28.2 C
Jakarta

Reuni 212, Gerakan Politik Bungkus Agama

Artikel Trending

Milenial IslamReuni 212, Gerakan Politik Bungkus Agama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Persaudaraan Alumni 212 berencana menggelar acara reuni akbar pada tanggal 2 Desember mendatang. Banyak yang menginginkan reuni itu terjadi. Tetapi banyak juga yang meminta reuni dibatalkan karena berpotensi menambah masalah. Terutama terjadinya lonjakan Covid-19.

Covid menjadi masalah krusial hari ini. Apalagi jika ditambah mau mengadakan reuni yang sebenarnya tidak urgen. Tapi begitulah politik. Covid yang menghabisi banyak korban tak berdampak apa-apa bagi pemain politik. Bahkan tidak dianggap bahaya.

Menuju 2024, pemain politik kembali melirik gerakan aksi 212. Meski sebelumnya kita andaikan tidak mungkin terulang kembali dalam sejarah Indonesia. Tapi fakta berkata lain. Masih banyak orang yang ingin menelan korban pada permainan politik sentimen di Jakarta yang berbungkus agama itu.

Gerakan politik berbungkus agama menjadi jalan lapang bagi politisi hingga hari ini. Sekilas bahkan menjadi kebutuhan bagi orang-orang politisi. Meski yang mempermainkan itu bukan orang-orang atau partai Islam secara keseluruhan. Tapi sebagian partai sekuler yang diam-diam masuk gelanggang peradaban politik Islam yang sebelumnya mereka cerca. Efek sampingnya menerabas masuk pada umat Islam sendiri.

Gerakan Politik Bungkus Agama

Begitulah gerakan politik. Gerakan reuni 212 tidak mau bekerja dalam tataran etis dan adab. Semuanya boleh-halal dan berjalan dengan taktis dan gesit. Haram pun dilindas. Melihat fakta demikian, bagaimana sebenarnya membaca fenomena itu untuk kemudian kita bisa lemparkan kepada masyarakat.

Reuni 212 adalah gerakan politik yang mempermainkan emosi masyarakat. Ia bergerak dalam hitungan kerja-kerja politik. Hanya segelintir orang yang kita lihat menikmati hasilnya. Ia bukan masyarakat muslim Indonesia. Ia juga tidak menguntungkan moral umat Muslim itu sendiri. Tapi sebaliknya.

Adanya reuni 212, sebenarnya malah memperburuk citra umat Islam di Indonesia.

Tak bisa dibaca bahwa reuni 212 adalah gerakan murni untuk membangkitkan umat Islam. Katakanlah meninggikan ekonomi umat Islam. Reuni 212 dalam politik dunia jelas dibaca sebagai gerakan politik Islam yang memanfaatkan umat beragama. Tapi agama dirusak dan hanya mempedulikan-menguntungkan politisi.

Banyak yang menyayangkan akan adanya reuni 212. Selain banyak mudaratnya. Ia juga memberikan bekas jelek yang mendalam di hati umat Islam. Masih banyakkah orang-orang yang bermusuhan antartetangga dan antarsaudara gara-gara terjadinya politik identitas Jakarta 2017? Sungguh banyak. Orang-orang di luar kota Jakarta saja menerima dampak jelek itu sampai kini.

BACA JUGA  Meningkatkan Suluh Puasa dengan Menutup Pintu Radikalisme

Berhenti Mempermainkan Agama

Melihat fenomena demikian, mungkin kita mulai berhenti memainkan narasi sentimen dalam bungkus agama. Gerakan reuni 212 tidak perlu diteruskan jika yang ada hanya memanfaatkan emosi masyarakat yang berdampak pada sintimen ras dan agama. Karena modalnya sungguh banyak: masyarakat terbelah dan meninggikan kebencian. Bukan meninggikan persatuan. Aksi 212 efeknya kebencian.

Agama cukup untuk agama. Dan politik cukup untuk bergerak di jalan politik. Agama dikhususkan untuk meningkatkan martabat manusia dan mendalamkan rohani keikhsanan. Termasuk juga bagaimana toleran menjalankan agama.

Umat Islam juga harus toleran kepada umat yang lain. Dan non-muslim juga harus toleran kepada semuanya. Dan mayoritas haru toleran terhadap minoritas. Begitu sebaliknya. Di dalam toleransi ada ajaran inti keagamaan, yang bila diringkas adalah kasih (rahmat), kebijaksanaan (hikmat), kemaslahatan universal (maslahat ummat), keadilan (adl). Ajaran toleransi beragama itu menjadi syarat yang tak bisa dibatalkan, boleh disebut bersifat transhistoris, transideologis, trangender, dan lainnya.

Toleransi tak selalu mengacu ke luar. Toleransi agama diujikan pada konsep kedirian. Pertaruhan toleransi diminta untuk diri (self) dan lain (the other) untuk dijadikan satu kaitan yang saling beriringan melihat dunianya. Maksudnya, melihat diri juga harus melihat kaitan orang lain dan melihat yang lain juga melihat dalam sinaran keberadaan dirinya.

Umat Islam dalam hal ini reuni 212, harus toleran pada fenomena alam Covid-19. Berkumpul dalam skala yang banyak waktu pandemi menjadi marabahaya bagi umat yang lain. Dan karena itu, reuni 212 tidak harus dilakukan. Untuk menggairahkan umat Islam dalam hal agama sudah cukup di tempat-tempat agama dan ruang sosial lainnya. Bukan di tempat seperti politik praktis. Kasihan umat Islam dibuat bingung oleh bangsanya sendiri sekadar mencari cuan dan eksistensi. Iya, kan?

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru