26.8 C
Jakarta
Array

Revolusi Moral Dalam Kritik Terhadap Ide Khilāfah

Artikel Trending

Revolusi Moral Dalam Kritik Terhadap Ide Khilāfah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Revolusi Moral Dalam Kritik Terhadap Ide Khilāfah*

Oleh: Muhamad Sofi Mubarok*

Sanggahan ‘Alī ‘Abdurrāziq, seorang intelektualis Muslim berkebangsaan Mesir dalam karya monumentalnya, al-Islām wa Uṣūl al-ḥukm (Islam dan Dasar-dasar Pemerintahan) terhadap khilāfah diawali dengan ucapan yang begitu menohok; “Wa-mā siwāhu ḍa‘īfun wa-radhīlun”, hanya Tuhan yang berhak menyandang kekuasaan mutlak dan kedigdayaan, tidak demikian dengan yang lain.

Mengapa ‘Ali Abdurrāziq senekad itu mengutarakan sarkasme kepada penguasa? Siapa yang ia maksud dengan yang lemah dan hina itu? Nampaknya, pernyataan ‘Alī ‘Abdurrāziq bukan bualan hampa makna mengawali mukadimah dalam karya itu. Seruan itu berangkat dari fakta yang terjadi yang nampaknya ia tujukan kepada para punggawa Arab Saudi dan Kerajaan Mesir yang “ngotot” mengklaim diri sebagai pemegang estafet kekhalifahan pasca runtuhnya Turkī ‘Uthmānī pada tahun 1925.

Benar saja. Karyanya dihujat lantaran disinyalir menghujamkan pisau sekularisme Islam ke jantung pemikiran politik Islam. Al-Islām wa Uṣūl al-Ḥukm beramai-ramai dihujat dan dilarang didiskusikan dalam forum-forum ilmiah. Tak kurang dari lima intelektualis Muslim populer meng-counter serangan ‘Alī ‘Abdurrāziq melalui karya-karyanya, semisal Muhammad ‘Immārah (Ma’rakat al-Islām wa Uṣūl al-Ḥukm), Muḥammad Khiḍr Ḥusain (Naqd Kitāb al-Islām wa Uṣūl al-Ḥukm), Ḍiyāuddīn al-Rays melalui dua karya sekaligus, al-Naẓariyyāt al-Siyāsah al-Islāmiyyah dan al-Islām wal-Khilāfah fi al-‘Aṣr al-Ḥadīth, Syekh Bakhīt al-Muṭī’ī (Ḥaqīqat al-Islām wa Uṣūl al-Ḥukm), terakhir Ibn ‘Āshūr dengan karyanya, Naqd ‘Ilmiyy li Kitāb al-Islām wa Uṣūl al-Ḥukm yang ditulis kurang dari 40 halaman.

Yang benar-benar dianggap membahayakan akidah umat Islam dari tulisan ‘Alī ‘Abdurrāziq ialah pernyataan tak ada khilāfah dalam Islam (lā khilāfata fil-Islām), Islam adalah agama dan bukan negara (al-Islām dīn lā dawlah), upaya Nabi mendirikan Negara di Madinah tidak didasari faktor agama namun sekadar motif politik belaka, serta tugas Nabi tak lebih sekadar sebagai informan Tuhan dalam mengawal misi-misi profetik (muballigh al-risālah).

Yang berbeda dari sudut pandang ‘Alī ‘Abdurrāziq dibandingkan pemikir Muslim lain di zamannya ialah pandangan kesejarahan tentang bagaimana khilāfah bekerja sebagai sebuah sistem pemerintahan. Khilāfah, baginya tak banyak berkontribusi terhadap khazanah keilmuan Islam karena terlampau banyak menguak aspek kelam dari khilāfah. Kala terlibat dalam renungan mendalam tentang relasi khilāfah dan Islam/hubungan agama–negara , ‘Alī ‘Abdurrāziq tak sendirian. Imam al-Ghazālī telah lebih dahulu mengungkap garis demarkasi agama dan politik. Dengan kata lain, al-Ghazālī menyatakan politik sangat identik namun terpisah dengan agama. Lembar-lembar berikutnya, al-Ghazālī banyak melontarkan kritik tajam kepada para ulama yang dekat dengan kekuasaan. Kritik al-Ghazālī cukup beralasan mengingat agama memiliki tujuan yang jauh berbeda dengan politik. Agama mendekatkan manusia kepada kebenaran dan Tuhan dalam perspektif transendental. Sementara orientasi politik ialah pragmatisme duniawi.

Tak ada khilafah dalam Islam

Pernyataan tak ada khilafah dalam Islam adalah untuk mengurai benang kusut kekelaman rezim khilafah yang selama ini diwarnai dengan peperangan dan darah. Farag Fauda menceritakan dalam karyanya, al-Ḥaqīqah al-Ghāibah tentang sisi kelam khilafah serta sejarah terbentuknya kerajaan-kerajaan pasca empat sahabat terdekat nabi melalui beragam konspirasi jahat. Beragam penelitian turut menyayangkan interpretasi Ibn Taymiyyah yang mengungkap tindakan represif demi tegaknya agama dibenarkan oleh al-Qur’ān.

Dengan kata lain, pernyataan tak ada bentuk pemerintahan autentik yang lahir dari rahim Islam mungkin ada benarnya. Pernyataan ‘Alī ‘Abdurrāziq tersebut dimaknai Islam tak mengenal konsep khilafah sebagai satu-satunya sistem yang diakomodir. Sampai tulisan ini dibuat, saya sendiri mempersoalkan adakah satu kitab yang secara solid membahas bentuk pemerintahan yang ideal menurut Islam serta diakui secara konsensus oleh para ulama. Atas alasan absurditas ini, Ibn Khaldūn menyampaikan tak ada satupun sistem paten yang paling mewakili Islam. Kritik syariah terhadap sistem kerajaan, lanjut beliau, sama sekali tak ditujukan pada substansi sistem kerajaan itu sendiri, melainkan pada tabiat dan perilaku destruktif raja-raja yang tercatat di dalam sejarah, seperti tirani, penindasan sekaligus otoriter.

Dalam sejarah-kritis, khilāfah rentan melahirkan bentuk otoritarianisme baru karena mengembalikan fungsi mengatur tata negara (taṣarruf al-siyāsah), putusan peradilan (qaḍā’) dan pemberi fatwa-fatwa keagamaan (iftā’) kepada satu personal, yaitu pemimpin negara. Itupun sudah dibantah berdasarkan fakta sejarah. 

Sebagai catatan, terobosan-terobosan Umar dalam menginisasi cikal-bakal pemisahan otoritas lembaga-lembaga pemerintahan dengan menunjuk Shurayj (bertugas mengurai sengketa peradilan), para para gubernur dan beberapa ahli agama untuk dikirim ke berbagai daerah sesuai kapasitas masing-masing jauh lebih maju dibanding pembicaraan khilāfah yang selalu terhenti pada aspek filosofis. Memberikan otoritas berlebih kepada satu kepala negara meniadakan sistem pengawasan lantaran khalifah adalah representasi Tuhan di muka bumi. Bukan tidak mungkin jika embrio otoritarianisme yang secara tegas ditentang oleh agama akan muncul seiring dengan delegitimasi otoritas lembaga-lembaga peradilan, pemberi fatwa dan institusi di luar khalifah. Anthony Black mengisahkan para ulama memiliki kemerdekaannya sendiri untuk mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan meski tak mendapat legitimasi pemerintah. Simbol-simbol perlawanan Abū Ḥanīfah dengan menggalang dukungan terhadap Muḥammad bin Ḥasan diam-diam sebagai bentuk perlawanan terhadap kekhalifahan Ja’far al-Manṣūr serta peristiwa miḥnah yang dialami Aḥmad bin Ḥanbal harus dilihat sebagai contoh bagaimana kekuasaan di luar pemerintah patut diperhitungkan meski penguasa memiliki ruang ijtihad memutus hal keagamaan.

Upaya Nabi Mendirikan Negara di Madinah adalah Ijtihādī

Seperti dilaporkan dalam kitab Manāqib al-Imām al-Shāfi’ī, al-Rāzī menceritakan percakapan seorang warga dengan Abu Ṭālib yang terheran-heran menyaksikan pemandangan “tak biasa” dari Muhammad yang kala itu melakukan shalat bersama Ali (putera Abu Ṭālib) dan Khadijah, istri Muhammad. Abu Ṭālib menjawab, “Muhammad telah mendeklarasikan diri sebagai rasul yang kelak di tangannya kerajaan Persia dan Romawi akan ditaklukkan”. Muhammad menyadari perlunya suatu wadah dan media untuk mengawal misi-misi profetik. Itulah yang kemudian kita kenal dengan politik (siyāsah). Perlukah Nabi mendapat mandat sebagai seorang pemimpin politik berdasarkan wahyu? Sepanjang hemat saya, barangkali memang tak ada satupun ayat atau hadis yang menyatakan Tuhan mengangkat nabi dalam kapasitasnya sebagai pemimpin politik. Lantaran politik–meminjam terminologi ‘Abdul Wahhāb Khalāf–berada dalam domain ayat-ayat muamalah yang sepenuhnya diserahkan kepada umat sesuai kebutuhan dan konteks yang berlaku, maka Tuhan cukup menggariskan prinsip-prinsip utamanya tanpa memaparkan aturan-aturannya secara lebih rinci. Siyāsah (strategi politik) berpijak pada prinsip-prinsip syariah. Otoritas wahyu tak begitu diperlukan. Ibnu ‘Aqīl al-Ḥanbali menilai, sepanjang aktivitas-aktivitas tersebut mendatangkan manfaat sekaligus menangkal bahaya, maka ia dibenarkan dalam pandangan syariah. Cita-cita syariah ialah membawa nilai-nilai keadilan, kemaslahatan dan kebijaksaan dalam ruang kehidupan.

Barangkali, hikmah di balik diamnya Muhammad serta keengganan beliau menunjuk satu nama yang kelak akan menggantikan perannya sebagai sokoguru umat Islam kala kerabat dan sahabat dekatnya berkunjung menjelang wafatnya adalah upaya preventif agar penunjukannya terhadap pemimpin tunggal tidak dianggap sebagai wahyu yang sakral. Diamnya adalah representasi titahnya dalam kesempatan yang berbeda; “Engkau lebih mengetahui persoalan duniamu sendiri.”

Siyāsah, dengan demikian adalah sebuah alat, bukan tujuan seperti halnya agama. Senada juga dengan pandangan ‘Izzuddīn seputar entitas  jihad dan amar ma’rūf nahy munkar. Keduanya, dalam pandangan ‘Izzudddīn tak lebih dari instrumen yang mengawal agama. Lanjutnya, jika amar ma‘rūf nahyi munkar  tak lagi berfungsi secara baik, kewajibannya tak lagi berlaku dan secara otomatis akan gugur. Sekularkah seorang ‘Izzuddīn? Tentu tidak. Beliau adalah seorang ulama cerdas yang diberi julukan sulṭan al-‘ulamā’. Beliau tak menyandarkan pandangannya pada norma-norma hukum reduksionis sekaligus konfrontatif; halal-haram, wajib–haram, pahala–dosa. ‘Izzuddīn menawarkan pembacaan utilitarianistik yang memandang segala hukum yang ada di dalam al-Qur’an mengandung sekian kebijaksanaan Tuhan. Hukum-hukum tersebut sebagian bersifat absolut dan karenanya harus diposisikan sebagai tujuan (maqāṣid), sementara hukum lainnya menjadi sarana (wasāil) yang menghantarkan hukum-hukum absolut tersebut agar dapat diwujudkan.

Revolusi Moral dalam Skenario Anti-Khilāfah

Sepanjang pengamatan kami, apa yang disampaikan ‘Alī ‘Abdurrāziq adalah seruan rekonstruksi konsep moralitas umat Islam untuk kembali menempatkan agama dan politik pada tempat dan fungsinya masing-masing. Setelah menghimpun dalil-dalil syariah terkait khilāfah berikut perangkat sistem pemerintahan khilāfah, gagasan tersebut dibentuk sedemikian rupa namun tercerabut dari maknanya semula. Distorsi makna khilāfah bermula dari lemahnya menguraikan kontradiksi dalil-dalil khilāfah secara holistik dan menyeluruh. Maka, lahirlah kesimpulan khilāfah sebagai satu-satunya sistem pemerintahan autentik yang lahir dari rahim Islam, lainnya ialah larangan berhukum dengan hukum Jahiliyah buatan manusia. Padahal, seluruh mufassir dari mulai Al-Ṭabarī, al-Qurṭūbī, Al-Rāzī, al-Biqā’ī, hingga Muhammad Rashīd Riḍā’, menjelaskan konteks ayat tersebut sebagai kritik penerapan hukum di masa lalu yang membeda-bedakan status sosial di masyarakat, cenderung mengikuti hawa nafsu, berhukum tanpa dilandasi pengetahuan, serta mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran. Ayat tersebut sama sekali tidak membicarakan sistem. Tak ada sistem yang tercela seperti yang dijelaskan Ibn Khaldūn sebelumnya.

Sebagai kesimpulan, agama harus dipurifikasi dari orientasi politik yang cenderung kotor. Maknanya hampir senada dengan pandangan kyai ‘Afifuddin Muhajir, seorang tokoh kharismatik Jawa Timur yang menyimpulkan politisasi agama adalah haram. Cara pandang ‘Alī ‘Abdurrāziq  tak harus ditafsirkan dukungan penuh terhadap faham sekularisme dan “suntik mati” ide khilafah Islam. Lebih dari itu, perbincangan seputar khilāfah jangan terjebak pada teori peperangan, hegemoni, perebutan kekuasaan ataupun intimidasi dan intrik-intrik politik atau hanya soal pembagian kekuasaan dan otoritas. Energi harus diarahkan untuk mengupayakan konsep siyāsah yang sesuai nilai-nilai maqāṣid al-sharī’ah, yaitu bagaimana kemaslahatan dan tujuan-tujuan syariah dapat diwujudkan ke tengah-tengah manusia dengan mengesampingkan sistem mana yang paling legitimate dalam perspektif Tuhan dan agama.

Meyakini kelompok-kelompok penolak gagasan khilafah sebagai para pembangkang titah Tuhan dan rasul sangatlah absurd dan tak berdasarkan pada pemahaman ilmiah. Ungkapan tersebut terlalu sangatlah tendensius. Pada akhirnya, hindari menghukumi sesuatu yang tidak sesuai dengan konteksnya sekaligus–meminjam pendapat ‘Alī karramallāhu wajhah–terjebak ke dalam pemikiran sempit kaum Khawarij yang gemar mengemas kebatilan dengan klaim-klaim kebenaran. Wallāhu a’lam.

* Disampaikan dalam Seminar Nasional Kebangsaan Aula Universitas Islam Makassar, Rabu, 24 Mei 2017

* Penulis adalah kandidat doktor UIN Jakarta dan pemerhati politik Islam

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru