Harakatuna.com – Matahari sore menyinari Bundaran Tahrir di pusat Kairo, Mesir, mengubahnya menjadi lautan manusia yang bergerak serempak seperti ombak. Ada sesuatu di udara selain debu dan bau keringat; itu adalah aroma perubahan. Bendera Mesir berkibar di atas kepala, sementara teriakan “Al-sha’b yurīd isqāt al-nizhām! (Rakyat ingin rezim tumbang!)” menggema dari segala penjuru. Hari itu, 11 Februari 2011, tirani 30 tahun Husni Mubarak tamat.
Di sisi lain Afrika Utara, delapan bulan sebelumnya, rakyat Libya mencium rasa kemenangan ketika rezim Muammar Gaddafi, yang berkuasa selama 42 tahun, juga jatuh. Libya mencatat babak terakhir tirani Gaddafi pada Oktober 2011. Namun, euforia sebenarnya dimulai saat pemberontakan menyapu kota demi kota. Di Misrata, keluarga-keluarga keluar dari rumah mereka, membawa makanan untuk para pemberontak di front depan.
Ketika Tripoli akhirnya jatuh ke tangan oposisi, jalan-jalan penuh suara tembakan perayaan dan klakson mobil tak henti-henti. Omar, seorang guru sekolah, melukiskan wajah anak-anaknya dengan warna bendera Libya yang baru. “Ini adalah hari di mana kita menghapus ketakutan,” katanya dengan bangga.
Namun, di balik tawa dan pelukan, di balik euforia karena aroma perubahan itu, tidak sedikit yang menyadari bahwa perjuangan belumlah berakhir. Hajar, seorang mahasiswa hukum yang bergabung dengan gerakan revolusi, mengungkapkan kekhawatirannya, “Kita telah menumbangkan seorang tiran, tetapi siapa yang akan memimpin kita sekarang?,” katanya.
Kembali ke Mesir. Di Tahrir, tak ada yang tidur malam itu. Fatma, seorang gadis 23 tahun yang berjuang bersama ribuan rakyat lainnya selama 18 hari berturut-turut, berdiri di bahu temannya, menangis sambil melambai-lambaikan bendera. “Ini bukan sekadar kemenangan, ini kebebasan,” ujarnya sambil tersedu. Musik mulai mengalun dari pengeras suara. Drum Mesir dimainkan, dan tarian Dabke memenuhi sudut-sudut jalan.
Wajah-wajah kelelahan berubah menjadi senyuman, tetapi senyum itu lebih dari sekadar kegembiraan; itu adalah ekspresi kelegaan tak terkira. “Aku ingin anak-anakku tumbuh di negara yang bebas,” kata Ahmad, seorang tukang kayu yang membawa serta istri dan dua anaknya. Malam itu, Tahrir adalah tempat paling ramai di dunia, penuh dengan mimpi-mimpi baru yang belum tahu jalan pulangnya.
Kisah di Tahrir dan Tripoli adalah dua bab dari buku yang sama. Setiap rakyat, meski berbeda negara, berbagi rasa sakit yang sama di bawah rezim otoriter dan merasakan euforia yang sama pula ketika kebebasan akhirnya terasa di ujung jari mereka. Bab yang sama terjadi hari-hari ini, ketika rezim Assad di Suriah runtuh. Tak berbeda dari Mesir dan Libya, kegembiraan tumpah di jalan, kendati mereka juga belum tahu pasti, bagaimana masa depan negaranya.
Sejarah memberi pelajaran sulit: setelah euforia, datanglah realitas. Di Kairo, saat itu, rakyat mulai berselisih tentang siapa yang layak memimpin Mesir. Di Tripoli, oposisi bersatu melawan Gaddafi, tetapi terpecah ketika ia tak lagi ada. Libya pun hingga kini tak kondusif dan dicap sebagai negara gagal (failed state). Lantas, bagaimana dengan Suriah: apakah naiknya al-Jaulani akan menjamin kesejahteraan, atau malah sebaliknya?
Suriah di Ambang Kemajuan dan Kehancuran
Keruntuhan rezim Bashar al-Assad merupakan peristiwa monumental yang mengubah peta politik Timur Tengah. Saat ini, Hay’at Tahrir al-Syam (HTS) di bawah komando Ahmed al-Sharaa, atau yang dikenal dengan Abu Muhammad al-Jaulani, berpeluang besar menjadi pemimpin baru. “Sejarah baru, saudara-saudaraku, sedang ditulis di seluruh wilayah setelah kemenangan besar ini. Suriah akan menjadi mercusuar negara Islam,” kata al-Jaulani di Masjid Umayyah kuno di Damaskus.
Namun, apakah euforia kemenangan oposisi—di sini tidak menyebutnya ‘pemberontak’—Suriah akan menjamin stabilitas jangka panjang? Atau, sebaliknya, akan menimbulkan pertanyaan menyesakkan: apakah Suriah akan menjadi negara gagal seperti Yaman, Libya, dan Irak? Ataukah ada aktor global yang bermain di balik layar, menjadikan ini bagian dari rekayasa geopolitik AS-Israel untuk kepentingan proksi di Timur Tengah? Ini menarik dikaji.
Penting dicatat, bahwa, HTS adalah transformasi dari Jabhat al-Nusra, afiliasi Al-Qaeda yang memisahkan diri untuk mendapatkan legitimasi internasional. Di bawah kepemimpinan al-Jaulani, HTS berusaha mengubah citra kelompok teroris menjadi entitas yang mampu mengatur wilayah dengan sistem pemerintahan. Namun, HTS tetap dicap sebagai organisasi teroris oleh banyak negara, termasuk AS dan Rusia.
Karena itu, terlepas dari euforia yang terjadi di Suriah hari-hari ini, penguasaan HTS atas Suriah menimbulkan beberapa skenario. Pertama, legitimasi internasional lewat moderasi politik. Namun, rekam jejaknya sebagai kelompok teroris membuat peluang skenario ini tipis. Kedua, eskalasi radikalisasi dan teritori baru para teroris untuk memperkuat gerakan teror global. Ketiga, destabilisasi regional yang akan memperburuk keamanan global.
Selain itu, keruntuhan Assad juga memunculkan kecurigaan tentang campur tangan AS-Israel, yang memang memiliki kepentingan strategis untuk melemahkan aliansi Iran dan Hizbullah yang selama ini didukung rezim Assad. Namun, hal itu hanya spekulasi. Bagaimana pun, kelumpuhan rezim Assad merupakan akumulasi konflik domestik, kejahatan perang, dan kegagalannya merespons tuntutan rakyat sejak Arab Spring.
Dengan demikian, hari ini, Suriah benar-benar berada di ambang kemajuan dan kehancurannya sendiri. Tanpa struktur pemerintahan yang stabil, Suriah jelas akan menjadi failed state. Sebabnya, hancurnya infrastruktur dan polarisasi masyarakat akan menyulitkan negara membangun kembali menuju stabilitas, apalagi kemajuan. Belum lagi fragmentasi kekuasaan dan perang proksi. Jika gagal, Suriah akan menjadi seperti Afghanistan dan Libya.
Lantas, apakah kehancuran Suriah itu tak dapat dicegah? Bisa. Stabilisasi, kemudian kemajuan, bisa diraih, kendati butuh waktu panjang. Pasca-runtuhnya Assad, Suriah bak negara yang baru lahir—dengan iming-iming masa depan negara demokrasi. Maka, untuk mencegah Suriah menjadi negara gagal dan menuju kehancuran, rekonsiliasi nasional menjadi sesuatu yang niscaya.
Artinya, rekonsiliasi politik yang melibatkan berbagai fraksi—terutama oposisi moderat—tak dapat ditawar. Al-Jaulani memegang peran sentral di sini. Jika ia bersama HTS lebih memilih menjadi bagian dari trajektori terorisme global, maka malanglah nasib rakyat Suriah. Kemajuan negara tersebut tidak bisa dilepaskan dari dua upaya strategis: dukungan internasional dan kontra-radikalisasi alias memastikan Suriah tak jadi markas teroris.
Jadi, rakyat boleh euforia sejenak karena rezim otoriter runtuh. Tetapi, keruntuhan Assad justru membuka babak baru sejarah Suriah menuju risiko besar. Jika HTS tetap dalam track jihadis, dunia menghadapi paradoks: menerima pemerintahan bergenealogi ekstremisme atau menyaksikan Suriah terjerembab chaos. Yang jelas, geopolitik dan terorisme global akan terus memainkan peran krusial terhadap masa depan Suriah itu sendiri.
Kontra-Terorisme Preventif di Indonesia
Seorang kenalan membuat stori di WhatsApp, tentang runtuhnya Assad di Suriah, mengatakan bahwa Indonesia harus hati-hati pada kelompok teror. Menurutnya, apa yang terjadi di Suriah dapat menjadi katalisator kebangkitan teroris, seperti JI, JAD, dan JAS, kendati ketiganya sudah bubar. Benarkah demikian? Apakah Indonesia perlu melakukan upaya strategis sebagai manifestasi kontra-terorisme preventif?
Belum ada yang tahu pasti. Namun, keberhasilan HTS di Suriah sedikit-banyak akan menginspirasi kelompok radikal di tanah air yang memiliki afiliasi, secara langsung atau tidak, dengan teroris global. Untuk itu, HTS perlu disorot secara intensif berkenaan dengan animo masyarakat, paling tidak di kalangan mantan-mantan teroris. Apa yang eks-teroris tanah air lakukan, ke situlah strategi kontra-terorisme perlu ditujukan.
Itu yang pertama. Selanjutnya, strategi preventif juga perlu dilakukan ialah mengukur ancaman semaraknya foreign terrorist fighters (FTF). Indonesia punya ratusan WNI yang pernah bergabung dengan teroris Suriah, termasuk ISIS. Keruntuhan Assad pasti memantik mobilisasi para FTF tersebut untuk membangun jaringan baru terorisme hingga dekade mendatang. Kabar terkini, KBRI Damaskus tengah menetapkan siaga 1 untuk WNI di Suriah.
Dalam konteks itu, pendataan dan pemantauannya harus cermat. Jika tidak, maka dampaknya untuk Indonesia sangat signifikan. Kendati langkah preventif terhadap FTF tidak seurgen terhadap eks-teroris lokal, mereka perlu diwaspadai karena keruntuhan Assad akan tetap dimanfaatkan kelompok anti-pemerintah untuk membangun narasi radikalisasi publik. Kesiapsiagaan tak dapat ditawar, karena Suriah akan dijadikan patron Daulah.
Baru-baru ini, Imron Byhaqi alias Abu Tholut, alumni Mujahidin Afghanistan atau dedengkot JI yang kini menjadi Juru Bicara Jama’ah Ansharusy Syari’ah (JAS), merilis ucapan tahniah untuk Suriah. Abu Tholut menegaskan, JAS akan selalu bersama HTS. Selain itu, Mas’ud Izzul Mujahid, aktivis ANNAS Solo yang notabene kader JI juga mengucap tahniah. Mas’ud juga mengimbau Muslim berjihad lewat doa, harta, maupun media.
Artinya, melihat dinamika terkini, urgensitas kontra-terorisme preventif tak dapat disangkal. Suriah, atau ‘Bumi Syam’, demikian para teroris mengistilahkannya, diyakini sebagai negara yang dijanjikan untuk berdirinya negara Islam akhir zaman. Naiknya al-Jaulani ke tampuk kepemimpinan Suriah akan mengonsolidasi fraksi-fraksi teror nasional, memantik spirit jihadisme global, dan menyemarakkan propaganda terorisme nasional-global.
Lalu, seperti apa dinamika terorisme nasional yang dimaksud? Seberapa buruk untuk masa depan Indonesia, serta bagaimana naiknya al-Jaulani dan berkuasanya HTS akan menjadi preseden buruk untuk negara-negara di dunia? Silakan baca lanjutannya di sini.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…