31.3 C
Jakarta

Resolusi 2022; Menjadikan Toleransi Sebagai Falsafah Bangsa

Artikel Trending

KhazanahOpiniResolusi 2022; Menjadikan Toleransi Sebagai Falsafah Bangsa
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dalam hitungan hari, kita akan menyongsong tahun baru 2022. Tahun 2021 merupakan tahun berat bagi kita. Pandemi membuat sektor ekonomi tidak bertumbuh maksimal. Anak bangsa mengalami learning lost akibat pembelejaran jarak jauh di masa pandemi.

Kita juga masih dihadapkan pada persoalan sosial, politik, dan agama. Segregasi sosial sebagai ekses dari fanatisme politik masih menjadi ancaman serius bagi bangsa. Intoleransi agama juga masih menjadi momok bagi kesatuan nasional. Hoaks, ujaran kebencian, dan provokasi atas nama agama mewarnai perjalanan kita di tahun 2021. Pendek kata, kita menutup tahun 2021 dengan muram.

Namun, sebagai bangsa yang besar, kita dituntut memiliki optimisme tinggi. Kita wajib menatap 2022 dengan optimisme. Tahun 2022 yang sudah ada di depan mata ialah tantangan sekaligus peluang. Di titik inilah penting kiranya menyusun resolusi 2022, khususnya bagaimana mengembalikan toleransi sebagai falsafah bangsa.

Dua Strategi; Ke Luar dan Ke Dalam

Jika menengok sejarah bangsa, toleransi sebenarnya telah menjadi bagian inheren masyarakat Nusantara. Falsafah ini tergambarkan secara eksplisit ke dalam adat-istiadat, tradisi, dan kultur Nusantara yang menjunjung tinggi gotong-royong (kolektivisme), persaudaraan, dan persatuan. Sayangnya, belakangan karakter itu kian terkikis oleh beragam faktor. Dari luar, ekspansi budaya asing melalui globalisasi harus diakui turut andil melunturkan jatidiri bangsa.

Budaya gotong-royong dan persaudaraan pun tergeser oleh gaya hidup individualis-pragmatis. Sedangkan dari dalam, menguatnya fanatisme agama juga menyumbang peran pada maraknya intoleransi bahkan kekerasan yang mewabah belakangan ini.

Maka, kunci mengembalikan toleransi sebagai karakter dan jatidiri bangsa idealnya dilakukan melalui dua strategi, yakni strategi ke luar dan strategi ke dalam. Dalam konteks strategi ke luar kita perlu melakukan semacam re-positioning alias memposisikan ulang status dan peran kita dalam peta pergaulan internasional.

Selama ini, posisi bangsa Indonesi kerap inferior dibandingkan negara-negara Barat yang identik dengan paham liberalisme-nya. Konsekuensinya, kita gagal memproduksi wacana atau ideologi sosial-politik, alih-alih menjadi konsumen ideologi impor dari Barat. Misalnya di bidang politik, sistem demokrasi kita cenderung liberalistik. Padahal, kita memiliki demokrasi Pancasila.

Repositioning ini penting agar Indonesia bisa memiliki otonomi atas jatidirinya, namun tidak terasing dari pergaulan internasional. Dengan begitu, residu globalisasi seperti individualisme dan pragmatisme bisa difilter.

BACA JUGA  Film Horor Berlatar Agama, Seberapa Berbahaya?

Sedangkan dalam konteks strategi ke dalam, kita perlu mereformasi cara pandang dan praktik keberagamaan kita agar tidak terjebak dalam eksklusivisme apalagi fanatisme. Ini merupakan tugas berat, apalagi di tengah arus deras tarikan konservatisme agama yang saat ini melanda Indonesia sejak dua dekade terakhir.

Sinergi Kolektif dan Komprehensif

Upaya mengembalikan toleransi sebagai falsafah bangsa harus melibatkan seluruh pihak, memadukan pendekatan struktural dan kutlural serta dilakukan dengan komprehensif dan masif. Pemerintah, lembaga pendidikan, organisasi keagamaan, jaringan masyarakat sipil, tokoh agama dan publik, serta masyarakat umum idealnya menjalin sinergi kolektif untuk mempromosikan toleransi.

Pemerintah harus memastikan bahwa tidak ada aturan, regulasi, apalagi undang-undang yang berpotensi diskriminatif dan intoleran terhadap kelompok tertentu. Di saat yang sama, pemerintah utamanya penegak hukum harus bersikap tegas terhadap pelaku tindakan intoleran. Pembiaran (hukum) atas tindakan intoleran kiranya merupakan preseden buruk yang tidak boleh terjadi.

Jejaring masyarakat sipil mulai dari organisasi keagamaan, lembaga pendidikan, tokoh agama dan publik serta masyarakat umum kiranya juga bersinergi dalam mengampanyekan toleransi. Lembaga pendidikan harus menjadi kanal bagi tumbuhnya kesadaran akan pentingnya toleransi.

Organisasi keagamaan harus menjadi motor penggerak bagi upaya mewujudkan toleransi. Sedangkan tokoh agama dan tokoh publik idealnya berperan sebagai agen kampanye moderasi dan toleransi beragama.

Tahun 2022 ialah tahun yang menentukan bagi arah bangsa ke depan. Dua tahun lagi, kita akan menggelar pemilihan presiden. Efeknya, kondisi politik nasional sudah mulai memanas sejak saat ini.

Di tengah situasi itu, kita menyaksikan meningkatnya penyebaran ujaran kebencian yang mendorong suburnya praktik intoleransi dan radikalisme atas nama agama. Di titik inilah, kampanye toleransi dan moderasi beragama harus terus-menerus digalakkan tanpa lelah.

Satu hal yang pasti, para elite politik dan para tokoh agama hendaknya bisa menjadi teladan bagi masyarakat. Jangan sampai, hasrat pada politik praktis berkelindan dengan fanatisme keagamaan. Fenomena politik identitas yang mencuat sejak Pilpres 2014 yang menyuburkan intoleransi dan radikalisme kiranya tidak boleh terulang. Kita jadikan tahun 2022 sebagai momentum untuk meneguhkan kembali toleransi sebagai falsafah bangsa.

Selamat memasuki tahun 2022. Tahun Toleransi!

Siti Nurul Hidayah
Siti Nurul Hidayah
Peneliti pada “Center for the Study of Society and Transformation”, alumnus Departemen Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru