30.1 C
Jakarta

Salam; Fatwa Basi MUI

Artikel Trending

Milenial IslamSalam; Fatwa Basi MUI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Minggu (10/11) kemarin, Mejelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur membuat himbauan agar ketika berpidato, pejabat tidak mengucapkan salam semua agama. Aturan tersebut, konon, berlandaskan sebuah persepsi bahwa salam adalah doa, sedang doa adalah bagian dari ibadah. Dan setiap ibadah, katanya, tidak boleh dicampuradukkan antara agama satu dengan yang lainnya.

Sudah menjadi kebiasaan, bahwa pejabat kita, dalam setiap pidato publiknya, membaca bermacam versi Assalamualaikum. “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat malam. Salam sejahtera untuk kita semua. Om Swastyastu. Namo Buddhaya. Salam kebijakan,” kata Presiden Jokowi dalam sambutan di HUT ke-8 NasDem. Salam tersebut juga selalu jadi mukadimah pidato Menhan, Prabowo Subianto.

Pro-kontra pun menguat. Menag Fachrul Razi menegaskan, jika audiens berasal dari agama yang beragam, dan pidatonya disampaikan dalam acara skala Nasional, maka salamnya pun harus mencakup seluruh audiens, dan itu disebut salam Nasional. Wamenag bahkan mengatakan, itu tak perlu diperdebatkan, karena mengandung intoleransi, dan akan mengganggu harmoni antarumat beragama.

Lalu bagaimana kita, generasi milenial, merespon isu salam tersebut?

Silang Pendapat

Fatwa No. 110/MUI/JTM/2019 yang diteken KH. Abdusshomad Buchori, Ketua MUI Jawa Timur, itu juga diafirmasi MUI pusat. Sekretaris Jenderal MUI, KH. Anwar Abbas menyebut fatwa tersebut tidak mengandung intoleransi, juga merupakan bentuk kebebasan ibadah yang secara konstitusional dibenarkan. Artinya, MUI pusat juga setuju, salam semua agama merupakan bidah dan syubhat.

Sementara itu, Buya Yahya mengatakan, jika salamnya adalah ‘Assalamualaikum’, tidak boleh diucapkan kepada non-Muslim. Ia bertolak dari sejarah seorang Muslim di masa Nabi yang memelintir kata ‘as-salam’ jadi ‘as-sam’. Namun, jika dalam konteks lintas agama, Buya yahya menekankan untuk mengganti salam dengan, misalnya, ucapan selamat pagi, selamat siang, dan sejenisnya.

Bahtsul Masail PWNU menghasilkan kesimpulan yang lebih moderat. KH Syafrudin Syarif, Katib Syuriah PWNU Jawa Timur menjelaskan, jika dalam konteks kemaslahatan menjaga kerukunan antarumat, maka ucapan salam apapun dipersilakan, termasuk dengan kata ‘Assalamualaikum’. Ia adalah simbol perdamaian. Dalam hal ini, ia juga bertolak dari sejarah Nabi ketika mengucapkannya kepada kaum Yahudi.

Salam itu Topik Basi

Apa yang difatwakan MUI Jawa Timur, dan kemudian didukung MUI pusat, adalah bentuk konkret manipulasi agama. Sebagai otoritas pemangku keagamaan, seharusnya tidak berpikiran seeksklusif itu. Salam itu kita artikan sebagai interaksi simbolik perdamaian. Dan jika demikian, maka ia bebas dari sekat agama maupun bahasa. Tetapi bagi MUI, bidah tetap dianggap bidah. Sangat keterlaluan.

Sejujurnya, sebagai milenial, kita dihadapkan dengan persoalan yang lebih kompleks, ketimbang berdebat soal salam. Fatwa MUI adalah topik lama, sudah banyak dijawab dan, mungkin dapat kita katakan sebagai topik basi, sebagaimana basinya berdebat tentang boleh-tidaknya memperingati Maulid Nabi. Alasannya mudah ditebak. Kalau tidak murtad, ya, dianggap bidah.

Persoalan yang lebih kompleks, misalnya diskursus tentang masa depan umat manusia. Apakah kita, manusia (Homo sapiens), akan benar tergantikan oleh robot, Homo deus? Lalu, jika iya, mungkinkah kemanusiaan ketika itu masih ada? Dan jika kemanusiaan ikut musnah, apakah saat itu agama—yang basis utamanya adalah memanusiakan manusia, humanisasi—masih diperlukan?

BACA JUGA  Polarisasi dan Disintegrasi: Residu Pemilu yang Harus Diantisipasi

Tidak ada yang bisa menepis, kecerdasan artifisial (artificial intellegence) sudah berada di taraf yang hampir setara dengan kita. Bahkan dalam taraf tertentu, kita sudah diungguli jauh oleh mereka. Padahal, jika Homo sapiens musnah, kemanusiaan, lalu agama, juga ikut musnah. Apakah saat itu terjadi, debat kusir tentang boleh-tidaknya ucap salam lintas agama masing akan jadi topik pembicaraan?

Benar perkataan, bahwa beragama butuh kedewasaan. Salam itu berasal dari kata Arab ‘al-salaam’, artinya kedamaian. Dalam konteks Indonesia, dengan agama yang beragam, menjaga kerukunan adalah sesuatu yang urgen. Mengucapkan salam adalah simbol toleransi, dan tidak selamanya berkenaan dengan aspek peribadatan (al-‘ibadah), apalagi keyakinan (al-‘aqidah).

Apakah hanya dengan berucap ‘Shaloom, atau, Om Swastyastu’, iman kita sebagai Muslim berkurang? Jika iya, berarti bukan salamnya yang salah, melainkan betapa tipisnya keimanan kita. Namun demikian, sampai kapan pun debat seperti ini akan berkelanjutan. Intinya, bidah-membidahkan akan berlanjut. Tetapi kita sebagai generasi milenial tidak boleh larut dalam fatwa dan perdebatan yang sudah basi.

Esensi Salam

Agama kita, Islam, al-Islam, artinya adalah kedamaian. Juga diartikan sebagai ketundukan diri kepada Allah semata (al-inqiyadz bi Allah). Kedatangan Islam memberikan angin segar menyatukan suku-suku di Mekah, yang notabene mementingkan strata sosial, ke dalam tatanan sosial yang egaliter. Kedatangan Islam juga mendamaikan suku Auz dan Khazraj di Madinah, juga kesepakatan damai antarumat, melalui Pigam Madinah (Mitsaq al-Madinah), dengan Yahudi dan Kristen.

Dalam al-Qur’an, derivasi s-l-m disebut lebih dari empat puluh kali. Yang berkaitan dengan salam sebagai ucapan, di antaranya, ucapan salam Ibrahim dalam Hud [11]: 69 dan al-Dzariyat [51]: 25. Membalas orang bodoh secara sopan, dalam al-Furqan [25]: 63. Salam adalah penghormatan, al-Furqan [25]: 75, Yunus [10]: 10, dan al-Qashash [28]: 55. Juga salam kepada orang tidak beriman, sebagaimana dalam al-Zukhruf [43]: 89.

Dari ayat yang ada, rata-rata kata ‘as-salam‘ dikonotasikan sebagai simbol penghormatan. Misalnya, al-Qur’an mengajarkan, bahwa jika berdebat dengan orang bodoh, ucapkan salam, lalu sudahi debatnya. Bagi orang tidak beriman juga demikian. Hormati saja. Perkara mereka mencaci, atau hal baruk lainnya, itu menjadi tanggung jawab dirinya dengan Allah Swt. semata.

Esensinya adalah sikap penghormatan, dan penghormatan itu tak mengenal agama dan bahasa. Kita boleh bersalaman dengan non-Muslim, berdamai, rukun, dan ucapkan salam dengan mereka. Kita juga tidak dituntut menggunakan bahasa Arab ‘Assalamualaikum’, yang terpenting mencukupi syarat sebagai sikap saling menghormati. Sah saja, misalnya, kita berucap dengan kata ‘Shaloom. Om Swastyastu’.

Yang dilarang Nabi Saw. dalam hadis ialah, jika non-Muslim berdoa buruk, lalu kita balas dengan ‘Assalamualaikum’. Konteks dalam kasus itu ialah tiadanya sikap saling menghormati, sehingga dilarang. Sekali lagi, persoalan salam adalah masalah yang final, dan fatwa tentangnya sudah basi. Sebagai milenial, yang penting kita pikirkan ialah penguatan kemanusiaan. Selain memikirkan masa depan humanisme kita, juga aktif memberantas dehumanisasi. Radikalisme agama adalah contoh utamanya.

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru