27.7 C
Jakarta
spot_img

Resurgensi Terorisme: Upaya Preventif Pasca-Kemenangan HTS di Suriah

Artikel Trending

Milenial IslamResurgensi Terorisme: Upaya Preventif Pasca-Kemenangan HTS di Suriah
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Di sebuah kedai kopi kecil di Jl. Karang Tengah, Lebak Bulus, saya duduk bersama—bukan nama sebenarnya—Abu Hatim, eks-napiter JI yang kini bergiat dalam program deradikalisasi. Kami berbicara tentang berita yang tengah memenuhi jagat media internasional: kemenangan HTS di Suriah. Di layar televisi, di atas barista, terlihat al-Jaulani berpidato di depan ribuan pendukungnya, mengklaim bahwa kemenangan mereka adalah ‘awal era baru’ untuk umat Islam.

Namun, Abu Hatim hanya menghela napas panjang.

“Kalau kau tanya saya,” katanya, sambil menyeruput vietnam drip-nya. “Itu bukan kemenangan kita. Itu kemenangan mereka, para oportunis.”

Kemenangan HTS atas kelompok oposisi lain di Suriah, yang dirayakan sebagai ‘triumph of the ummah’, adalah pedang bermata dua. Bagi banyak pihak, termasuk Abu Hatim, itu lebih merupakan ancaman daripada harapan.

“Apa yang kau lihat dari kemenangan ini?” tanya saya, mencoba menelisik lebih dalam.

Abu Hatim terdiam sejenak, lalu mengangkat cangkirnya seakan menimbang jawaban. “Yang saya tahu, mereka akan menyebar. Mereka tidak akan berhenti di Suriah. Mereka akan mengekspor ideologi mereka, dan itu bukan ideologi Islam. Itu sesuatu yang jauh lebih meresahkan.”

“Seperti zionis?” sela saya, memancing.

Dia tersenyum tipis, penuh ironi. “Zionis atau bukan, yang pasti mereka tidak akan menyerang zionis. Kau tahu kenapa? Karena mereka terlalu sibuk melawan kita, sesama Muslim.”

Percakapan itu membawa kami pada isu utama: resurgensi terorisme di luar Suriah, Indonesia misalnya. Abu Hatim, yang pernah tergabung dalam sel teroris di tanah air, memahami bagaimana ideologi ekstrem menyebar seperti virus, menginfeksi jiwa-jiwa yang rapuh, dan bergerilya tanpa terdeteksi siapa pun termasuk aparat negara.

“HTS menang di Suriah, dan kita di Indonesia mungkin akan merasakan dampaknya,” katanya. “Banyak orang di sini yang mengidolakan mereka. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana.”

“Maksud antum, dampaknya akan seperti apa?”

“Meningkatnya rekrutmen, semakin agresifnya propaganda, dan yang paling berbahaya: simpati global.”

Abu Hatim menjelaskan, kemenangan HTS menciptakan narasi romantis tentang perjuangan Islam, atau bahkan penegakan Daulah, yang memang tengah dirindukan anak-anak muda. Apa yang terjadi di Suriah pekan kemarin, kata Abu Hatim, adalah permainan serupa dengan yang dimainkan ISIS ketika mendeklarasikan khilafah mereka pada 2014—tepat satu dekade silam.

“Bedanya,” tambahnya, “HTS lebih pintar. Mereka tidak mendeklarasikan khilafah, tapi mereka bertindak seperti zionis. Mereka mengambil wilayah, mengontrol populasi, dan menciptakan loyalitas dengan kekerasan dan monopoli doktrin keislaman.”

Resurgensi, Memang Mungkin?

Obrolan saya dengan Abu Hatim, sejujurnya, jauh lebih panjang lagi. Kami membicarakan banyak hal secara spekulatif dan reflektif. Namun, intinya, adalah mencoba menelaah apakah resurgensi terorisme pasca-kemenangan HTS itu memungkinkan, atau perlu ditakutkan? Resurgensi sendiri merujuk pada kebangkitan sesuatu yang sebelumnya mengalami kemunduran atau bahkan dianggap telah berakhir. Terorisme, selama dua tahun terakhir, misalnya, ada di fase zero attack.

Resurgensi banyak dibahas dalam studi keamanan global, terutama hal-ihwal organisasi teroris yang selalu mampu survive dan beradaptasi meski di tengah represi militer dan politik. Menurut Mockaitis dalam bukunya, The New Terrorism: Myths and Reality, resurgensi terorisme ditandai dengan transformasi strategi, reorganisasi internal, dan ekspansi ke wilayah baru yang rentan penetrasi radikal-terorisme. Indonesia, dalam konteks tersebut, merupakan salah satunya.

Kemenangan HTS di Suriah memantik kekhawatiran bahwa mereka akan mengalami resurgensi yang lebih luas, tidak saja di Suriah, tidak saja di Timur Tengah, tetapi juga di Indonesia. Pertanyaan yang laik diajukan ialah: apakah kemenangan HTS cukup untuk memulai gelombang baru terorisme global, ataukah euforia kemarin hanya momen sementara yang tidak memiliki dampak jangka panjang dan tak perlu dicemaskan? Untuk sementara, kemungkinannya masih 50-50.

BACA JUGA  Memanfaatkan Kultum Ramadan sebagai Kontra-Narasi, Mengapa Tidak?

Namun demikian, pasca-kemenangan HTS di Suriah, dunia menyaksikan pergeseran baru lanskap terorisme global. Kemenangan HTS atas Assad tidak hanya meningkatkan legitimasi mereka di antara pendukungnya, tetapi juga membuka peluang konstruksi narasi yang jauh lebih berbahaya, yakni bahwa mereka adalah ‘penerus sah’ perjuangan umat Islam sebagaimana yang dinubuatkan. Jika itu terjadi, maka Suriah akan persis Afghanistan di tahun 1980-an, sebagai markas mujahidin global.

Secara historis, terorisme memang telah resurgensi beberapa kali. ISIS pada 2014, misalnya, adalah fase refresh dari apa yang Al-Qaeda lakukan dua dekade sebelumnya di Afghanistan. Tetapi, HTS tidak secara langsung mengklaim status khilafah seperti ISIS. Mereka memilih membangun struktur kekuasaan dengan model negara dalam negara (state within a state), strategi yang oleh para pengamat keamanan disebut mirip model zionisme di Israel.

Preventif terhadap Resurgensi

Pasca-menang, HTS memilih langgengkan konflik sektarian dunia Islam daripada menghadapi ancaman zionisme. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan kolektif ihwal motif sebenarnya perjuangan mereka. Saya sudah mengulasnya pada artikel kemarin, tentang apakah al-Jaulani ada kongkalikong dengan zionis hingga tidak mau melawan atas pendudukan Dataran Tinggi Golan. Namun, yang lebih urgen dibahas ialah, di Indonesia sendiri, apakah resurgensi terorisme potensial?

Terlepas dari poin obrolan saya dengan Abu Hatim di awal, sejumlah orang memang meyakini bahwa resurgensi terorisme di Indonesia tak lebih dari bualan atau ilusi belaka. Padahal, sejarah telah mencatat bagaimana konflik di Timur Tengah memengaruhi eskalasi radikal-terorisme di Indonesia. Mulai dari invasi Afghanistan oleh Uni Soviet hingga Arab Spring, narasi ‘jihad global’ selalu berhasil menarik simpati orang-orang Muslim yang merasa berkewajiban untuk terlibat.

Kemarin, misalnya, sejumlah eks-teroris merasa bergembira dan bertahniah untuk al-Jaulani. Artinya, secara langsung atau tidak, kemenangan HTS memberi celah baru kaum-kaum radikal untuk membangun narasi eskatologis tentang kejayaan Islam—Daulah. Bagi segelintir orang, HTS merupakan simbol ‘perlawanan’, menggantikan ISIS yang hancur setelah kekalahan di Irak dan Suriah. Jangan lupa, saat ISIS deklarasi khilafah, para eks-teroris tanah air juga unjuk gigi; teresurgensi.

Karena itulah, saya yakin bahwa upaya preventif sangat laik dilakukan, untuk mencegah resurgensi itu sendiri. Resurgensi yang dimaksud, dalam pembacaan saya, terorientasikan dalam dua hal. Pertama, peningkatan simpati ideologis. Menangnya HTS akan memancing simpati dari orang atau kelompok yang merasa terinspirasi oleh keberhasilan mereka. Simpati yang dimaksud bisa saja mengejawantah sebagai dukungan material, finansial, atau bahkan kaderisasi. Apa saja bisa.

Kedua, ekspansi narasi radikal-terorisme. Masih ingat pesan Izzul Mujahid, anggota JI, yang kemarin merilis video ucapan selamat? Dia berpesan, agar Muslim Indonesia ikut berjihad lewat media. Artinya, resurgensi akan berlangsung melalui platform digital. Entah dari website, atau medsos seperti Instagram dan TikTok. Yang jelas, akan ada ekspansi narasi yang arahnya adalah menciptakan kader-kader radikal di satu sisi dan membangkitkan sel-sel terorisme di sisi lainnya.

Jadi, inti dari tulisan ini adalah, resurgensi akan terjadi—baik dalam skala kecil maupun besar. Jawaban singkatnya adalah ‘iya akan terjadi’, sehingga langkah preventif dan konkret menjadi sesuatu yang niscaya. Kemenangan HTS di Suriah memantik gelombang simpati global, termasuk Indonesia. Namun, resurgensi itu sendiri sangat bisa dicegah. Kemenangan HTS adalah peringatan untuk Indonesia, bahwa radikal-terorisme akan selalu menghantui negara-bangsa kita.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru