28 C
Jakarta
Array

Saleh Ritual Plus Saleh Sosial

Artikel Trending

Saleh Ritual Plus Saleh Sosial
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Islam sebagai sebagai way of life atau jalan hidup, bukan hanya untuk kepentingan pribadi semata, akan tetapi untuk kepentingan umum. Rupa-rupanya Islam sejatinya memiliki dimensi kesalehan pribadi dan kesalehan sosial, yang kemudian dalam bahasa Gus Mus ada istilah “saleh ritual, saleh sosial”. Keduanya harus senantiasa bersinergi dalam membentuk kehidupan yang religius dan humanis.

Nyatanya, kerap kali kita jumpai kesalihan pribadi lebih dominan daripada kesalehan sosial. Alhasil, ritualitas berjalan semarak di satu sisi, sementara di sisi lain terdapat berbagai ketimpangan sosial. Fenomena sosial seperti: kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, dan lingkungan yang tidak tertib merupakan indikator minimnya kesalehan sosial.

Rupa-rupanya begini, Allah SWT memiliki sifat Qiyamuhu binafsihi yang memiliki arti berdiri sendiri, Allah SWT mutlak dan tidak dipengaruhi apalagi tergantung hal-hal di luar diri-Nya. Allah SWT mustahil dan tidak mungkin mengambil manfaat dari semua bentuk dan hasil peribadatan manusia kepada-Nya. Bahkan Allah juga mustahil mengambil manfaat dari keislaman dan peribadatan manusia.

Lantas siapakah yang seharusnya mendapatkan manfaat dari peribadatan manusia? Atau siapa yang akan mendapat manfaat dan kebaikan dari keislaman dan keimanan seseorang? Harusnya buah keimanan itu dipetik atau dipersembahkan kepada sesama manusia secara pribadi, keluarga atau masyarakat. Bahkan karena manusia beriman harus menjalin  persaudaraan antar makhluk maka keimanannya kepada Tuhan baru memiliki arti apabila buahnya sudah bisa dinikmati oleh alam seisinya.

Jangan samapai dalam benak fikiran kita menganggap bahwa Allah SWT mempunyai kepentingan mengambil manfaat dari ibadah kita. Anggapan semacam itu harusnya kita benahi, karena anggapan semacam itu sama saja dengan melecehkan Allah SWT. Anggapan semacam itu tentunya bertentangan denga sifat Qiyamuhu binafsihi-nya Allah.

Dari sini kita akan menarik sebuah kesimpulan bahwa kesalehan pribadi seorang muslim bisa diukur dari sejauh mana kualitas ibadahnya. Misalkan ibadah itu adalah shalat, kesalehan pribadi seseorang akan nampak baik apabila ia menjaga shalatnya dan mempaerbaharui shalatnya agar semakin baik, khusuk, penuh keikhlasan dan istiqamah.

Nabi Muhammad SAW menyatakan dalam Hadits, yang mana Hadis ini memiliki hubungan yanga erat dengan bagaimana seharusnya kita bersikap dalam beribadah. Hadisnya cukup panjang yang intinya dalam beribadah kita harus bersikap ihsan. Penggalan Hadits Nabi yang menjelaskan tentang ihsan itu berbunyi begini:

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاك

Yang artinya: “beribadahlah kamu kepada Allah seolah-olah melihat Allah dan jika tidak bisa seperti itu maka kamu yakin bahwa Allah melihatmu”

Jika tahapan ihsan itu terlampaui, maka bisa dikatakan kesalehan pribadi kita sudah masuk kualifikasi.

Islam adalah agama yang ditujukan untuk memberikan rahmat bagi semesta alam. Kesalehan pribadi saja belum cukup untuk menuju kualifikasi rahmat bagi alam semesta. Dalam Islam, ibadah-ibadah ritual selalu memiliki pesan moral yang harus diimplementasikan dalam praktek kehidupan. Ritual shalat yang baik akan berimbas pada kemampuan mushalli (pelaku shalat) dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar; selalu merasa dalam pengawasan Allah.

Begitpun juga puasa. Puasa melahirkan kepekaan sosial. Saat berpuasa kita merasakan dahaga dan lapar. Sadarkah kita bahwa dahaga dan lapar adalah penderitaan yang sering dialami oleh orang-orang miskin. Maka dari itu dengan berpuasa kita akan merasakan penderitaan yang dialami omeh orang-orang miskin.

Ibadah qurban juga diharapkan dapat melahirkan kepekaan sosial. Menyembelih hewan qurban kemudian membagi-bagikan daging dari hasil dari sembelihan dengan rata kepada masyarakat. Tindakan ini mengandung makna pemerataan. Pemerataan ini sangat kita butuhkan untuk mengobati ‘luka-luka sosial’ berupa kesenjangan ekonomi yang mendorong munculnya berbagai konflik sosial.

Penggalian nilai-nilai sosial dalam shalat, puasa, dan qurban diatas tadi merupakan sebagian dari nilai-nilai sosial yang ada dalam semua peribadatan yang diperintahkan oleh Allah. Tentunya masih banyak lagi nilai-nilai sosial yang masih belum terungkapkan.

Semoga kita mampu mensinergikan kesalihan pribadi sekaligus kesalihan sosial kita, agar kedepan kita dapat istiqamah menjadi pribadi muslim yang religius dan humanis atau dalam istilahnya Gus Mus “Saleh Ritual, Saleh Sosial”.

Wallahu A’lam

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru