26.5 C
Jakarta

Revolusi, Islam, dan Kontribusi Keumatan

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuRevolusi, Islam, dan Kontribusi Keumatan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Spirit Islam pada Masa Revolusi Indonesia, Penulis: Kevin W. Fogg, Penerjemah: Yanto Musthofa, Penerbit: Noura Books (Mizan Publika), Tahun Terbit: Cetakan Pertama, November 2020, Tebal: 435 halaman, Peresensi: Asep Imaduddin AR.

Harakatuna.com – Lewat studinya yang sudah menjadi klasik dan menjadi banyak rujukan, Kahin lebih menonjolkan peran elite sebagai aktor utama dalam nasionalisme dan revolusi di Indonesia. Sedangkan sejarawan kondang dari Universitas Cornell yang pernah dicekal masuk ke Indonesia, Ben Anderson, memberikan perhatian utama pada aktivitas para pemuda di sepanjang tahun 1944-1946, tahun-tahun yang teramat krusial dan menentukan.

Kevin Fogg dalam “Spirit Islam pada Masa Revolusi Indonesia” justru menelusuri kiprah dan komitmen kebangsaan umat Islam pada era perang kemerdekaan. Fogg berkisah tentang bagaimana seorang Mohammad Natsir-mantan politikus Islam terkemuka di awal kemerdekaan-bersama rekan-rekannya berjalan berkeliling sebuah pameran di Jakarta tentang Revolusi Indonesia pada tahun 1972 dengan hati masygul, karena sisi Islam dari revolusi tak bisa ditemukan dalam pameran tersebut (hal 35).

Fogg berpandangan bahwa konsolidasi umat Islam akar rumput di tengah kobaran api revolusi kurang mendapat tempat yang layak. Aspek-aspek yang menggerakkan narasi-narasi legitimasi rezim-terutama kultur pribadi Sukarno atau prestise militer sebagai pengawal kemerdekaan-mendapat perhatian cermat, sementara para pelakunya terlupakan (hal 36).

Apalagi secara statistik, umat Islam Indonesia merupakan salah satu yang terbesar. Jadi tak masuk akal jika perannya tak signifikan sama sekali. Ditambah dengan kenyataan bahwa secara geografis wilayah Indonesia begitu luas. Yang tentu saja kajian-kajian masa revolusi sebelumnya masih berkutat di Jawa.

Fogg dengan sadar mengisi kekosongan itu dengan mengambil sumber sejarah lisan dan episode di sekitar revolusi kemerdekaan yang terjadi di luar Jawa. Hal ini bisa menambah khazanah dan perspektif tentang bagaimana kontribusi umat Islam Indonesia masa revolusi kemerdekaan yang selama ini masih sedikit terabaikan.

Selepas proklamasi yang dibacakan oleh Sukarno dan Hatta di Jakarta, umat Islam di seantero Indonesia langsung meresponsnya dengan bersemangat. Mereka secara aktif langsung menggabungkan diri pada barisan-barisan perjuangan seperti Hizbullah dan Sabilillah.

Sejak permulaan revolusi, kaum Muslim akar rumput tak hanya menyebarkan slogan tentang agama dan perjuangan, namun mereka juga mendengar fatwa dari para ulama tentang perang. Salah satu dari fatwa-fatwa paling awal yang dikeluarkan oleh pemimpin Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasjim Asj’ari, pada September atau Oktober 1945, kini hilang dalam sejarah, mungkin karena fatwa itu dikeluarkan dalam aksara pegon sehingga tidak disiarkan media cetak berhuruf Latin (hal 103).

Yang paling terkenal barangkali seruan resolusi jihad dari NU yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945 yang mendapat perhatian luas umat Islam Indonesia terutama di Jawa. Di Sumatra Utara, seorang ulama dari Jamiyatul Washliyah bernama M Arsjad Thalib Lubis mengeluarkan manifesto revolusi Islam bertajuk “Toentoenan Perang Sabil”. Fatwa yang biasanya terkait dengan urusan hukum atau ibadah, pada saat itu malah mengumandangkan seruan aksi melawan penjajah.

BACA JUGA  Gus Dur dan Perjuangan untuk Etnis Tionghoa di Indonesia

Bahkan karena banyaknya fatwa-fatwa tentang seruan perang sabil, wakil presiden Mohammad Hatta sampai harus mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa siapa pun di luar pemerintah, ilegal mendeklarasikan perang  atau perang sabil. Dan faktanya hal tersebut tak berpengaruh terlalu banyak di akar rumput.

Seruan untuk melakukan aksi perjuangan yang dilandasi oleh spirit keagamaan memberikan motivasi bertempur demi membela Allah dan negara. Keyakinan inilah yang mendorong lasykar-lasykar Islam berjuang untuk hidup mulia atau mati syahid dalam setiap pertempuran yang diikutinya.

Meski tentara-tentara Islam ini bukan pasukan reguler, tidak berarti kontribusi mereka pada pertempuran tidak penting. Sebaliknya lasykar-lasykar Islam sering menjadi kekuatan tempur lokal yang paling kuat dan terkenal kegigihannya-dan sering dengan keberanian yang membabi buta-di medan tempur (hal 141).

Fogg menemukan bahwa terkadang keberanian-keberanian yang ditonjolkan oleh para milisi muslim yang militan itu berasal dari kekuatan-kekuatan jimat atau benda-benda keramat yang dibawa kemana-mana. Biasanya setelah diberi jampi-jampi oleh guru agama yang mereka hormati.

Tidak mengherankan, jika seorang tentara yang meyakini dirinya kebal senjata musuh, dia akan menjadi tak punya rasa takut dalam pertempuran. Para santri pejuang dari pedalaman yang meyakini magi islami digambarkan sebagai “massa fanatik” dengan “intensitas tujuan besar”, dan mereka pun ditakuti oleh tentara asing dan orang-orang Indonesia abangan (hal 165).

Namun akibatnya adalah ketika sebagian anggota lasykar ini merasa mempunyai keberanian “berlebih”, maka ketidaktakutan akan begitu tinggi, sehingga jumlah korban anggota lasykar muslim menjadi tak terelakkan.

Tak hanya dalam perjuangan fisik, umat Islam juga berperan secara signifikan dalam lapangan politik di awal revolusi dan sesudahnya. Sesudah insiden tujuh kata ketika mempersiapkan dasar negara apa yang hendak dibuat, sejumlah kompromi-kompromi pun  seperti pendirian Kementerian Agama, yang menurut Fogg adalah kemenangan penting bagi masyarakat Islam Indonesia.

Selain mengonfirmasi bahwa urusan keagamaan tidak bisa sepenuhnya dilepaskan dari pemerintahan di Indonesia, dengan adanya Kementerian Agama, ia merupakan kemampuan baru perlindungan pemerintah terhadap tokoh Islam.

Organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah bisa memberi jaminan kehidupan yang layak bagi anggotanya dengan menunjuk mereka sebagai pejabat keagamaan lokal atau guru-guru agama di sekolah negeri atau dengan memberi kepada sekolah-sekolah Islam melalui kementerian (hal 289).

Lewat studinya yang komprehensif ini, Fogg menunjukkan bahwa umat Islam Indonesia berkontribusi secara siginifikan, tak hanya dalam perjuangan fisik yang ditunjukkan lewat aksi-aksi heroiknya, namun juga berperan banyak dalam menentukan hendak kemana arah langkah negara yang baru lahir tersebut.

Asep Imaduddin AR
Asep Imaduddin AR
Alumnus Pesantren Darussalam Ciamis. Belajar Sejarah di Jurusan Pendidikan Sejarah UPI Bandung.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru