30 C
Jakarta

Revolusi Ganyang Komunis di (T)Angan Habib Rizieq

Artikel Trending

Milenial IslamRevolusi Ganyang Komunis di (T)Angan Habib Rizieq
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Hampir lupa ingatan kita, bahwa Habib Rizieq Shihab, Imam Besar FPI, sudah tiga setengah tahun berada di Arab Saudi. Tempo melansir, Sang Imam terjerat beberap kasus; chat mesum dengan dengan Firza Husein, penghinaan Pancasila, pencemaran nama baik Soekarno, hingga ujaran kebencian. Tepat 26 April 2017, menggunakan visa umrah, dirinya sekeluarga berangkat ke Arab Saudi. Rumor kepulangan beredar setahun kemudian, dan dibentuklah Panitia Penyambutan Imam Besar (PPIM) oleh PA 212.

Banyak yang berpendapat, Habib Rizieq lari dari kasus-kasusnya. Bagi pengikutnya, ia hanya difitnah, tidak salah, dan kepergiannya ke Arab Saudi adalah dalam rangka hijrah. Sementara bagi pembencinya, ia tidak lebih dari pria mesum yang kabur dari polisi. Tentu dua kubu tersebut keliru; yang satu fanatis, satu lainnya penuh kebencian. Sebagai zuriyah Nabi, penghinaan atas Habib Rizieq sangat tidak etis. Tetapi, memujinya berlebihan, seakan ia adalah pahlawan umat Islam, juga tidak dapat dibenarkan.

Satu-satunya perspektif presisi ialah mendudukkan dirinya sebagai manusia biasa. Itu akan menuntun kita kepada pandangan, bahwa ia terikat dengan fraksi politik tertentu. Pada Pilpres kemarin, ia sangat gencar mendukung Prabowo-Sandi. Saat itu juga, narasi tentang kekomunisan Jokowi mulai diluncurkan. Jadi, secara sosio-politik, Habib Rizieq adalah oposisi, karena Jokowi berhasil duduk sebagai presiden. Fraksi politiknya bisa dikata bubar, tetapi narasi sosialnya bisa kita rasakan hingga hari ini.

Tentu, “bubar” yang dimaksud di sini bukan berarti Habib Rizieq tidak lagi ikut politik. Justru, narasi sosial tadi sudah bertransformasi menjadi narasi politik, utamanya ketika Prabowo merapat ke kursi Jokowi, dan pendukung kanannya “sakit hati”. Kita telah melihat, bagaimana narasi komunisme ribuan kali diserukan Habib Rizieq, disebarkan para pengikutnya, hingga menjadi kekuatan politik tersendiri, yaitu politik Muslim oposisi. Mereka menjadi fraksi politik anti-komunis, meski belum punya partai.

Kita telah mengulas, bagaimana Ahmad Shabri Lubis menggertak pemerintah bahwa Habib Rizieq akan pulang ke Indonesia untuk memimpin revolusi, yang disampaikan saat demo tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja kemarin. Boleh jadi, revolusi yang dimaksud ialah perebutan kursi politik; baik melalui cara yang konstitusional mapun dengan cara makar. Yang jelas, esensinya memberantas komunisme. Revolusi Habib Rizieq, dengan demikian, ialah revolusi pemerintahan komunis ke pemerintahan Islam.

Komunis dalam Angan-angan

Apa yang Shabri Lubis, Ketua Umum FPI sampaikan, adalah lanskap besar narasi politik FPI, juga PA 212 dan GNPF. Komunisme bukan narasi sosial lagi, sebab hari ini, terjadi stigmatisasi pemerintah di ranah kolektif. Melalui isu komunis yang disematkan kepada petahana, mereka sebagai oposisi berusaha menggaet massa sebanyak-banyaknya. Tidak peduli betapa tidak sinkronnya narasi tersebut, komunis menjadi hantu di angan-angan, yang bersama merekalah tugas untuk menumpasnya.

Semacam ada penggiringan opini, bahwa di tangan Habib  Rizieq-lah komunisme akan diganyang. Angan-angan kolektif dibawa ke arah itu. Tidak heran bahwa kemudian ada isu sedikit, narasi komunisme dinaikkan. Ada polemik sedikit, isu komunis digoreng lagi. Begitu seterusnya. Itu, kalau diselisik, narasi komunis sama sekali tidak ada bedanya dengan narasi khilafah. Bagi aktivis khilafah, ada masalah sedikit, solusinya khilafah. Baik isu komunis maupun isu khilafah tujuannya satu: memojokkan pemerintah.

BACA JUGA  Ketika Ulama dan Intelektual Membebek Pada Penguasa

Dengan demikian, wacana kepulangan Habib  Rizieq adalah senjata kuat, seakan Indonesia akan mengalami pemurnian tatanan kenegaraan. Revolusi yang mereka serukan tak ubahnya kompor optimisme, yang akan di-framing sedemikian rupa demi manakuti pemerintah di satu sisi, dan di sisi lainnya. Mereka jelas tidak akan mau dikata makar karena, dalam perspektif mereka, itu memang bukan makar. Kata ‘revolusi’ menjadi tidak lagi murni, sebab penggaungnya adalah partisan politik tertentu.

Dalam angan-angan kita, boleh jadi sudah terkonstruk, segala yang berkenaan dengan Jokowi dan partainya, adalah komunis. Pada saat yang sama sudah terbentuk pula, bahwa segala yang berkenaan dengan Habib Rizieq adalah semangat pembaruan sistem—revolusi. Di tangan Habib  Rizieq, seolah persoalan komunisme akan terselesaikan. Di angan para pengikutnya, gerakan Sang Imam Besar adalah harapan perbaikan. Tetapi bagaimana jika isu ganyang komunis nyatanya sekadar di angan belaka?

Habib Rizieq Harus Pulang

Habib  Rizieq seharusnya tidak menciptakan angan-angan kepada para pengikutnya, bahwa di tangan dirinyalah komunis akan musnah. Di Twitter, per hari ini, tagar #HRSPemersatuBangsa sudah bergema. Andai dirinya memiliki komitmen untuk benar-benar menyatukan bangsa, seharusnya ‘isu komunis’ tidak lagi barang lelangan. Tidak ada yang salah dengan revolusi, tetapi jika spirit revolusi dikompori oleh isu yang tidak benar, bukankah hasilnya adalah penentangan, dan dampaknya justru perpecahan?

Dari itu, Habib  Rizieq memang harus pulang. Agar umat (baca: pengikutnya) tertib. Agar PA 212 tidak ambil jatah keuntungan politis. Agar isu komunisme menemui titik terang, jika ia mampu menyuguhkan bukti akurat tentang eksistensinya, bukan sekadar provokasi belaka. Jika dirinya ingin revolusi, itu diatur secara konstitusional. Namun tetap saja kuncinya satu: Sang Imam harus pulang. Revolusi macam apa yang hanya pakai tangan umat, dan setelah pemogokan negara terjadi, ia muncul sebagai pemimpin?

Indonesia bukan Iran, dan Habib  Rizieq bukan Ayatullah Khomeini. Hasrat mengontrol revolusi dari luar negeri, dari pengasingan, membiarkan umat bertengkar sesama Muslim, sesama warga negara, lalu di belakang ia berencana hadir sebagai superhero pemersatu, bukankah itu mimpi yang sangat mustahil? Jika demikian adanya, maka tidak salah sebuah konklusi: bahwa narasi ganyang komunis itu hanya jualan tanpa mutu, dan revolusi yang digaungkan tidak lain adalah delusi. Mungkin, sekali lagi mungkin, itu karena Sang Imam kelamaan di luar negeri.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru