29.7 C
Jakarta

Saat Egomu Mengalahkan Moralmu

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanSaat Egomu Mengalahkan Moralmu
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kenapa manusia butuh moral? Bukannya masing-masing lahir dengan membawa fitrah? Sebelum ngejawab pertanyaan ini, saya ingin mengurai sebuah cerita menarik, sekalipun sifatnya individual.

Suatu hari ada seseorang–sebut saja V–bergabung dalam group WhatsApp atau lebih akrab disebut WA. Dia hadir penuh energik. Saking energiknya, kadang bertindak di luar nalar. Sebut saja, nyepam emotikon yang sulit dipahami banyak orang, bahkan saya sendiri yang baru kenal dan belum pernah ketemu dispam dengan emotikon yang sulit dipahami pula. Saat ditanya, jawabnya sederhana, “Sorry, gue lagi gabut.”

Begitu tahu kegabutan yang membuatnya bertindak di luar nalar, saya hanya membatin: “Kenapa aku atau orang lain yang dijadikan pelampiasan atas kegabutannya? Kenapa tidak dirinya sendiri dengan cara refleksi? Atau melampiaskan dengan doa yang dapat didengar oleh Tuhan yang Maha Mengerti apa yang dirasakan hamba-Nya?” Saya–bahkan orang lain–kadang kurang senang mendapat perlakuan seperti itu, tapi demi tegaknya persahabatan dan persatuan, saya pura-pura tidak merasakan suatu apapun. Seakan baik-baik saja. Seakan tidak ada masalah.

Hari demi hari saya mulai menafsirkan, Si V yang overact adalah sosok yang suka bercanda. Biasanya orang yang suka bercanda, memiliki kepribadian ekstrovert, mudah bergaul, dan tidak mempertahankan egonya sendiri. Namun, tafsir itu berbanding terbalik. Si V merasa risih mendengar candaan temen di group WA sehingga dengan egonya dia pamit keluar group. Sikap pamit ini mengingat saya pada video yang dibuat Ria Ricis dengan judul “Saya Pamit” yang menghadirkan pro-kontra di jagat media sosial.

BACA JUGA  Pilihlah Presiden yang Berilmu dan Beretika, Siapa Dia?

Cerita tersebut mungkin dapat mengawali menjawab pertanyaan kenapa manusia butuh moral atau akhlak. Sacara sederhana masing-masing memiliki ego yang berbeda. Karena manusia itu adalah makhluk sosial, maka mereka hendaknya mengendalikan egonya sehingga tercapai hubungan yang harmonis dan saling mengerti satu sama lain. Orang lain tidak bisa dipaksa selalu memenuhi kebutuhan Anda. Saat sedih, Anda maunya diperhatikan oleh orang lain. Saat bahagia, Anda tidak mempedulikan orang lain. Sikap seperti ini tidak baik dimiliki oleh siapapun yang berkeinginan berinteraksi dengan orang lain, kecuali dia mau hidup sendirian di tengah belantara hutan.

Ego itu adalah sesuatu yang bahaya bila tidak dimanage dengan baik. Banyak kelompok garis keras, seperti HTI, FPI, atau ISIS yang mempertahankan egonya sendiri, sehingga kebenaran dimonopoli, sementara orang lain yang berbeda dengan mereka tidak memiliki kebenaran, diklaim sesat, bahkan dikafirkan. Sikap semacam ini dapat memecah persatuan yang seharusnya dijaga. Agama tidak menginginkan persatuan roboh karena ego sebagian pihak.

Dengan oretan singkat ini, saya hanya ingin berpesan: Posisikan lawan bicaramu dengan sikap yang adil, bukan sikap acuh tak acuh. Keadilan terjalin saat moralmu mengalahkan egomu.[] Shallallah ala Muhammad.

 

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru