32.9 C
Jakarta
Array

Resolusi 2019: Memangkas Patrimonialisme Politik

Artikel Trending

Resolusi 2019: Memangkas Patrimonialisme Politik
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Setelah 19 tahun era reformasi bergulir, transisi demokrasi kita masih ditandai dengan berbagai kegaduhan politik. Ditambah lagi, saat ini kegaduhan bukan hanya berlangsung di tingkat elite, tetapi sudah merembes pada tingkatan akar rumput yang menjadikan potensi konflik horizontal semakin luas.

Jika kita amati, kegaduhan politik selalu mengganggu setiap rezim pemerintahan. Di era SBY misalnya, terutama di periode kedua pemerintahannya, partai-partai koalisi kerap terlibat friksi setiap pada isu kenaikan harga BBM dan kasus skandal Bank Century.

Beberapa kali kabinet pun dirombak demi menciptakan kembali stabilitas. Sebab, tanpa kondisi politik yang ajek, pemerintah sulit menjalankan berbagai program kerjanya dengan baik.

Di era Jokowi-Jusuf Kalla saat ini pada dua tahun awal kepemimpinan pun keadaan tidak lebih baik dari sebelumnya. Selama dua tahun pertama pemerintahannya justru kegaduhan terjadi di kalangan internal seperti terjadi friksi antar menteri dan antar lembaga. Koalisi ramping dan koalisi tanpa syarat yang sempat digaungkan diawal sama sekali tidak dapat direalisasikan. Demi stabilitas politik, beberapa partai yang semula di luar pemerintah, satu per satu mulai bergabung dan diberikan porsi di struktur pemerintahan.

Namun, ketika persoalan internal telah dapat diatasi dengan memaksimalkan kekuatan pendukung di parlemen, muncul kegaduhan-kegaduhan baru yang dipicu oleh isu pilkada saat itu. Manuver-manuver politik yang penuh dengan taktik saling kunci dan balas dendam tampak mengemuka. Hal ini juga kembali terjadi diakhir tahun 2018 pada panasnya isu pilpres. Dengan kegaduhan yang meluas dan berlangsung maraton ini, pihak yang paling dirugikan adalah rakyat. Pasalnya, pemerintah tidak pernah mampu mengoptimalkan kinerja-kinerjanya terutama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan, kualitas pelayanan publik, dan pengentasan kemiskinan.

Patrimonialistik Membudaya

Menurut pandangan Francis Fukuyama dalam bukunya Politikal Order and Political Decay: from Industrial Revolution to the Globalization of Democracy (2014), terdapat penyakit akut terkait dengan pembangunan politik di banyak negara yang sedang membangun (developing countries).

Permasalahannya terletak pada peran negara yang lemah dan tidak efektif. Para elite peguasa lebih lihai menampilkan kekuasaan despotik, suatu kemampuan untuk melakukan tekanan kepada pihak lawan seperti jurnalis, politisi oposan, dan kelompok-kelompok pesaing. Akan teteapi mereka tidak memiliki kekuatan dalam aspek kekuasaan infrastuktural yaitu kemampuan untuk menghadirkan penguatan hukum yang adil dan penyediaan barang-barang publik seperti keselamatan, kesehatan dan pedidikan.

Bercermin pada analisa Fukuyama di atas, tampaknya dinamika politik di Indonesia setelah reformasi menunjukkan gejala yang serupa. Kehidupan politik kita lebih diwarnai perseteruan antar elite dan tidak jarang institusi-institusi negara digunakan sebagai instrumen konflk. Aksi saling mencari-cari kesalahan dan saling melaporkan kepada pihak yang berwajib menjadi tren untuk memberangus kekuatan masing-masing lawan politiknya.

Dari poses semacam itu muncul pertanyaan, apakah kualitas demokrasi mengalami peningkatan atau justeru tereduksi? Padahal, pada hakikatnya politik merupakan seperangkat norma untuk mencapai tujuan bersama yakni kesejahtraan, kemakmuran, keamanan, dan keselamatan bagi seluruh warga negara. Namun, mengapa semakin hari proses politik yang berlangsung justeru semakin mengarah pada lintasan yang destruktif? Apa yang salah dengan amalan berdemokrasi kita saat ini?

Budaya Patrimonialistik di Desa

Dari sudut pandang budaya politik, para elite di Indonesia pada umumnya masih menjalankan pola patrimonialistik, kekuasaan tersentralisasi pada elite. Mereka lalu mendistribusikan kekuasaannya kepada jaringan kerabat, teman dekat, atau kolega sehingga membentuk kroni-kroni. Tujuannya supaya kekuasaan dapat lebih mudah diraih dan dipertahankan oleh kelompoknya.

Praktik semacam ini juga menyerang sistem pemerintahan di akar rumput, yakni desa. Bahkan, pemerintahan di level desa justru hampir mayoritas kental dengan budaya patrimonialistik ini.

Selain itu, faktor rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat turut menyuburkan broker-broker politik yang melanggengkan dominasi elite dan kroni-kroninya. Mereka mencengkeram institusi pemerintahan untuk menyedot sumberdaya desa/negara melalui berbagai macam cara seperti mark up anggaran proyek, pungutan liar, dana hibah, dan bantuan sosial.

Ketika terjadi pergantian kekuasaan, kelompok penguasa beru melakukan penyesuaian terhadap struktur-struktur birokrasi agar sejalan dengan kepentingannya. Para kroni kelompok penguasa sebelumnya yang masih bercokol baik di instansi-instansi pemerintahan maupun perusahaan-perusahaan desa/negara dipreteli untuk kemudian digantikan oleh kroni yang baru. Namun, kelompok penguasa beserta kroni sebelumnya tidak begitu saja menyerahkan pundi-pundi yang selama ini mengisi kantongnya.

Apabila tidak tidak terjadi kompromi, pihak oposan sebisa mungkin melakukan perlawanan misalnya dengan menyerang menggunakan isu-isu yang menyudutkan pemerintah. Hal semacam ini akan banyak kita temui di level pemerintahan desa sekalipun, bahwa pergantian aparatur desa tidak juga membawa angin segar bagi kesejahteraan masyarakat.

Itulah mengapa pergantian rezim bukan perkara sederhana karena selalu diiringi despotisme politik yang memandulkan kemampuan pemerintah dalam menyediakan kebutuhan dasar bagi publik. Sementara itu, rakyat sudah lama menanti pemerataan pembangunan yang digerakkan oleh proses politik ini. Triliunan rupiah anggaran negara telah digunakan untuk menyelenggarakan pemilu dari tingkat pusat sampai daerah. Namun apa lacur, elite-elite politik malah makin memancang egonya demi kepentingan dan prestise pribadi sehingga menyebabkan kegaduhan politik yang tidak henti-henti.

Menghentikan Budaya Patrimonialistik
Oleh sebab yang diatas tadi, perlu ada upaya mendekonstruksi pola patrimonialistik dalam praktik berdemokrasi. Beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain pertama, menghadirkan prinsip rasionalitas dalam kehidupan berpolitik yang bisa dimulai dengan penguatan kapasitas berbagai organisasi atau kelompok masyarakat sipil dan partai politik.

Kedua, prinsip rasionalitas tersebut harus diiringi perubahan paradigma yang membobotkan pada aspek kualitas dan nilai dibandingkan dengan aspek kuantitas, mengutamakan pencapaian (achievment) bukan kekerabatan/kedekatan (ascription), berbasis pada kinerja bukan berbasis prestise, pengelolaan organisasi yang professional dan impersonal bukan personal, serta orientasi kekuasaan untuk publilk bukan untuk golongannya sendiri.

Ketiga, meningkatkan pendidikan politik terutama kepada generasi muda sehingga mereka dapat menyalurkan aspirasi masyarakat secara aktif berdasarkan koridor institusional serta konstitusional.
Pendidikan politik bukan hanya tanggung jawab partai politik, tetapi juga harus diemban oleh institusi lainnya, seperti keluarga, sekolah, pemerintah, dan media massa. Dengan memodernisasi kehidupan politik, pola partimonialisme politik akan terkikis dengan sendirinya dan persaingan politik akan mengambil objek yang lebih substansial. Dengan demikian, kegaduhan politik tidak lagi menjadi gangguan yang berarti bagi upaya pemerintah dalam memenuhi hak-hak warganya.

Oleh: S. Fitriatul Maratul Ulya, Penulis adalah Mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Sekertaris KOPRI PMII Kota Semarang. Duta Damai BNPT Jawa Tengah. Sekaligus Alumni Perbandingan Agama UIN Walisongo Semarang.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru