Harakatuna.com – Israel menyerang lebih dari 350 situs militer di Suriah dengan dalih demiliterisasi. Rabu (11/12) kemarin, tank-tank zionis terus bergerak di zona penyangga pemisah Dataran Tinggi Golan dengan Suriah, yang didirikan pasca Perang Yom Kippur tahun 1973. Namun, Israel tetap membantah pasukannya bergerak menuju ibu kota Suriah, Damaskus. Bertambah hari, jatuhnya Assad semakin memperjelas ‘ketidakjelasan’ masa depan Negeri Syam itu sendiri.
Satu sisi, umat Islam di berbagai belahan dunia akan euforia karena menganggap rezim sosialis-komunis dan tiran Assad akhirnya runtuh. Di sisi lain, Muslim juga pasti bingung karena Suriah saat ini malah lemah dan akan menjadi target okupasi Israel ke depan. Zionis tidak akan pernah menyerah—demi ambisi ‘Israel Raya’—untuk menguasai Suriah. Buktinya, belum sepekan Assad runtuh, Israel sudah mencaplok Dataran Tinggi Golan.
Di Indonesia, respons masif datang dari mantan-mantan teroris, yang merasa bahagia atas kemenangan HTS melawan Assad. Lebih dari sekadar ucapan tahniah, Abu Tholut dari JAS dan Masud Izzul Mujahid dari JI, juga sejumlah eks-teroris lainnya, akan membawa kemenangan HTS sebagai narasi pendorong cita-cita Daulah. Dengan kata lain, mereka akan memprovokasi umat Muslim di tanah air untuk melakukan perlawanan yang sama.
Hal itu bukan bualan tak berdasar. Radikal-terorisme di Indonesia punya genealogi yang kompleks dan multidimensional. Selain faktor internal seperti kondisi sosial-ekonomi dan doktrin teologis, peristiwa eksternal juga memainkan peran krusial yang tak boleh diabaikan. Revolusi Iran pada 1979 mengilhami gerakan Komando Jihad NII pada 1980-an, dan berkuasanya Taliban atas Afghanistan pada 1996-2001 berdampak lebih panjang, yakni semaraknya terorisme di Indonesia selama dua dekade terakhir.
Jika dibuat klasifikasi, maka Revolusi Iran adalah fase pertama dan Taliban adalah fase kedua semaraknya radikal-terorisme di tanah air. Dan jika dilanjut—tanpa ada upaya preventif—maka berkuasanya HTS di Suriah hari ini akan menjadi fase ketiga. Fase ini, buruknya, tidak lagi sekadar soal semaraknya terorisme, melainkan konsolidasi fraksi-fraksi teror yang akan bersatu sebagai kekuatan besar untuk proyek global mereka: Daulah.
Konsolidasi Fraksi-fraksi Teror
Seseorang mungkin akan menyanggah: “kelompok teror di negara ini tidak akan pernah bersatu.” Sekilas, itu tampak benar. Masing-masing kelompok teror punya doktrin spesifik yang menyulitkan persatuan dan melanggengkan friksi di antara mereka. Namun, tidak ada yang mustahil. Fraksi-fraksi teroris itu kerap kali didorong oleh egoisme golongan saja, bukan perbedaan tujuan (ghāyah). Sebab, cita-cita akhir mereka sama, yakni Daulah Islam.
Pada saat yang sama, Bumi Syam, yang kini meliputi Suriah, Lebanon, Yordania, dan Palestina, selalu menjadi simbol eskatologi Islam. Hadis-hadis tentang keutamaan Syam selalu dimanfaatkan kelompok jihadis sebagai alat legitimasi perjuangan mereka. Dalam nubuat, Syam digambarkan sebagai tanah yang dirahmati, tempat para mujahid akan berkumpul di akhir zaman untuk melawan dajal.
Keyakinan semacam itu tidak saja memperkuat narasi ideologis HTS, tetapi juga menjadi magnet untuk para jihadis di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Fraksi-fraksi teror memanfaatkan doktrin tersebut untuk merekrut teroris baru, menggalang dana jihad, dan membenarkan segala rupa gerilya terorisme. Artinya, untuk Suriah, nubuat eskatologis tentang Bumi Syam jadi alat konsolidasi kekuasaan—bukan hanya iman.
HTS memang telah bertransformasi dari cabang Al-Qaeda ke entitas otonom dengan ambisi politiknya sendiri. ISIS melihat HTS sebagai pesaing, bahkan ancaman. Mereka saling bersaing mendapatkan legitimasi, sumber daya, dan pengaruh, alih-alih benar-benar bersatu melawan musuh yang sesungguhnya. Sama halnya juga JI, JAD, dan JAS. Tetapi pertanyaan besarnya, mengapa mereka menyatu untuk sama-sama bertahniah atas HTS di Suriah?
Di Indonesia, narasi tentang Bumi Syam memang punya daya tarik luar biasa. JI dan JAS telah lama menggunakan isu Suriah untuk memperkuat basis mereka. Sejak awal konflik Suriah, kedua fraksi itu memosisikan diri sebagai pendukung kelompok oposisi Assad, dengan alasan bahwa perjuangan di sana adalah bagian dari nubuat. Dan ketika al-Jaulani benar-benar berhasil, sekat fraksi pun diabaikan, dan potensi konsolidasi semakin nyata.
Dengan kata lain, ucapan tahniah dari Abu Tholut dan Izzul Mujahid adalah bukti konkret ihwal antusiasme mereka menyambut terealisasinya nubuat tentang Bumi Syam. Namun, dalam konteks yang lebih dalam, dukungan tersebut membuka jalan konsolidasi fraksi teror di Indonesia. Nubuat tentang Syam dipakai untuk: memperkuat narasi jihad dan teror nasional-global, menyatukan fraksi-fraksi yang terpecah, dan membangun legitimasi moral-politis untuk bersama-sama menegakkan Daulah.
Rekoneksi Jihadisme Global
Revolusi Syam. Mungkin itu bahasa yang tepat untuk menggambarkan runtuhnya Assad dan naiknya al-Jaulani di Suriah hari ini. Revolusi Syam membuka bab baru jihadisme global; angin kemenangan HTS bertiup jauh melampaui batas geografisnya. Di tengah reruntuhan Damaskus, di antara puing jalanan dan bayang-bayang masjid tua, dunia menyaksikan pergulatan cita-cita lokal dan ambisi global, antara politik pragmatis dan dogma jihadisme.
Memang, dalam segala keberaniannya, HTS telah mendiferensiasi dirinya dari ISIS dan Al-Qaeda. Tak ada eksekusi massal di pasar-pasar, tak ada parade mengerikan dengan bendera hitam membayangi jalan-jalan kota yang baru direbut. Alih-alih, mereka berbicara ihwal ‘penaklukan damai’, yang serupa narasi Taliban. HTS tengah mencoba merayu negara global demi membangun kredibilitasnya untuk tujuan jangka panjang.
Tetapi, di balik topeng moderasi ala HTS, ancaman tak pernah benar-benar surut. Di Indonesia, gema kemenangan Suriah beresonansi seperti panggilan dari masa lalu untuk masa depan. Generasi baru jihadis yang tumbuh dalam bayang-bayang konflik mulai melihat peluang besar: sebuah panggilan untuk ‘rekoneksi’ dengan Suriah, tanah yang mereka yakini diberkati berdasarkan hadis-hadis Rasulullah.
Artinya, di bawah lapisan kerapian propaganda, ada pola yang terlalu akrab. Para teroris lokal mulai menyusun kembali jejaringnya, menyusun ulang visi mereka. Rekonsiliasi antarfraksi teror tak lagi impian semu belaka. Kemenangan ‘saudara semisinya’ di Suriah menjadi semacam katalisator, sebuah bukti riil bahwa mimpi Daulah telah dekat di pelupuk mata. Tholut dan Izzul hanya sampel. Selain mereka, boleh jadi tak terhitung jumlahnya.
Bayangkan, di ruang-ruang bawah tanah yang tak terendus aparat, percakapan dimulai. “Jika mereka bisa melakukannya di sana, kenapa kita tidak bisa di sini?.” Skenario ini bukan lagi sekadar cerita horor masa depan. Monitoring terhadap pergerakan WNI yang menyamar sebagai volunter kemanusiaan atau pelajar ke Suriah, umpamanya, merupakan alarm yang memekik bagi aparat keamanan.
Narasi “Syam sebagai benteng Islam terakhir” bukanlah cerita belaka, tetapi simbol kuat penggugah hati mereka yang telah lama kecewa dengan sistem lokal. Kegagalan ISIS—atau JAD di Indonesia—tak melumpuhkan ideologi mereka; ia hanya membuatnya lebih licin, lebih sulit ditangkap. Dan dengan HTS yang kini berdiri sebagai ikon baru, siapa yang tahu berapa banyak simpatisan di Indonesia yang melihat peluang gerilya baru tersebut?
Kita tidak boleh meremehkan dampak emosional dari apa yang terjadi di Suriah hari ini. Untuk setiap gambar bendera HTS yang berkibar di atas Damaskus, ada hati yang tergugah ribuan kilometer jauhnya: kaum jihadis. Untuk setiap pidato al-Jaulani tentang keadilan dan perlindungan rakyat Suriah ke depan, ada pemuda di tanah air yang merasa bahwa tatanan Daulah masih bisa diperjuangkan—meski darah dan nyawa taruhannya.
Sebagaimana Taliban jadi pelindung Al-Qaeda, HTS berisiko jadi katalisator jihadis dari seluruh dunia, termasuk Indonesia, dan menuju agenda rekoneksi. Indonesia selalu menjadi target empuk karena kaya akan perbedaan. Suriah, pada saat yang sama, bukan soal teritorial, melainkan negeri yang dinubuatkan. Adalah benar bahwa kemenangan HTS akan menjadi legasi perjuangan jihadisme, baik nasional maupun global.
Dengan demikian, naiknya al-Jaulani dan berkuasanya HTS kemungkinan besar menjadi momok menakutkan bagi negara-negara di dunia. Kemenangan di Suriah kemudian menjadi panggilan untuk bersiaga, untuk tidak lagi meremehkan ancaman yang potensial tersebut. Dunia telah melihat apa yang bisa terjadi ketika masyarakat lengah. Maka, jangan sampai rekoneksi jihadis terjadi, apalagi di tanah air sendiri, Indonesia.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…