Harakatuna.com – Hasil Penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) beberapa tahun lalu mengungkapkan bahwa pengaruh paham radikalisme sudah berkembang pada kelompok strategis mahasiswa.
Beberapa catatan peristiwa aksi terorisme dan bom bunuh diri beberapa waktu lalu memperkuat bahwa radikalisme sudah merambah pada institusi pendidikan. Hal ini harus menjadi sorotan dan perhatian lembaga pendidikan dan pengatur kebijakan pendidikan. Mengingat mahasiswa adalah ujung tombak perubahan peradaban.
Mengapa mahasiswa begitu vital untuk menjadi perhatian bersama? Ya, hal ini dikarenakan mahasiswa dengan segudang ilmu dan pengetahuan diharapkan memberikan kontribusi perubahan bangsa dan negara. Terlebih di lingkungan akademik, banyak sekali golongan, kepentingan hingga organisasi terselubung yang memanfaatkan dinamika kehidupan mahasiswa.
Sensus penduduk tahun 2020 oleh BPS mencatat warga berusia 8–39 tahun, gen Z dan milenial, berjumlah 53,81 persen. Dominasi penduduk usia produktif ini akan dinikmati Indonesia sampai 2030.
Mahasiswa yang sedang dalam tahap bergaul dan ekspresif akan mewarnai wajah Indonesia ke depan. Maka dibutuhkan ekosistem yang mampu menumbuhkembangkan segala potensi diri untuk membangun lingkungan yang positif dan menghindari segala bentuk konflik.
Apa makna kemunculan gerakan radikalisme di perguruan tinggi? Apa yang melatar belakanginya? Kemunculan gerakan radikalisme di perguruan tinggi diawali karena kurangnya pemahaman agama yang kuat. Hal ini diperkuat oleh faktor lingkungan biologis mahasiswa yang belum matang. Kemudian diperkuat faktor lainnya yaitu fase krisis identitas.
Aktivis Islam Wiktorowicz menjelaskan dalam teorinya bahwa situasi ‘krisis identitas’ seseorang biasanya cenderung lebih mudah mengalami apa yang disebutnya sebagai “pembukaan kognitif” (cognitive opening). Sebuah fase penting yang dialami oleh seorang aktivis untuk bergabung dengan gerakan radikal, yang lazim diawali dengan sebuah krisis identitas.
Mereka mengalami ketidakpastian, termasuk menyangkut identitas diri. Sehingga, mereka menjadi mudah menerima kemungkinan ide-ide dan pandangan pandangan hidup baru. Proses ‘pembukaan kognitif’ misalnya terjadi sebagai buah dari persinggungan dan pergaulan dengan ajaran-ajaran kelompok Islam radikal, baik yang bercorak politik, salafi maupun jihadi.
Seorang profesor dan sosiolog agama Wade Clark Roof dalam teorinya “spiritual marketplace” menjelaskan agama hadir dalam rupa pasar spiritual yang beraneka ragam kemasan. Wade Clark Roof menambahkan bahwa dorongan generasi pencari yaitu pemuda berusaha menemukan autensitas perasaan dan pikiran mereka yang membawa pada keraguan dalam iman religius. Maka dari itu, perlu penguatan pendidikan dari perguruan tinggi sebagai ujung tombak mencegah perkembangan paham radikalisme.
Revitalisasi perguruan tinggi merupakan hal yang penting untuk membangun generasi yang anti-radikalisme. Langkah-langkah yang diambil harus tepat dan sesuai dengan kondisi dan situasi saat ini. Dengan melakukan revitalisasi yang efektif, perguruan tinggi dapat membangun generasi yang memahami pentingnya toleransi dan rasio dalam mengatasi masalah radikalisme.
Aksi Bela Negara
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam revitalisasi perguruan tinggi, seperti menambahkan mata kuliah yang berfokus pada pengembangan kepribadian, toleransi, dan rasio, membuka forum diskusi untuk mengatasi isu-isu yang berkaitan dengan radikalisme, dan menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga terkait untuk mengatasi masalah ini.
Paradigma lain, revitalisasi perguruan tinggi menghadapi gelombang radikalisme dapat dicegah melalui aksi bela negara. Aksi bela negara merupakan suatu tindakan untuk membela dan melindungi negara dari ancaman atau serangan musuh. Ini bisa dilakukan melalui tindakan-tindakan seperti pemeliharaan keamanan dan stabilitas, penegakan hukum, dan pemeliharaan integritas dan identitas nasional.
Aksi bela negara yang dimaksud tentunya bukan melakukan aksi militer untuk menjaga suatu daerah. Aksi bela negara yang dapat dilakukan oleh pihak perguruan tinggi adalah menanamkan karakter kebangsaan dan membentengi mahasiswa dengan sikap anti-radikal. Mahasiswa dibentuk untuk memahami pengetahuan agama, kenegaraan, politik, hukum dalam rangka kesadaran akan hidup bernegara.
Langkah strategis aksi bela negara dapat dilaksanakan dengan memperkuat ikatan tiga lembaga kampus. Diantaranya adalah Departemen MKU, Lembaga Kemahasiswaan dan Organisasi Kemahasiswaan. Ketiga lembaga di perguruan tinggi ini memiliki tugas dan fungsi yang berbeda, baik dari segi kelembagaan maupun secara substansial. Dari ketiganya, Lembaga Kemahasiswaan memiliki pengaruh yang sangat strategis untuk memberikan pengetahuan mengenai kenegaraan kepada mahasiswa.
Lembaga Kemahasiswaan dalam pendekatannya dapat dilakukan melalui tiga prinsip utama yaitu, keilmuan, keprofesian dan kesejahteraan. Hal ini dapat dikatakan sebagai upaya yang lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan secara hukum. Hal tersebut karena terkesan indoktrinasi jika dilakukan pada mahasiswa yang masih tahap proses menuju matang pola pikirnya. Sehingga perlu pendekatan yang santun agar mahasiswa dapat memahami betul aksi bela negara.
Lembaga kemahasiswaan juga dapat melakukan deteksi dini dari proses atas-bawah maupun bawah-atas terhadap paham radikalisme. Proses atas-bawah kampus mendeteksi apakah ada paham radikalisme yang berasal dari organisasi luar, pihak terkait bahkan lingkungan intern yang memengaruhi mahasiswa. Sebaliknya bawah-atas, apakah terdapat mahasiswa yang mengeksplorasi dan terpapar paham radikalisme dari berbagai sumber.
Kemudian, Departemen MKU dapat melakukan penguatan dalam pola pembelajaran dan mata kuliah yang akan dipelajari mahasiswa. Departemen MKU bisa menekankan mata kuliah yang berbasis wawasan kebangsaan. Selain itu, bisa diadakan kegiatan simposium kebangsaan dengan menghadirkan pemateri yang ahli dalam bidang kenegaraan. Sehingga mahasiswa dapat menerima nilai bela negara dari berbagai sumber dan arah.
Departemen MKU dalam pengoptimalan aksi bela negara perlu menerapkan model pembelajaran yang universal. Hal ini karena tidak hanya satu golongan atau agama saja yang wajib melakukan aksi bela negara. Materi, model pembelajaran, serta lingkungan disesuaikan dalam upaya menumbuhkan pengetahuan dan sikap pengakuan, toleran dan kooperatif terhadap pihak yang berbeda baik karena alasan agama, ras dan budaya.
Dengan demikian, dengan adanya revitalisasi dan upaya strategis kampus dalam menangkal radikalisme sekiranya dapat diperkuat kembali. Hakikatnya memberikan penguatan kepada pemuda dan mahasiswa merupakan agenda merawat kerukunan negara. Maka, kerja sama yang baik dan penguatan aksi bela negara diperlukan untuk menghadapi gelombang radikalisasi. Semoga Indonesia tetap kokoh berdiri.