31.8 C
Jakarta

Ruang Digital dan Rumah Qur’an: Cara Baru Ternak Teroris

Artikel Trending

Milenial IslamRuang Digital dan Rumah Qur'an: Cara Baru Ternak Teroris
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Ruang Digital menjadi pintu masuk dan pintu keluar akan ekskalasi dan kontestasi keagamaan. Ini karena, ruang digital menyediakan prasmanan narasi keagamaan yang bebas akses dan upload dari berbagai kelompok keagamaan di dunia.

Kendati, penyebaran narasi keagamaan moderat menjadi buntu dan bahkan ruang digital dijadikan sebagai alat/tempat untuk menyebarluaskan paham keagamaan ekstrem sehingga berakibat pada pudarnya otoritas keagamaan, menguatnya individualisme, dan terjadinya tribalisme-radikalisme keagamaan (Heidi Campbell, 2010, p 24).

Memanfaatkan Digital

Pada titik ini, ruang digital berdampak pada komunikasi keagamaan dan cara masyarakat beragama. Masyarakat mulai mencari jalan alternatif yang memungkinkan belajar-mengajar agama di digital. Tidak berhenti di situ, masyarakat dengan semangat keagamaan yang meronta-ronta, merasa penting untuk belajar dan mendapat sesuap ajaran agama secara cepat, instan, dan siap pakai.

Situasi ini, bisa kemudian dimanfaatkan oleh para dai-dai, kelompok, lembaga pendidikan, dan perusahan oposan yang kemudian membuat segendap acara, lembaga, serta prodak sesuai kebutuhan masyarakat ini. Akhirnya, sudah pasti masyarakat bertemu dengan acara, lembaga-lembaga keagamaan bercorak ekstrem, seperti Rumah Qur’an Utrujah, yang dikelola oleh Abdullah Sonata.

Lembaga ini selalu membikin acara-acara pengajian serta kajian-kajian yang bersumber dari kitab Tauhid karya Muhammad Bin Abdul Wahab. Bahkan tak segan-segan di berbagai media sosialnya lembaga ini memposting konten-konten yang bercorak radikal.

Acara-acara, lembaga ekstrem dan prodak seperti di atas ini, tidak hanya menawarkan cara baru dalam mempelajari agama, tetapi ia juga mengubah praktik beragama. Pada gilirannya, ia membuat komuditas baru pada masyarakat dalam mempelajari dan mengamalkan agama, yang kemudian menggeser otoritas keagamaan dan menumbuhkan peremajaan ulama, hingga terjadi komudikasi agama, kalau tidak bisa dikatakan radikalisasi agama (Rahmayani, 2018, p 201). Ini terjadi sekali lagi, akibat dari hilangnya otoritas agama dan tidak dipegangnya para ulama yang kredibel secara keilmuan dan silsilah sucinya (nasab).

Yang terjadi kemudian adalah hitamnya masyarakat dalam melihat dan mempelajari agama. Masyarakat muslim terjun bebas dalam mempelajari dan mengedarkan paham keagamaan secara suka-suka, hingga tidak lagi melihat intisari agama itu sendiri (ajaran agama moderat), lembaga keagamaan moderat (seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah), para ulama yang otoritatif (yang memiliki nasab keilmuan yang pasti dan bisa dipertanggungjawabkan). Masyarakat basah dalam pembelajaran dan komunikasi agama yang kehilangan otoritas-nasab, serta kehilangan kebenaran beragama. Saya menyebutnya fenomena ini sebagai bluer media religion (Wedi, 2022, p. 136).

Bluer Media Religion

Dari bluer media agama ini pergolakan keagamaan makin menggaung dan menjadi-jadi. Ini ditandai dengan munculnya fenomena orang-orang belajar agama di kanal-kanal media seperti Youtube, radio, televisi, Instagram, Tiktok, CD, VCD, aplikasi playstore, dan media-media keislaman (Pink, 2019, p. 35).

BACA JUGA  Polarisasi dan Disintegrasi: Residu Pemilu yang Harus Diantisipasi

Menjamurnya praktik orang mempelajari agama di ruang digital, mengubah mereka seakan-akan terlihat modern (Sofyan, 2015, p. 136). Hanya bermodalkan data dan perangkat telephone, seseorang bisa mempelajari agama tanpa perhitungan tempat, guru, dan hal-hal penting lainnya.

Karena tidak memperhitungkan atribusi di atas, tidak dilengkapi pengetahuan keagamaan yang cukup mendalam, lepas dari bimbingan guru secara langsung dan rigid, dan hanya mengandalkan ruang digital dengan mencukupkan pada aplikasi-aplikasi digital, maka yang terjadi adalah pengaburan isi dan kandungan agama yang sesungguhnya (Wedi, 2022, p. 59).

Hal ini tidak menutup kemungkinan jika agama diterjemahkan kemudian didaratkan pada ranah yang salah, karena telah dimanfaatkan oleh orang yang salah. Atas semua ini, seseorang mengaburkan fungsi media serta mengaburkan integrasi (percakapan) media dan agama.

Dampak yang Parsial

Meskipun di dalam media masih menyimpan status ajaran agama, namun yang tersimpan hanyalah isi keagamaan yang seringkali parsial: parsial terkait dari keseluruhan ajaran-ajaran agama yang terpublish secara acak, terpisah, tidak lengkap; dan parsial terkait tidak keutuhan dari kejelasan aliran-aliran agama yang dianut (Gorke, 2014, p. 364).

Ini juga nantinya mengubah pengetahuan keagaman menjadi tidak utuh, terpecah-pecah, dan pada tahap selanjutnya berdampak negatif. Komunikasi publik terkait penerapan moderasi dan pesan keagamaan pun menjadi macet. Fenomena ini disebut agama virtual.

Di tengah fenomena yang mengkhawatirkan ini, penting kiranya untuk lebih dalam melihat agama dalam ruang digital. Oleh sebab itu, teknologi informasi harus selalu dijadikan penyeberan pesan moderasi beragama di ruang digital. Ruang digital dan tempat belajar agama seperti rumah Qur’an (rumah tahfiz) harus diberdayakan menjadi ruang publik yang inklusif dan toleran untuk menguatkan moderasi beragama di tengah masyarakar luas. Bukan menjadi tempat peternak paham radikal dan teroris.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru