Harakatuna.com. Jakarta. Penyempurnaan mekanisme pemenuhan hak korban tindak pidana terorisme, termasuk kompensasi disempurnakan dalam pembahasan revisi Undang-undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai mengatakan pemenuhan hak-hak korban tindak pidana terorisme sebenarnya telah diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU Perlindungan Saksi dan Korban. Dua undang-undang itu dipandang Semendawai telah cukup kuat mengatur hak korban tindak pidana terorisme.
“Bagaimana mekanisme korban terorisme mengakses hak-haknya, termasuk dalam hal kompensasi, ini yang belum diatur perundang-undangan. Dalam pembahasan revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, inilah salah satu hal yang akan disempurnakan,” kata Semendawai, melalui pesan elektronik diterima Validnews, Rabu (11/10).
Semendawai mengungkapkan, hingga saat ini, LPSK tengah memberikan sebanyak 118 layanan bagi korban terorisme, terdiri dari bantuan medis sebanyak 38 layanan, rehabilitasi psikologis 29 layanan, rehabilitasi psikososial 28 layanan dan fasilitasi kompensasi sebanyak 18 layanan.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menuturkan, awalnya pembahasan revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme hanya fokus pada pencegahan, penindakan dan deradikalisasi. Kemudian LPSK berinisiatif agar perlindungan saksi dan korban dapat diatur dalam revisi UU.
“Hanya ada 6 pasal tentang perlindungan saksi dan korban dalam UU tersebut,” tukas Edwin.
Menurutnya, banyak hal yang dibutuhkan korban namun belum ter-cover dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban dan harus dimasukkan dalam revisi UU Terorisme. Hal tersebut belajar dari pengalaman LPSK dalam melakukan pemenuhan hak korban terorisme selama ini, seperti penanganan bagi korban setelah terjadinya peristiwa terorisme.
Dalam memberikan bantuan kepada korban, lanjut Edwin, juga dibutuhkan surat keterangan korban dari penyidik. Terkait hal itu, dalam pembahasan revisi UU Terorisme, dimasukkan kewajiban penyidik untuk menetapkan siapa saja korban dalam peristiwa terorisme. Sedangkan untuk kompensasi, dalam praktik selama ini dimasukkan dalam tuntutan.
“LPSK meminta agar kompensasi sudah masuk sejak penyidikan. Ini penting agar proses kompensasi terus dibawa dari mulai penyidikan hingga sidang,” ujar Edwin. (M Bachtiar Nur)