25.7 C
Jakarta

Revitalisasi Peran NU dalam Menjaga NKRI dari Geliat Radikalisme

Artikel Trending

Milenial IslamRevitalisasi Peran NU dalam Menjaga NKRI dari Geliat Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dalam esainya, Tugas NU dan PKB dalam Politik Nasional, pada 6 Desember 2004, pernah membuat pernyataan yang mungkin membuat sebagian orang tersedak: “…ada kecenderungan pengurus NU adalah orang yang kalah saing dalam PKB, yang membuat mereka lalu berorientasi politik praktis.” Benarkah Gus Dur telah menubuatkan masa depan NU di NKRI?

Gus Dur membuka esai tersebut dengan mengulas polemik Prof Alwi Shihab yang masuk kabinet SBY-Jusuf Kalla sebagai Meko Kesra, di tengah posisinya sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz. Bagi Gus Dur, karena beberapa hal, Prof Alwi dianggap tidak sedang mewakili PKB. Ia jadi menteri karena dapat telepon langsung dari JK. Berbicara teritorial politik PKB, kata Gus Dur, berarti pula bicara peran NU dalam kancah politik Nasional.

Membicarakan PKB tanpa menyinggung NU dianggap sesuatu yang mustahil, karena PKB itu sendiri merupakan bagian independen NU dalam politik praktis. Meski politik NU sejujurnya tak sepragmatis itu. Gus Dur menegaskan bahwa orientasi NU tetaplah bidang pendidikan dan pemikiran keagamaan. Radikalisme, misalnya, termasuk ke dalam pemikiran keagamaan.

Jika teritori kekuasaan mesti menjadi otoritas untuk mengonter gerakan radikal, maka apapun alasannya, itu tetap berada di wilayah politik praktis. Radikalisme kemudian hanya komoditas belaka, menjadi tameng untuk mendapat posisi dalam pemerintahan. Alih-alih membuat paham radikal musnah, justru radikalisme itu sendiri kini kian masif karena pemberantasannya diwarnai sebuah transaksi politik.

NU dan Hasrat Politik

Konsistensi NU dalam setia kepada NKRI, adalah sesuatu yang tidak perlu diragukan. NU tahu bahwa sementara Nahdhiyyin menjadikan organisasinya sebagai komoditas politik, dengan dalih melindungi Negara dari radikalisme. Maka benar kata Gus Dur, dalam esai tersebut, bahwa mungkin yang diperlukan ialah “pembenahan personalia”. Bagi beberapa kalangan, bisa jadi itu adalah berita buruk.

Keterlaludalaman kalangan Nahdhiyyin mengintervensi kebijakan pemerintah juga disikapi pro dan kontra. Ada yang mengatakan, itu demi Negara. Yang lainnya berpendapat, itu sudah keluar dari khitah. Apapun alasannya, melindungi Negara dari radikalisme sesungguhnya adalah ‘tugas umum’. Dan bagi NU, menjaga NKRI dari ancaman geliat radikalisme adalah bagian yang tak tertawar.

BACA JUGA  Menguji Konsistensi Etika dan Toleransi Muslim Indonesia

Kita mungkin tidak akan berani mengatakan bahwa sebagian besar Nahdhiyyin sudah melangkah melampaui koridor ke-NU-an, karena beberapa alasan misalnya. Tetapi kita juga tidak memiliki hak untuk memonopoli narasi kontra-radikalisme itu sendiri. Membela Pancasila, melindungi Negara, adalah wajib, tanpa perlu imbalan apa pun. Bagaimanapun, radikalisme adalah persoalan yang kompleks.

NU dengan pemberantasan persuasifnya membunuh ideologi radikal; sebuah penanganan langsung di akar. Sayangnya ada yang lupa disampaikan, atau sengaja tidak dikemukakan, bahwa antara NU dan pemerintah niscaya lakukan kerja sama. Kerja sama yang tulus, bukan untuk meminta kursi. Orang NU mesti sadar amanatnya di NKRI, bukan demi memenuhi hasrat politik belaka.

Melindungi NKRI

Andai terlepas dari segala kepentingan bagi-bagi jatah kekuasaan, jalan tengah sebenarnya terbentang untuk dipraktikkan. Melindungi NKRI dengan memberangus radikalisme adalah PR bersama. Perang total melawan radikalisme tidak harus digelar dengan memasang meriam di istana. NU pun tetap bisa berada di garda terdepan, tanpa menduduki kementerian.

Radikal sebagai sebuah isme, memberantasnya adalah tugas pemerintah. Sementara sebagai sebuah ideologi, Nahdhiyyin adalah para aktor pembasminya. Kerja sama ini jelas lebih proporsional, NU tetap berada di khitah “memberi advokasi demi kepentingan orang banyak,” seperti diuraikan Gus Dur dalam esai tersebut. Jadi, melindungi NKRI dari paham radikal memanglah keniscayaan bersama.

Membendung geliat radikalisme jelas bukanlah persoalan yang hegemonik organisasi tertentu, begitupun dengan membela negara. Dalam hal ini, Gus Dur menawarkan suatu pemecahan, yaitu musyawarah, dengan landasan firman Allah dalam surah asy-Syura [42]: 38, “…wa amruhum syura baynahum…

Penggiringan narasi publik untuk menyalahkan pemerintah bukan ide yang bagus, justru akan semakin membuat tumbuh-subur radikalisme. Jika Nahdhiyyin ingin kembali ke barak, seperti penguatan internal organisasi, tidak berarti harus dengan melepaskan sepenuhnya pemberantasan radikalisme ke pemerintah.

Pertimbangan keterlibatan NU dalam persoalan nasional berasaskan tugas mulia menjaga keutuhan NKRI dari segala problematika sosial yang dihadapi bangsa, terutama geliat radikalisme. Jika membela masih memerlukan pamrih, maka patut direnungkan kata-kata Gus Dur, jangan-jangan “NU asyik bermain politik praktis di tingkat nasional dan melupakan hal-hal di atas.”

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru