Runtuhnya Peradaban Khilafah
.Oleh: Ahmad Fathoni Fauzan*
Ideologi khilafah menuai reaksi penolakan keras di berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia. Ideologi khilafah yang akan menggantikan sistem demokrasi dan konsepsi negara, cenderung membiaskan makna khalifah sekehendak hati oleh kelompok-kelompok ekstremis-radikalis yang ingin melancarkan agenda proyek besar khilafah yang dipimpin oleh khalifah.
Khalifah sebagai sistem kepemimpinan, menjadikan Islam sebagai ideologi utamanya, serta undang-undangnya mengacu kepada Al-Quran, Hadist, Ijma dan Qiyas. Mekanisme pemilihan khalifah dilakukan baik dengan wasiat ataupun dengan majelis Syura’ yang merupakan majelis ahlul halli wal aqdi. Sedangkan mekanisme pengangkatannya dilakukan dengan cara bai’at yang merupakan perjanjian setia antara Khalifah dengan ummat.
Abdullah An’naim dalam Islam dan Agama Sekular dengan tegas menyatakan, bahwa Islam tidak mempunyai sistem politik. Apa yang telah dilakukan Nabi pada masamya, tidak disebut sebagai pemerintahan Islam klasik. Kegagalan Islam dalam membangun sistem politik modern dewasa ini diakibatkan oleh ketidakmampuan memperlakukan agama dan politik sebagai dua entitas berbeda.
Islam tidak secara spesifik mengajarkan kepada umatnya untuk menerapkan bentuk negara dan sistem pemerintahan tertentu dalam mengelola negara karena masalah kenegaraan adalah masalah keduniawian yang mengalami perkembangan. Mayoritas akademisi pun menyepakati, bahwa Nabi Muhammad tidak secara langsung memerintahkan pembentukan kekhalifahan Islam setelahnya.
Rasulullah melaksanakan misi kenabiannya selama 23 tahun di Mekkah dan Madinah, kemudian wafat pada 632 M (11 H). Setelah wafatnya Nabi Muhammad, roda pemerintahan dan kepemimpinan umat Islam dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib). Pemerintahan Khulafaur Rasyidin berlangsung selama 29 tahun (11–40 H/632–661 M).
Secara historis, sistem pemerintahan ini dinilai sebagai tonggak sejarah pertama berdirinya sistem khilafah dalam ketatanegaraan Islam. Proses pemilihan Khulafaur Rasyidin memperlihatkan sistem yang berbeda. Setelah melalui proses permusyawaratan (syura), para sahabat dan wakil-wakil umat Islam memilih Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah (632–634 M). Kemudian, kekhalifahan selanjutnya digantikan oleh Umar bin Khattab (634–644 M).
Setelah wafatnya Khalifah Umar bin Khattab, para sahabat atau wakil-wakil umat Islam mengajukan enam calon khalifah, yaitu Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf. Dalam pemilihan ini, Usman bin Affan terpilih sebagai khalifah (644–656 M).
Tongkat estafet kepemimpinan Usman selanjutnya jatuh kepada Ali bin Abi Thalib (656–661 M). Namun, permasalahan muncul saat Usman mewasiatkan kekhalifahannya kepada Ali. Keterpilihannya Ali sebagai khalifah baru, tidak mendapatkan restu politik dari Siti Aisyah. Perseteruan Ali dan Aisyah inilah yang menjadi pemicu terjadinya Perang Jamal. Senada dengan Aisyah, Mu’awiyah bin Abi Sufyan pun juga tidak merestuinya, sehingga memicu terjadinya gejolak Perang Shiffin yang menelan banyak korban.
Setelah pemerintahan Khulafaur Rasyidin, berdirilah Daulah Umayyah (661–750 M) yang dipimpin oleh 14 khalifah dengan pusat pemerintahannya di Damaskus. Pendiri Daulah Umayyah adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan (661–680 M). Setelah kepemimpinan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), kekhalifahan selanjutnya jatuh kepada Bani Umayyah, Bani Abbasiyah (750– 1.258 M), dan kesultanan Utsmaniyah yang merupakan kekhalifahan terakhir dan diganti menjadi negara sekuler Republik Turki pada tanggal 3 Maret 1924.
Kondisi seperti itu, persis seperti diingatkan Rasulullah saw dalam satu hadis, “hampir tiba masanya kalian diperebutkan seperti sekumpulan pemangsa yang memperebutkan makanannya. Dan Allah telah mencabut rasa gentar dari dada musuh kalian terhadap kalian. Dan Allah telah menanamkan dalam hati kalian penyakit al-wahan (cinta dunia dan takut akan kematian).
Hal ini diperkuat oleh teori Ibnu Khaldun yang hidup di masa Daulah Abbasiyah (sebelum Khilafah Usmaniyah). Menurut Ibnu Khaldun, faktor-faktor penyebab runtuhnya sebuah peradaban lebih bersifat internal dari pada eksternal. Suatu peradaban dapat runtuh karena timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan masyarakat menerapkan gaya hidup malas yang disertai sikap bermewah-mewah.
*Penulis adalah pengamat sosial keagamaan, tinggal di Yogyakarta