25.4 C
Jakarta

Reuni 212 dan Keagamaan yang Tidak Damai

Artikel Trending

Milenial IslamReuni 212 dan Keagamaan yang Tidak Damai
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Sejak munculnya kabar reuni 212 bakal digelar pada 2 Desember mendatang, masyarakat tampak gaduh. Di antara masyarakat yang menentang atau tidak setuju, memakai tagar #ReuniKadrun2121. Di sana mereka saling caci dan maki serta lempar pembalasan.

Melihat fenomena itu dada kita mungkin sesak. Keagamaan tampak tak membuat kita damai. Malah sebaliknya, yakni gaduh dan ramai. Apa yang menjadi keragaman saling hajar untuk menjadi permusuhan. Mengejar sesuatu yang ubsurd, paling benar, dan mungkin viral.

Alangkah indahnya jika kita bisa menyelami kehidupan beragama dan keberagaman. Sebagai sesuatu langkah yang terpancar ke akar paling dasar yang mampu menemukan titik temu kesadaran antar pemeluknya untuk merespons tantangan kemanusiaan sebagai tanggung jawab bersama. Sesama.

Al-Quran kitab suci yang Maha Sempurna, petunjuk manusia, juga sangat mengakui keabsahan kedamaian bagi para pemeluk agama-agama. Kita ingat, sejarah kejayaan Islam pada masa lalu,  di zaman Nabi dan era Sahabat, semua agama dilindungi dan diberi kebebasan untuk menjalankan ritual agamanya.

Sejarah Kedamaian

Karen Armstrong merekam semua itu dan berasumsi bahwa semua agama dimaksudkan untuk mencari kedamaian. “Sekali berserah, tak ada pembunuhan, tak ada perusakan properti, tak ada pembakaran simbol agama lain, tak ada pengusiran dan perampasan, tak ada usaha untuk memaksa penduduk setempat untuk memeluk Islam”. Maka, dengan itupulah mufasir menyatakan Islam adalah agama baik dan paling sempurna.

Dalam pelacakan Karen, dalam Sejarah Tuhannya (2001), semua agama mengajarkan kedamaian. Untuk mewujudkan kedamaian, pikiran ekstrem dan tindak kekerasan harus dihilangkan. Demi itu, kita perlu menjunjung tinggi sikap toleran, belas kasih, kebersamaan, keterbukaan, dan kekompakan. Dialog kunci kedamaian.

Dalam konteks Indonesia, kita telah diajarkan oleh para pendahulu, bahwa untuk menyebarkan Islam harus dengan cara-cara damai nir-kekerasan. Dan jika ada kejahatan, harus dilawan dengan cara-cara yang damai dan anti kekerasan. Lihatlah, dalam ekspansi dakwah Islam yang dilakukan Walisongo, adakah gereja, pure, yang diluluhlantakkan? Tidak ada.

Islam Memisikan Kedamaian

Sebagai agama dan ajaran, Islam telah memisikan kedamaian. Baik dilihat dari segi akidah, ibadah, muamalah, mencerminkan sisi kedamaian. Hal demikian, tercerminkan dari penamaan atau dari suku kata aslama-yuslimu-islaman yang secara kebahasaan mengandung arti “menyelamatkan”.

BACA JUGA  Kesesatan Paham Radikal Harus Dimatikan Oleh Akal Sehat

Sebagaimana salam, assamu alaikum berarti “semoga keselamatan menyertai kalian semuanya”. Islam-Islaman berntuk masdar yang menunjuk dari fi’il, aslama bermakna “telah selamat” dan yuslimu “menyelamatkan”.

Maka itu, kesemuanya berakar dari kata salam yang berarti kedamaian. Ia mendamaikan di langit dan di bumi. Bahkan, salam ia juga bermakna menerima, menyerah, tunduk, kepada Gusti Pangeran.

Islam selain agama yang paling benar di sisi Allah, Inna dina indallahil Islam, (QS Ali Imran: 19), Islam juga sebagai penyelamat bagi seluruh alam. Kendati, tugas kita melaksanakan serangkaian ajaran Islam dengan baik, bijak, dan benar. Supaya, kita mulia di sisi Allah dan memuliakan martabat sesama manusia, “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam” (QS Al-Isra: 70).

Meninggikan Martabat Manusia

Maka dari itu, menjaga martabat manusia dengan cara-cara damai lebih penting daripada mengkotak-kotakkan kemanusiaan. Bahkan syariat menjamin itu. Kita harus menyalakan sumbu kalbu. Sebab, kalbu yang mati, manusia bagaikan zombi. Tak kenal asal, tak tahu tujuan. Tak kenal damai, ramai diri, tetapi asing diri. Disorientasi hidup.

Orang-orang yang mengejewantahkan lelaku kedamaian, sesungguhnya ia menerangi alam batinnya secara spiritual. Dari situ, ia bisa jadi menghidupkan mata hati jutaan orang untuk keluar dari kangkangan noda hitam, menuju kerlip kunang-kunang syurgaNya.

Percayalah bahwa kegelapan tak mungkin menetap. Ia siksak. Kegelapan begitu juga keculasan hidup di kultur yang basah. Dipelihara dan diobral melalui kekuasaan. Disuburkan buzzer, ormas radikal dan pers karena kepentingan cuan. Bulan madu di kampus karena buntunya akal. Bahkan dalam  mitos era  pencerahan kini, ia dirawat sebagai kearifan.

Terang kedamian harus dibuat. Praksisnya bukan sekadar soal kecerdasan akademis. Tetapi untuk membenamkan “kehitaman” dan menerangkan kedamian pertama-tama adalah kemauan kecerdasan etis. Etis menyuburkan kedamaian.

Sebagai hamba Allah dan pengikut Nabi Muhammad, sudah layaklah kita bersikap bijak terhadap siapa pun. Sekalipun berbeda. Supaya, kebersamaan, persatuan, keharmonisan sesama manusia dan NKRI tetap berjalan dan kokoh dalam nafas kedamaian. Tidak ada alasan untuk saling intai. Tetapi banyak alasan untuk saling sopan menyemai keadilan untuk menuju kedamaian.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru