26.8 C
Jakarta

Riuhnya Perbedaan Pandangan Tentang Musik

Artikel Trending

KhazanahTelaahRiuhnya Perbedaan Pandangan Tentang Musik
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Masih menjadi perbincangan yang cukup serius ketika Uki, mantan gitaris NOAH ketika berkomentar soal musik. Menurutnya, musik adalah haram dan menjadi pintu maksiat. Ia juga menyarankan agar industri musik ditutup. Pendapat tersebut mendapat respon dari Rhoma Irama, raja dangdut Indonesia. Menurutnya, musik menjadi haram apabila menimbulkan maksiat. (JPNN)

“Dahulu zaman Nabi Muhammad SAW, enggak ada televisi. Begitu ada TV media ini digunakan untuk berdakwah. Begitu juga musik,” kata Rhoma dalam video yang ditampilkan dikanal Indosiar. Perdebatan itu cukup menyita industri musik Indonesia. Apalagi negara Indonesia merupakan salah satu negara dengan industri musik yang cukup besar.

Ini artinya, keberadaan musik dilihat dari kebermanfaatan yang ditampilkan. Jika digunakan dakwah justru bagus, sebaliknya jika mengundang maksiat maka menjadi ladang dosa. Generalisir yang diungkapkan oleh Muhammad Kautsar Hikmat (Uki) sangat tidak perlu dilontarkan.

Mencibir profesi yang pernah digeluti sama halnya dengan mencibir orang yang memiliki profesi tersebut. Jika sudah menghukumi haram, cukuplah diyakini dirinya sendiri.  Apalagi para ulama, yang jelas-jelas memiliki otoritas keilmuan agama saja masih berbeda pandangan soal musik.

Jika melihat Imam Syafi’I dan Imam Hambali, mereka secara tegas mengharamkan musik. Akan tetapi, hal tersebut begitu berbeda dengan Imam Ghazali yang memandang musik tidaklah haram, karena dengan musik membuat para pendengarnya begitu khusyuk menikmati, sehingga sebagai upaya kedekatan kepada Allah Swt. .

Hazrat Inayat Khan, seniman muslim juga berkomentar soal musik

“Musik yang haram itu adalah suara sendok dan garpu kita ketika makan, sedangkan tetangga kita kelaparan.” Jalaluddin Rumi.

Kalimat ini kiranya bisa landasan kebolehan dan keharaman musik. Para ulama berbeda pandangan soal keharaman musik. Ada yang memperbolehkan, ada juga yang mengharamkan. Akan tetapi, menurut Hazrat Inayat Khan, seniman muslim yang memiliki nama lengkap Inayat Khan Rehmat Pathan, seorang pendiri Ordo Sufi Barat pada tahun 1914, yang lahir  pada 5 Juli 1882 dan meninggal pada 5 Februari 1927, menjadi salah satu orang yang memperbolehkan musik. Bahkan menurut penulis, pandangan seniman muslim ini mewajibkan bermusik.

BACA JUGA  Demokrasi Layak Dikritik Namun Sistem Khilafah Bukan Solusi!

Hal ini berdasar pada pandangan Hazrat, bahwa musik adalah miniatur keharmonisan alam semesta. Jika hidup kita sudah sesuai dengan ritme,berarti sudah sesuai dengan ritme alam semesta. Musik juga menjadi sarana mendekatkan diri pada Tuhan. Hal ini karena dengan musik, bisa menghilangkan kejenuhan, kepenatan dalam diri.

Pandangan tersebut juga diperkuat dengan argument bahwa ketika ibu hamil, disarankan untuk mendengar musik. Sebelum bayi mengenal tulisan, melihat, dalam kandungan dia hanya bisa diprdengarkan oleh bunyi, salah satunya adalah musik. Alasan lainnya yakni tanda kasih sayang. Ritme irama yang muncul membuat hati menjadi tenang dan bisa mengantarkan pada kejernian ruhani. Bagi Hazrat, musik adalah kesenian ilahi.

Musik tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia, tanpanya kehidupan akan hambar, tidak lagi terdengar bunyian, nyanyian yang meneduhkan hati, dan menemani ketika bekerja, atau melakukan aktifitas. Musik adalah bagian dari manusia itu sendiri.

Hijrah bukan untuk mengharamkan sesuatu

Maraknya kelompok hijrah dikalangan artis menjadi trend baru yang cukup massif. Hal ini karena para artis cukup memiliki banyak fans. Secara tidak langsung mempengaruhi fans untuk melakukan hal yang sama pada gaya hidup yang ditampilkan. Tidak terkecuali ketika hijrah, mulai dari atribut pakaian, hingga pola hidup.

Sayangnya, selebrasi hijrah di kalangan artis terkadang membuat kaget sebagian masyarakat. Apalagi jika membawa simbol-simbol Islam. Kita masih ingat sebelum pernyataan Uki, tentang sepatu syar’i yang disematkan oleh artis hijrah. Fenomena itu menimbulkan komentar yang sangat beragam. Barangkali itu belum seberapa, jika dibandingkan dengan fatwa haram yang dilontarkan oleh Uki.

Eksistensi sebagai manusia yang sedang hijrah, mendekatkan diri pada Allah, tidak berarti memiliki otoritas penuh untuk mengeluarkan fatwa “haram”, apalagi ketika belum memiliki kemampuan agama yang mumpuni.

Hijrah seharusnya menjadi ajang proses memperbaiki relasi kepada Tuhan, dan relasi kemanusiaan dengan sikap bisa menempatkan diri ditengah keberagaman pandangan, agama dan budaya. Sehingga sikap moderat menjadi pilihan yang apik untuk menunjukkannya. Wallahu a’lam

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru