Harakatuna.com – Peran santri tak perlu dipertanyakan. Dia bisa menjadi apa saja dan di mana saja. Bahkan bisa menjadi presiden, seperti Gus Dur. Di balik peran itu, ada jutaan usaha, ribuan tangisan dan nyawa yang dipertaruhkan. Hari santri yang biasanya dirayakan pada 22 Oktober adalah bentuk rasa syukur bisa memberikan pemahaman agama secara damai dan humanis terhadap masyarakat Indonesia. Secara langsung masyarakat merasakan denyut keagamaan yang dilandasi cinta dan keikhlasan.
Kemenag secara terus-menerus memberikan suntikan penghangat lewat pemahaman moderasi untuk keagamaan di Indonesia, baik di tingkat pemerintah lokal, organisasi keagamaan, hingga tingkat global. Perhari ini, masyarakat Indonesia telah merasakan dampak agama sebagai rahmatan lil alamiin (agama yang membawa perdamaian bagi semua umat).
Banyaknya pesantren, menurut Data Kepala Pusat Pengembangan Penelitian dan Pendidikan Pelatihan Kementerian Agama, jumlah pesantren di 33 provinsi di seluruh Indonesia mencapai 25.000 pesantren dengan jumlah santri mencapai 3,65 juta jiwa, menjadi ujung tombak kerekatan keagamaan di Indonesia. Selain memastikan identitas muslim tetap kokoh, santri dan pesantren ini menjadi produk unggul yang membawa bangsa maju mengglobal.
Tantangan Ekologi Santri
Meski demikian, ada beberapa tantangan yang sedang berlangsung dalam tubuh santri. Pertama, bagaimana santri melihat krisis ekologi di pusarannya dan menegoisasinya? Kedua, bagaimana mewujudkan santri sebagai pemegang kendali keagamaan yang ramah dengan mengetahui genealogis proses reproduksi paham esktremisme sebagai strategi merawat keutuhan bangsa negaranya? Pertanyaan ini penting diajukan untuk mengungkap dimensi psikologis dan strategi dalam susur galur gayutnya dunia keagamaan dan fenomena kesantrian mutakhir di Indonesia.
Melihat sejarah kesantrian, masygul kiranya jika tidak mempermasalahkan tentang ekologis. Faktanya, pesantren adalah salah satu penyumbang sampah terbanyak, selain perusahaan. Jika kita pernah mengunjungi pesantren tradisional, sungguh tidak masuk akal sampah bertebaran di mana-mana. Sampah-sampah hidup bersama para santri di setiap saat, di setiap tempat.
Miris melihat fakta ini dan menjadi problem penting dan mendesak. Ini karena, pertumbuhan santri kian banyak, dan karena itu pula produksi sampahnya juga tambah banyak. Ada ribuan pesantren masih tidak bisa menangani sampah yang diproduksi (penghasil sampah) sendiri. Sehingga ada pesantren gambarnya mulus di media sosial, tetapi realita pesantrennya kotor berkelit sampah.
Karena pesantren jauh dari kesadaran ekologis, banyak santri-santriwati langganan penyakit gatal dan penyakit lainnya, sebagai akibat hidup di dalam lingkungan bersampah. Dan jangan heran jika Indonesia menjadi penyumbang sampah terbesar kedua setelah Cina. Ini terjadi karena kesadaran pesantrennya yang tidak terpenuhi. Tidak ada pengajaran tentang bagaimana menjadi santri-santriwati yang bersih, bukan hanya tubuh dan pakaiannya, tetapi juga alamnya, lingkungannya, tempat tinggalnya. Pembiasaan sadar lingkungan kadangkala tidak diurus di pesantren. Padahal tiap malam dan siang, ia menjadi manusia paling sadar isi kitab, yakni berwudu, bersuci.
Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2019 timbulan sampah mencapai 28,37 juta ton. Angka itu meningkat pada 2020 dengan 29,01 juta ton. Lalu pada 2021 mencapai 29,45 juta ton. Dan, melonjak pada 2022 hingga menyentuh 35,83 juta ton. Lonjakan sampah ternyata tak berhenti, pada 2023 naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya yakni 69,9 juta ton (detik, 25/9/2024).
Fakta terjadinya lonjakan terus-menerus memberikan gambaran terang bahwa pengurangan sampah tidak berjalan. Padahal tak sedikit upaya dan dana yang digalakkan oleh pemerintah maupun melalui dana dari swasta untuk penambahan bank sampah. Hari ini, pengolahan sampah tingkat kota dan kabupaten dipegang oleh Bank Sampah Induk (BSI). Sedangkan untuk wilayah yang lebih kecil (mencakup RT/RW, sekolah, dan instansi swasta), sampah akan dikelola oleh Bank Sampah Unit (BSU).
Tantangan Terhadap Esktremisme
Tantangan kedua, santri tidak terlalu peka dengan bahaya laten paham esktremisme. Ini terbukti ketika para santri masih masuk pada gerbong sindikat terorisme. Bahkan, hari ini, masih banyak santri yang memilih pesantren radikal sebagai tempat belajar dan bernaung hidup. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebut ada 198 pondok pesantren yang terafiliasi dengan jaringan terorisme. Dan masing-masing pesantren ini banyak peminatnya. Maka wajar jika para santri ini nantinya menjadi tangan panjang dari terorisme.
Kalau kita akui secara jujur, sungguh kita telah menyaksikan santri yang bersentuhan dengan kekerasan. Baik kekerasan seksual atau kekerasan karena doktrin agama yang menyimpang. Ini bisa kita lihat dari jejak awal munculnya firqah-firqah Islam seperti Khawarij (Siradjuddin Abbas, 2010), dan munculnya kelompok non- indigenous Islam Indonesia yang memandang perlunya “Islamisasi Indonesia” melalui jaringan transnasionalnya secara global sehingga menyebabkan ektremitas (Toto Suharto, 2020). Padahal hal tersebut bertentangan dengan Islam moderat.
Melihat fakta di atas, santri-pesantren perlu memperbaiki cara mengatasi sampah hingga masalah lingkungan. Santri juga harus bisa memoderatisasi pemahaman agama yang keras. Doktrin pesantren tidak melulu menanamkan kesalehan ritual, tetapi lebih dari itu, pesantren juga perlu menanamkan kesalehan lingkungan (ekologi).
Peran Menjadi Santri
Di momentum peringatan hari santri ini, kita perlu mengimbangi wacana itu dengan berbagai program dan konsep strategis secara koheren. Kalau kelompok ekstrem membuat metode belajar beragama sepraktis mungkin dengan membuat software, DVD, tayangan Youtube, Tiktok, buku, bahkan game, maka santri perlu memainkan peran juga di area sana, dengan konten-konten yang moderat berlandasan kebangsaan. Jika Pandawara (dengan sembilan orang) bisa memainkan perannya dalam menangani sampah di sungai-sungai besar, mungkinkah para ribuan santri tidak bisa memainkan hal sama, minimal di dalam pesantren.
Bagi saya, anatomi, narasi, dan gerakan santri-pesantren perlu melanjutkan perjuangan yang telah paham pada persoalan ekologi, seperti Pesantren Tebuireng, Jombang, dengan jargon “Ubah Sampah Menjadi Berkah”, Pesantren Shafiyah, Banyuwangi, yang mengelola sampah dengan gerakan “Pakai yang Ada”. Pesantren Jalaluddin Ar-Rumy, Jember, yang memunculkan program “Detektif Sungai” untuk mengatasi pencemaran sungai karena plastik.
Pondok Al-Imdad yang memiliki visi santri saleh: “Santun, Agamis, Nasionalis, Terampil, Ramah, Inovatif, dan Sadar Lingkungan Hidup”. Pesantren Annuqayah, Sumenep, dengan gerakan “PSG; Komunitas Pemulung Sampah”, dan Pondok Paiton, Probolinggo dengan bank sampahnya. Jika hal demikian dapat dilakukan dan dicontoh, santri-pesantren bukan cuma bisa protektif, tapi juga produktif dan bahkan developmental dalam segala hal. Itu.