Rujukan Memahami Nash
Oleh: Ustadzah Amirah Ahmad Nahrawi*
Rujukan di dalam memahami Al-Qur’an dan Sunnah adalah nash-nash yang menjelaskannya, juga pemahaman Salafush Shalih dan imam-imam yang mengikuti jalan mereka. Dan apa yang telah pasti dari hal itu, tidak dipertentangkan dengan kemungkinan-kemungkinan (makna) bahasa.
Al-Qur’an dan Sunnah, keduanya merupakan wahyu Allah SWT. Sehingga di antara keduanya sama sekali tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Oleh karena itu, cara memahami Al-Qur’an dan Sunnah ialah dengan nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah itu sendiri. Karena yang paling mengetahui maksud suatu perkataan, hanyalah pemilik perkataan tersebut.
Para ulama menyebutkan kaidah di dalam memahami dan menafsirkan Alquran sebagai berikut: pertama, Menafsirkan Alquran dengan Alquran. Kedua, Menafsirkan Al-Qur’an dengan Sunnah. Ketiga, Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan para sahabat. Keempat, Menafsirkan Al-Qur’an dengan perkataan-perkataan para tabi’in dan kelima, Menafsirkan Al-Qur’an dengan bahasa Al-Qur’an dan Sunnah atau keumumam Bahasa Arab.
Al-Hafizh Ibnu Katsir menyatakan, jalan yang paling benar dalam menafsirkan Al-Qur’an ialah “Al-Qur’an ditafsirkan dengan Al-Qur’an. Karena apa yang disebutkan oleh Al-Qur’an secara global di satu tempat, telah dijelaskan pula dalam Al-Qur’an secara luas di tempat yang lain.
Jika hal itu menyusahkanmu (yakni Anda tidak mendapatkan penjelasan ayat dari ayat lainnya), maka engkau wajib merujuk kepada Sunnah, karena ia merupakan penjelas bagi Al-Qur’an. Jika tidak mendapatkan tafsir di dalam Al-Qur’an dengan Sunnah, maka merujuk kepada perkataan para sahabat. Mereka lebih mengetahui tentang hal itu, karena mereka menyaksikan alamat-alamat dan keadaan-keadaan yang mereka mendapatkan keistimewaan tentangnya yaitu hanya generasi sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu dan yang menjadi penyebab turunnya. Demikian juga Rasulullah bersama mereka, sehingga para sahabat dapat menanyakan ayat-ayat yang susah difahami.
Adapun generasi setelah sahabat tidak mendapatkan hal-hal seperti di atas. Juga karena para sahabat memiliki pemahaman yang sempurna, ilmu yang benar dan amal yang shalih. Terlebih para ulama sahabat dan para pembesar mereka, seperti khulafaur rasyidin. Jika engkau tidak mendapatkan tafsir di dalam Al-Qur’an dengan Sunnah dan engkau tidak mendapatinya dari para sahabat, maka dalam hal ini banyak para imam merujuk kepada perkataan-perkataan tabi’in, seperti Mujahid bin Jabr, karena beliau merupakan ayat (tanda kebesaran Allah) dalam bidang tafsir. Juga seperti Sa’id bin Jubair, Ikrimah maula Ibnu Abbas, ‘Atha bin Abi Rabah, Al-Hasan Al-Bashri, Masruq bin al Ajda’, Sa’id bin Al-Musayyib, Abul ‘Aliyah, Rabii’ bin Anas, Qatadah, Al-Dhahhak bin Muzahim dan lainnya dari kalangan tabi’in (generasi setelah sahabat) sertatabi’ut tabi’in (generasi setelah tabi’in).
(Perkataan-perkataan tabi’in bukanlah hujjah jika mereka berselisih), namun jika mereka sepakat terhadap sesuatu, maka tidak diragukan bahwa itu merupakan hujjah. Jika mereka berselisih, maka perkataan sebagian mereka bukanlah hujjah terhadap perkataan sebagian yang lain dan bukan hujjah atas orang-orang setelah mereka. Dalam masalah itu, maka tempat kembali ialah kepada bahasa Al-Qur’an dengan Sunnah, atau keumumam Bahasa Arab, atau perkataan para sahabat dalam masalah tersebut. Adapun menafsirkan Alquran semata-mata hanya dengan pikiran (akal), maka (hukumnya) haram.” (Tafsir Al-Qur`an Al-Azhim, Muqaddimah, 4-5).
Adapun kewajiban berpegang sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih, yaitu para sahabat, tabi’in, dan para imam yang mengikuti jalan mereka, maka dalil-dalilnya sangat banyak, antara lain:
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali” (Qs. Al-Nisa` [4]: 115).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’ut tabi’in)” (Hadis mutawatir, Bukhari, no. 2652, 3651, 6429; Muslim, no. 2533; dan lainnya).
وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“Sesungguhnya, Bani Israil telah berpecah-belah menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya umatku akan berpecah-belah menjadi 73 agama. Mereka semua di dalam neraka kecuali satu agama. Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Siapa saja yang mengikutiku dan sahabatku.” (HR Tirmidzi, no. 2565; Al-Hakim, Ibnu Wadhdhah dan lainnya dari Abdullah bin ’Amr).
Berpegang teguh kepada Sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah (ajaran) para khulafaur rasyidin dan para sahabat inilah solusi di saat umat menghadapi perselisihan, tidak ada jalan lain!. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun (ia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, ia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah, dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat. (HR. Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; Al-Darimi; Ahmad dan lainnya
Jika suatu istilah telah jelas maknanya menurut Al-Qur’an dan Sunnah, sesuai dengan pemahaman para ulama Salaf, atau telah terjadi ijma`, maka seorang tidak boleh menyelisihinya dengan alasan makna bahasa saja.
Sebagai contoh, istilah rasul, secara bahasa artinya orang yang diutus. Sedangkan menurut istilah syara’ -menurut al-Kitab dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman ulama- rasul adalah seorang manusia, laki-laki, diberi wahyu syariat (yang baru), dan diperintah untuk menyampaikan kepada umatnya (orang-orang kafir). Dan rasul yang terakhir adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat: Al-Rusul wa Al-Risalat, hlm. 14, 15, Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar; Al-Irsyad ila Shahihil Itiqad, hlm. 203, Syaikh Shalih al Fauzan).
Namun, ada sebagian orang yang menyimpang memiliki anggapan bahwa setiap mubaligh adalah rasul, dan rasul tetap diutus sampai hari Kiamat. Alasan yang dikemukakan ialah, karena secara bahasa, rasul artinya orang yang diutus. Pemahaman seperti ini adalah bid’ah, sesat dan menyesatkan (saya pernah ikut membantah seorang mubaligh dari, Sragen, Jawa Tengah, yang mengaku bahwa dirinya rasul). Dia beralasan, rasul artinya ialah orang yang diutus. Sedangkan orang ini mengaku sendiri, bila ia tidak mengerti Bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya! Lihat juga Buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hlm. 32, Hartono Ahmad Jaiz].
Ini sebagian contoh kasus tentang kesalahan memahami istilah agama Islam, karena semata-mata merujuk kepada arti bahasa. Kasus seperti ini sangat banyak. Semua ini menyadarkan kita tentang perlunya memahami al-Kitab dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman yang utuh. Tentu pemahaman tersebut melalui para ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah atau para ustadz yang kelurusan aqidah dan manhaj mereka diketahui jelas, kita dapat secara langsung berguru kepada mereka, atau lewat tulisan, kaset, dan semacamnya, apalagi sekarang kita di era globalisasi artinya sangat mudah bertemu walau lewat layar atau teleconference. []
*Dosen Universitas Paramadina Jakarta dan kandidat Doktor IIQ Jakarta.