32.9 C
Jakarta
Array

Santri dan (Kampanye) Poligami

Artikel Trending

Santri dan (Kampanye) Poligami
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Beberapa waktu lalu beredar meme dari komunitas santri soal kurban. Berbeda dengan meme pada seputar Idu Adha pada umumnya, meme ini menyertakan poligami sebagai bagian dari pengorbanan. Dalam meme ini disebutkan bahwa 1 kambing untuk 1 orang, 1 sapi untuk 7 orang, dan 1 laki-laki untuk 4 orang perempuan. Meme itu memberikan tambahan komentar, “Pernyataan ini tentu benar, walaupun tak sedikit yang membantahnya. Pengorbanan memang berat, apalagi berkorban hati”. Meme ini kemudian dihapus tanpa ada penjelasan sampai artikel ini ditulis. Seorang aktivis (laki-laki) NU bertanya dengan sopan mengenai sosok admin dari akun ini. Penulis sendiri bertanya mengapa santri mengunggah meme semacam ini. Netizen yang lain melontarkan komentar beragam termasuk komentar receh semacam ”Berarti laki-laki boleh disembelih ya?”.

Pertanyaan penulis didasari oleh pendapat dan praktek poligami di kalangan santri, utamanya kyai. Poligami memang berlangsung dalam komunitas ini namun ia tidak menjadi sesuatu yang lazim. Kelaziman yang dimaksud merujuk pada sesuatu yang menjadi main-streaming atau dinormalisasi seperti terjadi dari kelompok Islam yang lain. Dalam hal ini, misalnya, poligami dikampanyekan sebagai bagian dari cara hidup dan pelakunya bahkan dipuji dan dijadikan contoh (role model) bagi komunitasnya. Normalisasi yang dimaksud terkadang juga memiliki dampak sampingan berupa label tidak paham Islam maupun menentang Islam sementara penafsiran tentang poligami sendiri tidak tunggal.

Di luar itu, bahkan terdapat alasan untuk memperbanyak umat dengan mengutip hadits yang menyatakan bahwa Nabi SAW bangga memiliki umat yang banyak di hari kiamat nanti. Poligami menjadi semacam konsensus bersama di mana poligami itu boleh dan bernuansa agama, bukan dilandasi nafsu semata seperti diutarakan sebagian pengkritiknya. Selain itu, poligami dicitrakan sebagai suatu ujian bagi perempuan di mana ia merupakan sesuatu yang memang berat mengingat pahalanya surga. “Jika sesuatu itu mudah maka hadiahnya kipas angin,” kata seorang ustadz tanpa dosa. Tentu saja ini bukan humor lucu sebagaimana humor yang biasanya diproduksi dan didistribusi di kalangan santri.

Komunitas santri, menurut penulis, memiliki pandangan sendiri dalam soal ini. Pandangan poligami beragam, dari kebolehan bahkan keharamannya. Boleh karena memang dalam Alquran disebutkan soal ini dan Nabi melakukannya. Namun praktek Nabi ini juga memiliki banyak penafsiran seperti poligami merupakan khususiyah (hanya untuk Nabi), dan bukan untuk umatnya.

Pendapat lainnya, Nabi SAW pada dasarnya menganjurkan monogami karena menghabiskan waktu lebih banyak bersama dengan Siti Khodijah sebelum akhirnya menikah dengan lebih dari satu orang perempuan setelah beiau wafat. Bahkan sebagian berpendapat bahwa poligami bisa menjadi haram li ghairihi (menjadi haram karena [sebab] yang lain). Hal ini terjadi karena poligami menimbulkan efek psikologis yang buruk bagi istri yang dipoligami, anak menjadi terlantar, dan efek negatif lainnya. Pertimbangan semacam ini bisa memakai banyak cara termasuk soal manfaat (maslahah) dan kerugian (madharat).

***

Poligami sendiri juga berkaitan erat dengan keadilan di antara para istri. Hal ini bisa menjadi basis pendapat yang lain. Jika saja khawatir berbuat adil maka dianjurkan monogami apalagi jika ketidakadilan benar-benar terjadi. Pendapat yang umum adalah keadilan didasarkan pada materi semata-mata di mana suami yang berpoligami tidak membeda-bedakan status istri dalam memberikan nafkah. Pendapat ini didasari pada pendapat bahwa sudah lazimnya manusia memiliki kecenderungan yang berbeda untuk setiap orang, termasuk rasa cinta suami kepada isteri-isterinya.

Kondisi lain yang patut disebutkan di sini adalah kondisi yang termaktub dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974. Dalam Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan dijelaskan bahwa Pengadilan Agama hanya akan memberikan izin kepada suami untuk beristeri lebih dari dalam 3 kondisi;  1) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya; 2) isteri mendapatkan cacat badan atau penyakit badan yang tidak dapat disembuhkan; 3) isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Di luar itu, suami yang mengajukan permohonan untuk beristeri lebih dari satu orang harus memenuhi syarat sebagai berikut; 1) adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; 2) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; dan 3) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

Kondisi-kondisi ini tidak lantas membuat ulama/kyai melakukan poligami. Mereka yang setuju tidak selalu melakukan poligami. Apalagi mereka yang kontra. Adapun mereka yang istrinya memenuhi syarat untuk dipoligami menurut Undang-Undang juga belum tentu melakukannya. Alasan poligami bagi mereka juga banyak, sependek pengetahuan penulis, namun tidak termasuk mencetak umat sebanyak-banyaknya.

Dalam hal ini terdapat pemahaman bahwa memang Nabi SAW tentang banyaknya umat sebagai kebanggaan cukup masyhur di kalangan awam. Namun jangan dilupakan bawah umat yang dimaksud diharapkan tidak sampai menjadi buih di lautan. Artinya, jumlahnya banyak namun tidak bermutu di mana mereka digambarkan sebagai “cinta dunia dan takut mati”. Dalam QS an-Nisa:9 bahkan disebutkan agar kita jangan sampai meninggalkan generasi  yang lemah. Dengan keragaman wacana poligami semacam ini, setiap para santri selayaknya mengikuti para ulama/kyai. Sebab ia bukan wacana tunggal yang kemudian disimplifikasi dalam sebuah meme, apalagi untuk disebar di akun media sosial dengan follower seribu lebih.

***

Dengan paparan di atas, poligami tidak seharusnya menjadi bahan kampanye oleh para santri. Poligami, di kalangan santri termasuk kyai sangat bervariasi dari hulu hingga hilir. Maka dari sini tanggapan penulis bermuara pada sumber “keberanian” para santri ini mengampanyekan poligami dengan tabel pengurbanan diqiyaskan dengan kurban hewan? Sementara mereka belajar ilmu agama cukup dalam beserta ilmu yang melengkapinya termasuk ilmu logika, tentu saja mereka (seharusnya) paham dengan situasi semacam ini. Selain itu, hal ini menyangkut adab pada para guru yang sejatinya bersilang pendapat. Jika tidak, pemikiran kalangan santri tidak ada bedanya dengan kelompok yang mengampanyekan poligami. Belum lagi soal pendapat kelompok dan gerakan perempuan di komunitas ini.

Logika meme santri itu juga memiliki banyak celah untuk dikritisi. Santri memiliki karakter sendiri sehingga pesantren, sebagai tempat nyantri, disebut sub-kultur oleh Gus Dur. Dalam hal ini santri biasanya dikenal sebagai fasih ushul fiqh dan pintar mantiq (ilmu logika)—tentu saja semua orang bisa belajar tanpa perlu predikat santri seperti dilakukan para ahli Islamologi. Logika untuk membandingkan hal yang berbeda tentu tidak tepat mengingat sapi, kambing, dan manusia berbeda jenisnya. Dalam hal ini, sapi dan kambing merupakan hewan (hayawan) sementara manusia baik laki-laki maupun perempuan merupakan hayawan nathiq (hewan yang berpikir).

Tentu saja urusannya akan lebih panjang jika persoalan ini ditarik kepada hakikat kurban itu sendiri di mana orang-orang berkorban sebagai tanda cinta kepada Allah. Cinta kepada Allah ini juga dimanifestasikan cinta kepada sesama khususnya pada kaum fakir miskin agar mereka ikut juga menikmati daging. Apakah poligami memiliki dimensi yang senada dengan kurban? Sepertinya tidak.

Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa meme poligami ini tidak logis, selain garing alias tidak lucu. Mungkin ada baiknya jika meme terkait kurban di atas digunakan untuk melucu atau me-receh-kan jagad media sosial. Akun yang dimaksud bisa menggunakan jomblo sebagai “sasaran” yang terbiasa mengorbankan perasaan dalam masa yang tak berbilang termasuk dalam Idul Adha. Dalam hal ini santri wajib lucu, mengingat sebuah laporan media, komunitas NU sebagai pemasok santri paling banyak ini dinobatkan sebagai akun paling awal mempromosikan Islam. Akunnya tentu saja @NUGarisLucu. Kita ingin menjaga ke-wibawa-an akun ini, bukan? Jika kita mengiyakan maka kita perlu melahirkan meme atau joke yang berkelas. Bukan bunder semacam ini. Wallahu a’lam.

Nurun Nisa, Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru