32.9 C
Jakarta

Rezim Masjid (III): Menjaga Marwah Islam dan Mengembalikan Fungsi Masjid

Artikel Trending

Milenial IslamRezim Masjid (III): Menjaga Marwah Islam dan Mengembalikan Fungsi Masjid
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Saya telah menguraikan panjang lebar tentang susur galur Rezim Masjid di Indonesia. Mulai dari Rezim Masjid (I): Memperkosa Ayat Tuhan dan Fakta Perilaku Kaum Oposan, hingga Rezim Masjid (II): Antara Doktrin Buta dan Sekadar Mencari Cuan.

Rezim masjid di atas saya artikan sebagai: bekerja dalam tataran politik keagamaan, politik identitas, membuat sesi acara dialog keagamaan yang partisan, memanipulasi hadis, “memperkosa” ayat, menipu umat, menipu ulama, dan “menipu” Tuhan.

Kaca Benggala Rezim Masjid

Kaca benggala rezim masjid itu sebenarnya telah lama kita saksikan. Ketika rezim Suharto rontok, permaianan politik agama menemukan keleluasannya. Mereka berpesta pora untuk saling menunjukkan wajahnya. Telah lama dikurung dalam sangkar karena dianggap membahayakan stabilitas Suharto, namun setelah Suharto tidak berdaya, mereka menggema, ditambah lagi dengan ideologi transnasional yang masuk secara perlahan.

Di abad ini, rezim masjid menemukan dunianya. Ketika politik identitas menjadi mainan para politisi, dan keagamaan menjadi sumber amarah dan energi untuk membius umat, rezim masjid menggelinding bersama pemegang kendalinya. Di tengah situasi itu, rezim masjid dominan dipakai oleh para politisi untuk meraup suara dari umat.

Rezim masjid telah dijadikan sebagai basis teologi dan ideologi politik partai di Indonesia. Masjid dipolitisir sedemikian rupa untuk kepentingan politik praktis–kekuasaan dan menjadikan masjid sebagai alat untuk menyebarkan agitasi, fitnah, kampanye, dan propaganda hitam untuk menjatuhkan lawan politik.

Masjid sebagai medium untuk kampanye dan menyebarkan kebencian buta terhadap kelompok yang bersebrangan secara politik. Ingat ini hanya politik, yang alurnya hanya untuk mendapatkan kekuasaan sementara.

Namun demikian, di hati umat, tidak ada yang sementara. Kebencian adalah kebencian. Dan agama baginya adalah agama. Fitnah adalah fitnah. Semua itu akan terus diproduksi dan diingat umat sampai ajal tiba. Sangat jauh-beda dengan para politisi, yang setiap detik mereka punya penyakit lupa, mereka cepat berangkul dan saling berkirim pesan dan proyek mesra.

Jangan Sampai Terulang Kembali

Maka itu, untuk menjaga dari perpecahan buruk di atas, masjid memang sebaiknya jangan digunakan sebagai alat untuk kepentingan politik praktis. Untuk menjaga situasi kondusif di masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia ini, masjid sebaiknya tidak boleh dimonopoli sebagai alat-tempat kampanye, dan propaganda partai politik. Menuju pilpres 2024, masjid tidak boleh lagi digunakan menjadi tempat memecah-belah umat Islam.

BACA JUGA  Wahabi dan Ba’asyir; Propaganda Polarisasi Umat yang Harus Diwaspadai

Masjid harus dikembalikan ke fungsi aslinya, yakni tempat bersujud, kontemplasi, berdakwa, dan tempat sarana memperjuangkan kesejahteraan umat Islam. Badut-badut politik keagamaan yang haus kekuasaan dan haus cuan, segara disingkirkan dari memanipulasi dan penyalahgunakan fungsi masjid. Virus mereka lebih berbahaya daripada virus covid.

Jangan sampai sejarah Pilgub 2017, Pilpres 2019, dan sejarah Muawiyah bin Abu Sofyan (w. 680), pendiri Dinasti Umayah yang berbasis di Damaskus, terulang kembali. Masa kelam itu, di mana masjid dijadikan tempat rekayasa pencitraan, dan sorak pengkhotbahan politik terjadi lagi. Sudah cukup kekanak-kanakan dalam berpolitik dihentikan. Sudah cukup berislam dengan cara-cara radikal.

Mengembalikan Fungsi Masjid

Sebagai umat Islam yang cinta kasih, sudah saatnya mengembalikan masjid kepada fungsi aslinya. Mimbar-mimbar masjid harus steril dari acara-acara yang diisi oleh para oposan politik yang sekadar ingin memperebutkan kekuasaan dengan cara khotbah politik keagamaan, memperkosa ayat suci, dan menyeret nama Tuhan untuk tebar-menyebarkan kebencian terhadap sesama umat Islam di dalam masjid.

Sudah saatnya, kita menghentikan bicara politik praktis di dalam masjid. Sudah saatnya menyingkirkan acara-acara partisan di dalam masjid yang sekadar ujung-ujungnya cuan. Masjid harus kita gunakan dalam kegiatan yang sakral dan digunakan dalam dakwah yang melahirkan nilai luhur demi terciptanya masyarakat yang toleran, tentram, dan damai.

Para takmir, khotib dan pengurus masjid harus bisa membuat acara-acara yang mengarah kepada kemaslahatan umat. Para takmir masjid harus bisa menggelar acara dan kegiatan yang bisa membangun kohesi keagamaan yang berdampak pada penguatan kohesi sosial masyarakat-umat Islam Indonesia.

Di sini, pemegang otoritas keagamaan harus mendorong dan membantu bagaimana masjid-masjid Indonesia berjalan pada fungisnya: rumah Allah. Jika itu bisa dilakukan, maka kedamaian, persatuan dan kesatuan umat Islam di Indonesia bakal terwujud. Jika hal di atas bisa kita tegakkan, maka marwah umat Islam bakal kembali baik dan terjaga serta melambung tinggi lebih terhormat di mata dunia.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru