanah, iffah serta mura’ah. Dan menjauhi sifat takabbur, kidzb dan khiyanah.

Ketiga, pesantren melalui ajaran Islam memiliki instrumen sendiri dalam bersikap kepada seorang pemimpin. Entah itu pemimpin yang jujur, maupun pemimpin yang dzalim. Instrumen ini memang tidak terbukukan sendiri layaknya buku PPKN maupun IPS yang menjadi jalan Pendidikan nasionalisme. Instrumen ini tersebar dan terselip diantaranya dalam bab fiqih yang berkaitan dengan pemerintahan, hadis-hadis Nabi yang menyinggung pemimpin, serta ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan tentang sosok pemimpin baik yang ideal maupun yang dzalim dan pernah ada di masa lalu.

Di dalam al-Qur’an ada kisah bagaimana santunnya Nabi Musa dan Harun berdakwah pada Raja Fir’aun yang notabene memiliki kedzaliman tingkat berat. Dari hadis Nabi, tercatat bagaimana tolerannya Nabi memenuhi permintaan pemimpin kafir Quraish saat dalam perjanjian Hudaibiyah, meminta gelar Rasulullah dihapus dari surat perjanjian. Dan dari kalangan sahabat, ada Hasan al-Basri yang menegur salah seorang yang berdoa agar pemimpin dzalim di masa itu segera dimusnahkan Allah. Sebab Hasan khawatir hal itu justru membuat Allah mentaqdirkan adanya pemimpin yang lebih dzalim berkuasa.

Instrumen ini menancap dan mengakar kuat sebagai sebuah ajaran agama. Ajaran yang mungkin tidak disadari oleh para santri sendiri akan menjadi bibit bagi tumbuhnya perlunya “bela negara” maupun “cinta tanah air”. Bahkan santri sendiri mungkin akan menolak bila mereka disebut nasionalis sejati.

 

*Oleh: Mohammad Nasif, Santri lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bergiat di penulisan buku terjemahan, tradisi pesantren dan sastra.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru