31.4 C
Jakarta

Rezim Masjid (I): Memperkosa Ayat Tuhan dan Fakta Perilaku Kaum Oposan

Artikel Trending

Milenial IslamRezim Masjid (I): Memperkosa Ayat Tuhan dan Fakta Perilaku Kaum Oposan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Beberapa hari lalu ramai lagi persoalan masjid yang dijadikan tempat persemaiannya doktrin politik identitas. Setelah partai-partai elite mendengungkan bahwa mereka menolak berkoalisi dengan partai yang pernah menjadikan masjid sebagai praktik politik, kini hal tersebut diungkit lagi ke permukaan.

Mengapa hal ini penting untuk kita cermati bersama. Sebab, masjid memang menjadi tempat empuk dalam hal mendemonstrasikan berbagai hal. Siapa pun dan hal apa pun bisa masuk ke dalam masjid. Tidak hanya doktrin keagamaan. Tetapi juga persoalan-persoalan partai politik pragmatis berjalan ngesot halus di dalamnya.

Menjadi Rezim Masjid

Masjid menjadi tempat basah dalam permainan politik di Indonesia. Kita ingat demonstrasi aksi bela Islam (ABI) 212, 411, dan aksi-aksi lanjutan yang sejenisnya. Itu baru satu masjid di Jakarta: Masjid Istiqlal (Masjid terbesar di Asia Tenggara). Di belahan Indonesia, masjid-masjid ini menjadi tempat strategis dalam kampanye, mengumpulkan massa dan sebagai jalan terang dalam meraup massa.

Masjid sering menjadi pembuangan tumpahan bahasa politik. Dalam hal ini kita masih ingat bagaimana politisi Amien Rais, pernah melontarkan bahasa politik di dalam Masjid Baiturrahim Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Di dalam masjid tersebut, Amien Rais menyebut ada Partai Allah dan Partai Setan. Sayangnya, saat itu jemaah masjid malah antusias dengan apa yang dilontarkan Amin Rais. Bahkan terlihat, para jemaah begitu senang dengan bahasa politik Amin Rais tersebut.

Aneh? Tidak aneh sama sekali. Kita harus jujur dalam hal ini. Barangkali hampir di seluruh Indonesia, masjid-masjid telah menjadi politik itu sendiri. Masjid telah menjadi rezim politik. Tak ada masjid yang terhindar dari politik. Baik masjid di dalam kampus, masjid-masjid masyarakat, masjid mall, bahkan apalagi masjid yang dikelola oleh pemerintah. Jika dulu masjid menjadi tempat yang sakral, tempat sujud, kini masjid diperkosa menjadi rezim masjid, tempat politik kaum oposan yang bersekongkol dengan rezim parpol kotor.

Rezim masjid bekerja dalam tataran politik keagamaan, politik identitas, membuat sesi acara dialog keagamaan bersama masyarakat tetapi diisi oleh acara para oposan politik demi memuluskan jalan kepentingan politik praktis kekuasaan, memanipulasi hadis, “memperkosa” ayat, dan “menipu” Tuhan. Dan ini buruk bagi keagamaan dan kehidupan sosial kita Indonesia.

Politik Masjid sebagai Fakta

Mengapa kita begitu yakin dengan tesis di atas? Karena kita sudah kenyang dengan fenomena masjid yang dijadikan sebagai tempat persemaiannya politik. Kita juga sudah kenyang dengan program-program yang digelar oleh asosiasi-asosiasi masjid di berbagai wilayah, kawasan dan kota.

BACA JUGA  Minoritas, Nataru dan Terorisme di Indonesia

Bahkan kalau kita mau detail, kita hampir pengap dengan acara-acara masjid yang diperuntukkan untuk kepentingan partai politik tertentu, atau tokoh-tokoh yang potensial yang mereka dukung. Ditambah lagi partai-partai tersebut dan tokoh-tokoh memiliki asset dan pernah memberikan bantuan material pada masjid tersebut. Acara mereka tambah meriah dan tambah menjadi-jadi.

Kini, setuasi dan habitus itu sudah menjadi hal biasa bahkan mengental. Sejak bulan lalu, program, acara, dan berbagai hal tetek bengek di dalam masjid (kemasjidan) sudah diarahkan kepada tokoh tertentu. Demi apa hal ini dilakukan? Demi bersiap siaga menyambut pestapora demokrasi 2024.

Politisasi masjid telah menjadi ritual khusus bagi partai politik di Indonesia. Di sana mereka berkampanye, memobilisasi massa, dan memberikan bantuan. Selebihnya, adalah ritus doa-doa dan dialog normatif yang menjemukan. Sayangnya juga, di sana itu, kita malah sering melihat dialog yang memanfaatkan sentimen identitas sebagai basis mendeskriditkan calon yang lain, umat yang lain, bahkan saudara semuslim sendiri, demi pendulang simpati umat.

Maka dalam tahun politik, kita banter mendengar suara-suara bising, bahwa siapa pun yang tidak memilih pertai dan calon ini itu, tidak boleh disalatkan di dalam masjid tertentu. Bahkan bagi mereka yang tidak memilih calon ini itu, meraka sesungguhnya Islamnya tidak kaffah. Di sinilah bahayanya.

Sesama umat Islam mereka saling baku hantam. Mereka saling intai dan saling menjelekkan. Bahkan suara, bacaan basmallah, dan bacaan alfatikhah dari sebagian tokoh, mereka perdebatkan. Dampaknya kita lihat sekarang. Masyarakat masih membelah: antara pembenci dan pembenci. Antara pendukung dan pendukung. Mereka bergrombol dalam spesis homo politik, bukan homo sosial. Mereka semua menjadi satu spesis: pembenci.

Fungsi Masjid

Barangkali, hal itulah yang bapak politik dunia tidak kehendaki. Politik seharusnya berporos pada dialog-dialog positif yang produktif. Politik seharusnya membincangkan kepentingan publik, seperti kesejahteraan, keadilan dan segala kepentingan publik secara luas. Kini malah sebaliknya.

Apa yang seharusnya kita lakukan sekarang? Masjid harus dikembalikan kepada fungsi aslinya, yakni sebagai “tempat sakral” yang bersih dari kepentingan politik praktis tertentu.

Karena masjid menyangkut hajat umat banyak, maka kegiatan-kegiatan masjid atau kemasjidan harus bertumpu pada keumatan. Acara masjid harus berporos pada pembangunan spirit keagamaan yang moderat-toleran.

Sebagai orang Islam, sudah saatnya kita bersatu padu dalam mengkhentikan politik masjid dan locus rezim masjid ini. Kita harus membahwa masjid pada dialog-acara interaktif yang membawa pada banyak kemaslahatan. Bukan mengisi acara-acara masjid pada tumpukan-tumpukan kemudharatan.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru