28 C
Jakarta
Array

Sanggahan Terbuka Untuk Rifqi, Kader HTI

Artikel Trending

Sanggahan Terbuka Untuk Rifqi, Kader HTI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dikala Kader HTI Mengajari Tokoh-Tokoh NU

Oleh: Muhammad Makmun Rasyid, S.Ud

Pagi hari, setelah saya melakukan ritual menulis naskah buku, tiba-tiba ada pesan Whatsapp dari seseorang yang saya tidak kenal. Berikut bukti pesannya yang mengaku bernama Goes Salim.

                       Kiriman dari Goes Salim

Artikel kiriman itu berjudul “MELETAKKAN GARIS LURUS TERHADAP PANDANGAN HADRATUSY SYEH KH.HASYIM ASY’ARI” karya Sdr. Rifqi. Sore ini, izinkan saya mengkritik pemikirannya dan mengatakan kegagalannya dia menjadi kader HTI. Pertama-tama dia menulis:

Sebelum ini saya menulis di status pada akun facebook mengenai pandangan KH.Hasyim Asy’ari terhadap seluruh pandangan filosofi dan sejarah kehidupan Yunani, ahli hukum Romawi serta para intelektual Eropa. Beliau dengan tegas menolak seluruh pemikiran asing diluar Islam, baik itu berasal dari  Yunani, romawi maupun dari pandangan para intelektual Eropa.

KH. Hasyim Asy’ari, sebagai pendiri Nahdlatul Ulama memang termasuk orang yang menjaga betul dan mengingatkan kepada siapa saja untuk menjaga akidahnya dari paham-paham yang mampu meleburkan keimanan seseorang. Misalnya, KH. Hasyim Asy’ari, dalam kitabnya Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ memberi peringatan kepada warga nahdliyyin agar tidak mengikuti paham Syi’ah. Menurutnya, madzhab Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah Zaidiyyah bukan madzhab sah. Madzhab yang sah untuk diikuti adalah Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali (Lihat: Risalah Ahl Al-Sunnah wal Jamaah Jombang: Maktabah Al-Turats Al-Islamiy, h. 14).

Tidak saja dari luar Islam, dari internal Islam saja namun berpotensi merusak akidah, maka oleh KH. Hasyim Asy’ari ditegur untuk tidak mengikutinya. Sebuah kekeliruan, jika Rifqi menggiring bahwa KH. Hasyim Asy’ari anti-Demokrasi. Jika ada tulisan KH. Hasyim Asy’ari yang menolak demokrasi secara totalitas, maka penerus KH. Hasyim Asy’ari terlebih dahulu menolak juga dan tokoh-tokoh selanjutnya. Artinya, judul yang ditulis Rifqi bahwa “KH. Hasyim Asy’ari anti Demokrasi” itu hanyalah mengada-ngada saja dan tidak memiliki argumentasi yang kuat.

Selanjutnya, Rifqi menulis:

Namun kemudian tulisan saya mendapat respon luas, mulai dari yang memberi apresiasi dengan cara “ngelike”, komentar positif hingga komentar yang negatif dengan menuduh saya melakukan agitasi dan propaganda dengan mencatut nama besar Hadratusy Syeh Hasyim Asy’ari

Memang betul bahwa Rifqi mencatut nama besar KH. Hasyim Asy’ari untuk mencari legitimasi kelompoknya, sama halnya ketika HTI mencatut nama besar KH. Wahab Hasbullah untuk dijadikan inspirator ideologi Khilafah ala Taqiyuddin Al-Nabhani.

Dan bukti Rifqi tidak pernah mengkaji kitab ini atau mungkin tidak memilikinya, di mana ia menyebut bahwa kitab “ارشاد المؤمنين الى سيرة سيد المرسلين ومن تبعه من الصحابة والصالحين” karya KH. Hasyim Asy’ari. Berikut kutipannya:

Untuk memperjelas dan meletakkan garis lurus atas pandangan pendiri NU tersebut, akhirnya diperlukan klarifikasi dan tabayyun agar semua menjadi jelas dan terang benderang bagi siapapun yang bisa melihat dengan pandangan yang tulus :
Di antara percikan jernih pemikiran beliau termaktub pada kitab ;
ارشاد المؤمنين الى سيرة سيد المرسلين ومن تبعه من الصحابة والصالحين.
Pada kalimat Muqaddimah beliau menulis :
وهذه الرسالة تغنى ابنائنا عن النظر الى تاريخ غيرنا لاشتمالها على سيرة رسول الله ص.م. المملوءة بمكارم الاخلاق ومحاسن الصفات, قال مصطفى لطفى المنفلوطي :
لا حاجة بنا الى تاريخ حياة فلاسفة اليونان وحكماء الرومان وعلماء الافرنج. فلدينا فى تاريخنا حياة شريفة, مملوءة بالجد والعمل والصبر والثبات, والحبّ والرحمة, والحكمة والسياسة والشرف الحقيقى والانسانية الكاملة, وهى حياة نبينا محمد ص.م. وكفى بها اسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الاخر.
“Risalah ini telah cukup bagi generasi penerus kita dari pandangan sejarah yang lain karena telah tercakup dengan perjalanan hidup Rasulullah SAW yang penuh dengan keluhuran akhlak dan kebaikan sifat-sifat beliau.
Mustafa Lutfi al-manfaluti berkata: Kita tidak butuh kepada sejarah kehidupan para filosof Yunani, ahli hukum Romawi, dan para intelektual Eropa. Kita telah memiliki sejarah kehidupan yang mulia, penuh dengan kesungguhan dan usaha, kesabaran dan keteguhan, cinta dan kasih sayang, kebijaksanaan dan politik, kemuliaan yang hakiki serta kemanusiaan yang sempurna. Dialah kehidupan nabi kita Muhammad SAW dan dengan nya telah cukup menjadi teladan yang baik bagi orang yang berharap rahmat Allah dan hari akhir.”

Pada kalimat pernyataan “Pada kalimat Muqaddimah beliau menulis:” jelas kembali atau “dhamir”-nya kepada KH. Hasyim Asy’ari. Padahal kitab tersebut ditulis oleh KH. Muhammad Ishomuddin Hadziq atau dikenal dengan sebutan Gus Ishom. Gus Ishom merupakan Cucu Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang, sekaligus tokoh pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdhatul Ulama. Muhammad Ishomuddin Hadziq merupakan putra pertama dari tiga bersaudara tunggal ayah-ibu. Adik setelahnya bernama Fahmi Amrullah dan yang terakhir bernama Zakki (Lihat: Samsul Munir Amin, Karomah Para Kiai, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pesantren, 2008).

Berikut lampiran foto kitab yang dimaksud Rifqi:

       Irsyadul Mu’minin Ila Sirati Sayyidil Mursalin        Wa Man Tabi’ahu Minas Shohabati Wat Tabi’in           karya KH. Muhammad Ishomuddin Hadziq

Sejatinya kesalahan pencatutan oleh Rifqi ini pernah dilakukan oleh Choirul Anam, di mana Choirul Anam menulis dengan percaya diri sebagai berikut: “KH. Hasyim Asy’ari dan Khilafah”. Menurut KH. Hasyim Asy’ari, sistem pengaturan umat Islam adalah Khilafah. Inilah yang terjadi pada generasi salafus sholih kita. Hal ini misalnya kita temukan pada kitab beliau yang berjudul: Irsyadul Mu’minin Ila Sirati Sayyidil Mursalin Wa Man Tabi’ahu Minas Shohabati Wat Tabi’in pada bab Kaifa Kaana Aslaafuna Ma’a Allah, hal 29-30. Berikut ini terjemahan bebasnya, juga disertakan teks asli dalam bahasa Arab. (Lihat link berikut: Kembali, pejuang Khilafah berdusta atas nama KH. Hasyim Asy’ari).

NU memahami bahwa yang dimaksud dengan “Risalah ini telah cukup bagi generasi penerus kita dari pandangan sejarah yang lain karena telah tercakup dengan perjalanan hidup Rasulullah SAW yang penuh dengan keluhuran akhlak dan kebaikan sifat-sifat beliau” adalah risalah Al-Qur’an sebagai kompas kehidupan dan hadis sebagai penjelas dari Qur’an. Keduanya saling melengkapi satu sama lain dan tidak ada kontradiksi di dalamnya. Keduanya bersumber dari yang sama, Allah SWT.

NU juga sepakat, dalam hal akhlak maka contohi Nabi Muhammad SAW dan dalam hal alat bisa mencontohi abad kekinian. Akhlak sebagai pondasi agar di dalam pemakaian alat-alat yang ada pada abad modern tidak merusak keimanan seseorang. Rifqi justru menafsirkan dengan mengarah kepada dukungan melihat masa silam dalam sistem negara, hal ini tercermin dalam pernyataannya:

Melalui ungkapan pada kitab ini, amat sangat jelas bahwa KH.Hasyim Asy’ari bukan hanya mengenang dan membangun romantisme terhadap sirah Nabi, namun beliau meneguhkan pandangannya terhadap sirah dan mengesampingkan seluruh pemikiran asing di luar Islam.

Kata “membangun romantisme” ini adalah sebuah giringan kepada pembaca bahwa Muslimin harus sepakat bahwa Khilafah adalah solusi untuk kondisi NKRI ini. Di mana Nabi Muhammad SAW tidak pernah mewajibkan sebuah sistem di dunia ini. Yang wajib adanya di dunia ini adalah khalifah bukan Khilafah. Bahkan kata “Imamah” dalam perspektif Imam Ghazali dalam kitab Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad adalah “kekuasaan politik”. Imam Ghazali mengatakan: “Sultan (di sini berarti kekuasaan politik) adalah wajib untuk ketertiban dunia; ketertiban dunia wajib bagi ketertiban agama; ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat. Inilah tujuan sebenarnya para rasul. Jadi, wajib adanya imam merupakan kewajiban agama yang tidak ada jalan untuk meninggalkannya” (Lihat: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad, Maktabah Al-Jundi, 1972, h. 199).

KH. Hasyim Asy’ari dalam konteks mencontohi masa lalu adalah prilaku dari seorang Khalifah itu sendiri bukan sistemnya. Karena memang KH. Hasyim Asy’ari tidak pernah menuliskan sebuah kewajiban seorang Muslim untuk memperjuangkan sebuah sistem. Menliki masa silam dalam artian, para pemimpin harus mencontohi prilaku-prilaku para khalifah masa silam. Pertanyaannya, apa diperlukan umat Islam?

Pertama, uswatun hasanah. Seorang khalifah atau pemimpin harus mampu menjadi teladan bagi bawahannya atau masyarakatnya. Kedua, membela kaum lemah dan memperbaikinya. Memperbaikinya baik dalam bidang pendidikan, penanaman akhlak Qur’ani dan rumah sakit. Ketiga, menjadi pelayan umat bukan umat yang melayani dirinya. Kelima, menegakkan keadilan dan menjalankan amanat yang diberikan oleh rakyat. Jadi kelima itu yang harus ada diri seorang Khalifah.

Sistem demokrasi yang diterima umat Muslim tentunya yang selaras dengan agama Islam. Misalnya, kesamaan derajat, tanggung jawab, menegakkan hukum dan memberikan perkara kepada ahlinya, dan kebebasan yang berbudi luhur. Memang, esensi demokrasi yang selaras dengan ajaran Islam dalam tatanan praktisnya sering over-laping. Bukan rahasia pribadi lagi, sebahagian pemeluk agama lebih menunjukkan sikap eksklusivitas beragama yang seakan-akan dirinya berhak menempati surga-Nya.

KH. Said Aqil Siradj mengataka, posisi diametral antar agama dengan demokrasi, memang selamanya tak akan menemui titik temu manakala paradigma yang ditonjolkan oleh seseorang adalah paradigma legal-formal. Paradigma legal-formal mengindikasikan bahwa agama adalah “kendaraan politik”.

Semakin aneh, tatkala Rifqi menulis dalam paragraf selanjutnya:

APRESIASI KH.HASYIM ASY’ARI TERHADAP SYARIAH DAN KHILAFAH
Mungkin ini cukup mengejutkan dan menyisakan sikap skeptis dan tanda tanya bagi orang yang belum memahami gambaran tentang khilafah berikut aktifitas politiknya dalam pelayanan kepentingan umat. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya ingin meletakkan garis lurus agar kesimpangsiuran dan syubhat pemikiran mengenai pandangan beliau dapat dikembalikan kemurniannya melalui data otentik dari tulisan kitab beliau sendiri.

Ini bukti bahwa Rifqi tidak akrab dengan kitab-kitab yang biasa dipegang oleh orang-orang NU. Memang karena Rifqi belum lahir saat NU lahir. Bisa dimaklumi adanya. NU dalam menerapkan syariah, sepakat dalam ruang civil society bukan nation-state. Hal ini pernah digambarkan oleh KH. Ahmad Hasyim Muzadi. Berikut ungkapan KH. Hasyim Muzadi:

Syariat Islam sekarang diterima dengan “a priori”. Pro dan kontra. Satu sisi, ada tuntutan, syariat harus dilakukan secara tekstual. Di lain pihak, ada orang yang mendengar kata syariat saja sudah ngeri. Istilah Arabnya, ada “ifrad” (berlebihan dalam mengamalkan agama) dan “tafrid” (meremehkan, longgar, dan cuek dalam beragama). Menurut NU dll, masalahnya bukan pro kontra syariat. Tapi bagaimana pola metodologis pengembangan syariat dalam NKRI. Syariat tidak boleh dihadapkan dengan negara. NU sudah punya polanya. Bahwa “tathbiq al-syariat” (aplikasi syariat) secara tekstual dilakukan dalam civil society, tidak dalam nation-state. Aplikasi tekstual itu untuk jamaah NU, untuk jamaah Islam sendiri dan begitu seterusnya. Dia harus taat beribadah, taat berzakat, dan sebagainya. Sehingga firman Allah, “wa man lam yahkum bima anzalallahu fa ulaika humul kafirun” (barang siapa tidak menghukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu orang kafir), ungkapan “man” (barang siapa) di sini maksudnya “orang”, bukan “institusi”.

Artinya, NU sepakat 100 persen adanya kewajiban menegakkan syariah, namun untuk Khilafah, NU tidak mewajibkannya. Bukan karena orang-orang NU bodoh dan tidak mengerti, justru orang-orang NU-lah yang mampu mengkontekstualisasikan ajaran agama dengan baik dan benar daripada orang-orang HTI yang tekstualis.

Berikutnya lagi, kegagalan Rifqi dalam memahami isi dan konteks dalam kitab yang dicatutnya:

“Sungguh para pendahulu kita yang agung telah melakukan penaklukan ke berbagai negeri di dunia, mulai dari afrika utara hingga barat dan selatan Eropa, dari Iran ke India hingga Asia Tengah. Mereka telah menjadi penguasa, para hakim dan Qadhi di negeri-negeri tersebut. Mereka memerintah dengan adil dan bijaksana, menjauhkan kezaliman dan aniaya, menegakkan kebenaran dan syariah Agama, memperbaiki peradaban dan rakyat dibawah naungan kalimat Allah yang tinggi.”

Seharusnya Rifqi yang mengaku jurusan Bahasa Arab mengerti makna kata “fataha”. Kata yang memiliki arti dasar “membuka” itu jika disandingkan dengan kata “Al-Bilada” bermakna menguasai dan menaklukkan. Menaklukkan bukan berarti menghilangkan batas-batas teritorial. Dalam kamus-kamus, umumnya dikenal dengan sebutan “Fatihu Al-Buldan” yang berarti penakluk bukan pembongkar.

Jadi yang dimaksud dalam “لقد فتح آباءنا العظماء بلاد العالم” adalah penaklukan dalam konteks penguasaan atas negeri tertentu. Bukan penaklukan sebagaimana pemahaman HTI yang menghilangkan batas-batas dan sekat-sekat negara. Ini tampak pada kalimat berikutnya: “يحكمون بالعدل والانصاف, ويجتنبون الظلم والجور” atau “Mereka memerintah dengan adil dan bijaksana, menjauhkan kezaliman dan aniaya”. Itu merujuk kepada sikap seorang pemimpin, bukan institusi. Karena apapun institusinya jika karakter pemimpinnya tidak benar, maka sistem apapun akan tidak berjalan dengan baik.

Saya menduga bahwa Rifqi jarang rekreasi kitab-kitab klasik dan buku-buku ketika menyimpulkan seperti ini:

Dengan demikian penyebutan aktifitas politik berupa penaklukan berbagai wilayah oleh beliau adalah indikasi secara kontekstual bahwa beliau apresiatif terhadap khilafah sebagai institusi yang menjalankannya karena aktifitas demikian tak mungkin dan tak akan pernah menjadi agenda politik luar negeri konsep nation state yang ada saat ini.

Indikasi secara kontekstual bahwa beliau (yang dimaksud adalah KH. Hasyim Asy’ari) terhadap Khilafah adalah fatal sekali. Kesimpulan yang tidak berdasar, jika KH. Hasyim Asy’ari menginginkan Khilafah, maka tokoh-tokoh NU lebih dahulu meneriakkan akan pentingnya Khilafah. Tetapi mengapa tidak?

NU tetap dalam komitmennya bahwa Islam Rahmatan lil Alamin bisa wujud tanpa Khilafah Islamiyah. Kesimpulannya, Sdr. Rifqi kalau menulis tentang pemikiran NU dan seputar Khilafah, bukalah kitab-kitab yang sering dijadikan pegangan NU dengan mata hati yang objektif. Saya mengetahui, kalian para kader HTI ketar-ketir dan berusaha mencari-cari legitimasi, baik dari kitab-kitab maupun tokoh-tokoh kami di NU. Tapi kami tidaklah bodoh yang mudah Anda tipu.

    Ketika Rifqi mengatakan bahwa KH. Hasyim           Asy’ari anti Demokrasi dan apresiatif terhadap                                                    Khilafah

Berikut lampiran tulisan full kitab yang dijadikan landasan dan pencatutan nama KH. Hasyim Asy’ari. Hal ini saya tampilkan sesuai dengan publishan Rifqi, kader HTI yang gagal memahami isi kitabnya.

Semua itu dilakukan untuk mencari pengakuan saja dan menarik generasi muda NU yang masih awam. Mencari pengakuan dan mencari legitimasi ke mana-mana itu adalah sebuah bentuk menutupi kesalahan-kesalahan yang telah mereka lakukan di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Agar para pembaca terpesona dan menganggap bahwa NU mendukung Khilafah menjadi ideologi yang menggantikan Pancasila.

Sebodoh itukah tokoh-tokoh NU yang harus diajari oleh kader HTI bernama Rifqi dan sepintar inikah kader HTI yang diajukan untuk berdebat masalah kitab klasik dengan anak-anak NU?

*Mahasiswa Pascasarja IIQ Jakarta, Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru