30 C
Jakarta

Sampai Kapan Perempuan Terjerembab dalam Pusaran Ekstremisme?

Artikel Trending

KhazanahPerempuanSampai Kapan Perempuan Terjerembab dalam Pusaran Ekstremisme?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Akar keterlibatan perempuan dalam terorisme sudah terjadi dalam kurun waktu lama. Pada tahun 1878, Vera Zasulich melancarkan senapannya dengan menembaki Gubernur Jenderal Fedor Trepov, Gubernur St. Petersburg yang saat itu memperlakukan tahanan politik Rusia secara sewenang-wenang.

Zasulich dengan berani menyatakan dirinya sebagai teroris di pengadilan, dengan mengatakan, “Saya seorang teroris, bukan seorang pembunuh.” Selain itu, pengeboman yang melibatkan perempuan terjadi di Irlandia Utara.

Provisional IRA, sebuah organisasi yang menuntut independensi Irlandia dari Kerajaan Inggris, melibatkan para perempuan yakni Marian dan Dolores Price untuk mendukung aksi pengeboman yang dilakukan laki-laki. Pada tahun 1973, keduanya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atas pengeboman di Old Bailey yang melukai 216 orang dan menewaskan satu orang. (Yunita, 2019).

Mia Bloom menemukan bahwa sejak tahun 1985-2008, pelaku bom perempuan terlibat dalam 230-an serangan teror. Data ini meningkat 800 persen (Bloom, 2011). Michele Coninsx, Asisten Sekretaris Jenderal dan Direktur Eksekutif Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Direktorat Komite Eksekutif Kontra-Terorisme, mengatakan bahwa sekitar 10-20% penduduk barat yang bergabung dengan ISIS adalah perempuan (Lubis, 2021).

ISIS juga merekrut perempuan muda berusia 18 sampai 25 tahun, yang dikenal sebagai Brigade al-Khansaa, menggunakan kekerasan dan intimidasi untuk menegakkan hukum Syariah (Darden, 2019).

Di Indonesia, kesertaan perempuan dalam kasus intoleransi, ekstrimisme, sampai terorisme menunjukkan sebuah tren baru. Tim peneliti Hukum dan HAM Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) mencatat ada 39 tahanan dan narapidana perempuan yang terlibat antara tahun 2000-2020.

Sebelumnya, perempuan hanya berperan di balik layar atau ranah domestik sebagai pembawa pesan, penyedia dukungan logistik, mengumpulkan dana, perekrutan, mobilisasi, dan alat propaganda.

Belum sebagai pelaku. Alasannya, selama ini konstruksi sosial maupun kultural yang melekat terhadap sifat perempuan adalah lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dikenal kuat, perkasa, jantan, dan rasional.

Mulai tahun 2016, peran perempuan mengalami pergeseran. Perempuan telah menjadi pelaku bom bunuh diri, perakit bom, dan penyedia senjata. Dapat dikatakan bahwa terorisme adalah aksi lintas gender. Misalnya, pada 10 Desember 2016, Tim Densus 88 Mabes Polri di Bekasi, Jawa Barat, menangkap seorang wanita bernama Dian Yulia Novi yang diduga teroris.

Dia ditangkap karena dicurigai berencana meledakkan bom bunuh diri di Gedung Putih. DYN dan suaminya, Nur Sholihin, berafiliasi dengan ISIS. Mereka menikah karena DYN termotivasi untuk menjadi pengantin bom bunuh diri dan proses perkenalannya melalui telegram yang dijembatani oleh Bahrun Naim.

Charles Kimball, memaparkan lima tanda proses korupsi atau pembusukan agama, yaitu: (1) Klaim kebenaran mutlak (Absolute Truth Claims), contohnya DYN mengatakan bahwa yang dilakukan adalah jalan al-ghuroba (jalan orang-orang asing) jadi merasa tidak terhina menjadi orang asing.

Kemudian, Nur Sholihin berpendapat kutiba alaikumul qital (qital disini dianggap jihad atau perang) sama hukumnya dengan Kutiba Alaikumus Siyam yaitu wajib. (2) Kepatuhan buta (Blind Obedience), contohnya DYN melakukan itu juga ada perintah dan dukungan dari NS.

Sedangkan, NS berkata, “Bukan siapa yang memberi perintah, karena pimpinan tertinggi Syekh Abu Bakar Al-Baghdadi, jadi ketika itu bisa membuka pintu amaliyyah akan kita ikuti.” (3) Membangun zaman ideal (Establishing the “Ideal” Time), tujuan menghalalkan segala cara (The End Justifies Any Means), and (5) menyerukan perang suci (Declaring Holy War). (Kimball, 2002).

Menurut Juergensmeyer, teroris dalam perang kosmik (perang suci) ini melihat diri mereka sebagai pejuang dalam perang suci seperti yang dijelaskan dalam Perjanjian Lama, peristiwa dalam agama Hindu dan Buddha, dan konsep jihad Islam. Berdasarkan interpretasi jihad ini, teroris Islam tidak menganggap perbuatan kekerasan mereka sebagai terorisme (irhab), melainkan jihad adalah fardhu ain bagi mereka.

BACA JUGA  Rekonstruksi Peran Perempuan Menuju Indonesia Emas 2045

Para jihadis ini percaya bahwa mereka bertindak atas nama “true believers”. Ketika pelaku menggunakan paham agama tentang perang/perjuangan ilahi (perang kosmik) untuk kepentingan konflik demi kepentingan politik duniawi, maka hal itu disebut keras dan brutal. (Juergensmeyer, 2017).

Kemudian, dilihat dari apa yang ada dalam pola pikir ekstremisme dan logika apa yang membuat kekerasan diperlukan. Mengambil pendapat Iqbal Ahnaf, saat mata kuliah Religion, Violence, and Peacebuilding di CRCS UGM di antaranya adalah:

  1. Persepsi ketidakadilan, ketakukan yang berlebihan (paranoia), perasaan terkepung, pandangan konspirasi dari ancaman yang terorganisir dan segera, mengangkat ancaman menjadi peristiwa bencana
  2. Ketidakpercayaan terhadap sistem yang dianggap tidak beragama, korup, dan gagal
  3. Pemikiran dualistis
  4. Orientasi apokaliptik: mengacu pada peperangan masa lalu, supremasi kelompok, dan keyakinan akan kemuliaan yang dijanjikan (misalnya dalam surat wasiat kepada suaminya, Doakan saya juga supaya daganganku diterima di sisiNya dan mendapatkan nikmat syahid”)
  5. Kekerasan adalah tindakan membela diri, kejahatan yang lebih rendah diperlukan untuk membangun ketertiban, atau cara yang diperlukan untuk memberikan pelajaran
  6. Penebusan dosa/ personal redemption (misalnya dalam surat wasiat kepada keluarga, DYN menulis Semua yang terjadi karena kehendak Allah, dan apa yang saya lakukan bukan tanpa ilmu. Saya tau mana yang baik dan mana yang buruk”).

Terkadang ekstremisme bukan hanya karena faktor ideologi tetapi juga personal factors, yang mana seorang perempuan bisa terlibat karena sudah dijajah pemikirannya dengan pemahaman agama yang radikal. KH. Hasyim Muzadi memaparkan bahwa seseorang boleh saja berpikir secara radikal.

Namun hasil pemikirannya akan berbahaya jika menjadi isme yaitu mazhab atau ideologi. Jika sudah menjadi mazhab seseorang tersebut akan keras dalam memaksakan hasil pemikirannya terhadap orang lain atau kelompok lain.

Inilah yang disebut dengan radikalisme. Hal yang tampak seperti tren pengafiran, mudah menyalahkan, provokatif, liberal, dan menyesatkan kelompok lain yang berbeda dengan diri dan kelompoknya.

Jika hal tersebut dibiarkan terus-menerus, tidak menutup kemungkinan akan ada lebih banyak perempuan-perempuan lain yang menjadi korban atau pun pelaku terorisme. Padahal tindakan tersebut di luar ajaran agama yang bersifat tekstual atau kontekstual. Terorisme dimaksudkan untuk membela agama, namun mengabaikan cita-cita agama seperti perdamaian dan kemanusiaan.

Para pelaku kurang menyadari bahwa memperjuangkan keadilan dan kebenaran dalam agama tidak dapat dibenarkan dengan menggunakan kekerasan. Sehingga mampu menganggu perdamaian dan keamanan dunia.

Prof. Musdah Mulia berpesan bahwa perempuan harus memiliki nalar kritis karena tidak ada ajaran agama yang mengakomodasi kekerasan. Dalam konteks ini, ketaatan kepada figur, baik suami atau pemimpin tidak boleh mutlak karena akan berbahaya.

Daftar Rujukan

Bloom, M. (2011). Bombshell: Women and Terrorism. University of Pennsylvania Press.

Darden, J. T. (2019). Tackling Terrorists’ Exploitation of Youth. American Enterprise Institute.

Juergensmeyer, M. (2017). Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence (4th ed.). University of California Press.

Kimball, C. (2002). When Religion Becomes Evil. HarperCollins Canada.

Lubis, U. (2021, March 31). Mengapa Perempuan Dianggap Efektif sebagai Pelaku Bom Bunuh Diri? IDN Times.

Yunita, N. (2019). Perempuan dalam Pusaran Terorisme. Infid. https://www.infid.org/news/read/perempuan-dalam-pusaran-terorisme

Ayu Kristina
Ayu Kristina
Mahasiswa Program Studi Agama dan Lintas Budaya Center for Religious and Cross-cultural Studies, Graduate School, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru