Harakatuna.com – Pada 10–16 November 2024, Jaringan Gusdurian menggelar Festival Beda Setara (Best Fest). Acara ini berlangsung di Taman Peradaban UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dengan menghadirkan tokoh agama, praktisi KBB (Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan), serta civitas academica untuk merumuskan strategi baru dan rekomendasi bagi penguatan gerakan KBB di Indonesia.
Festival Beda Setara mengacu pada ide yang terkandung dalam Al-Qur’an, yaitu la ikraha fi al-din (Al-Baqarah [2]: 256). Ayat tersebut bermakna “tidak ada paksaan dalam beragama.” Artinya, tidak seorang pun boleh memaksa, apalagi menggunakan kekerasan, untuk menganut agama tertentu, termasuk agama Islam.
Makna ini sangat kontekstual di Indonesia, yang masih menghadapi persoalan perundungan berbasis agama, penutupan paksa tempat ibadah, dan berbagai kasus pelanggaran KBB yang belum terselesaikan secara adil.
Sebagai contoh, penyegelan Masjid Ahmadiyah di Jawa Barat, penolakan kegiatan Asyura, pelarangan aktivitas kelompok agama Syiah Jafariah di Kota Maluku Utara, pelarangan kegiatan International Society for Krishna Consciousness (ISKCON) di Bali, serta diskriminasi terhadap penganut kepercayaan lainnya. Kasus-kasus ini masih bergolak dan belum tertangani dengan baik.
Dalam Festival Beda Setara, pelanggaran-pelanggaran tersebut ditampilkan sebagai bahan refleksi. Sayangnya, banyak generasi milenial yang tidak mengetahui realitas ini, seolah-olah dunia tampak damai dan Indonesia bebas dari kekerasan beragama.
Menurut SETARA Institute, pada tahun 2023, terdapat 329 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dalam 217 peristiwa. Angka ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 175 peristiwa dengan 333 tindakan pelanggaran. Oleh karena itu, sebagai perwujudan nilai-nilai Gus Dur, Gusdurian menggelar Festival Beda Setara untuk mendampingi komunitas keagamaan yang rentan terhadap diskriminasi.
Menjamin kebebasan beragama bagi semua umat adalah menjalankan titah Al-Qur’an, la ikraha fi al-din. Memberikan rasa aman bagi setiap agama di Indonesia adalah amanat UUD 1945, khususnya Pasal 29 ayat (2), yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut kepercayaannya. Selain itu, kebebasan beragama juga dijamin dalam Pasal 22 UU HAM.
Salah Kaprah Aktivis Khilafah
Sayangnya, gagasan ini tidak diindahkan oleh aktivis khilafah. Ummu Nashir N.S. dalam tulisannya, Kebebasan Beragama: Salah Kaprah Memahami Makna Laa Ikraha Fiddiin, menyebut bahwa Festival Beda Setara kental dengan aroma pluralisme dan hanya mengukuhkan moderasi beragama. Ia bahkan menuduh bahwa ide tersebut memberikan kebebasan untuk memilih keyakinan apa pun, dengan anggapan semua agama sama dan benar.
Berdasarkan perspektifnya, Ummu Nashir mengklaim bahwa Islam tidak mengenal konsep HAM, karena hak manusia, menurutnya, hanya diatur oleh Allah sebagai Sang Pencipta (Al-Khaliq) dan Pembuat Syariat (Asy-Syari‘). Baginya, tidak ada satu dalil pun yang mendukung kebebasan beragama. Ia juga menegaskan bahwa umat Islam wajib menjaga agama dengan taruhan hidup dan mati.
Namun, pandangan tersebut bertentangan dengan mayoritas ulama yang menafsirkan laa ikraha fiddiin sebagai penegasan bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi dalam Tafsir Jalalayn menegaskan makna ini. Prof. Quraish Shihab juga menafsirkan ayat ini sebagai bentuk kebebasan yang Allah berikan kepada manusia, di mana paksaan hanya akan menciptakan ketidakdamaian dalam jiwa.
Prof. Quraish Shihab menambahkan bahwa la ikraha fi al-din berarti Allah tidak memerlukan sesuatu sehingga tidak perlu ada paksaan. Allah menghendaki kedamaian bagi semua manusia, dan keragaman dalam memilih agama adalah bagian dari kehendak-Nya.
Gagalnya aktivis khilafah dalam memahami konteks kebebasan beragama mencerminkan sikap ekstrem yang mereka miliki. Penafsiran yang salah kaprah ini sering dipandu oleh ideologi yang berlebihan, hanya untuk membenturkan Islam moderat dengan ekstremisme mereka: khilafah.