Harakatuna.com – Bagi anak muda hari ini, media sosial bukan sekadar fasilitas untuk berkomunikasi. Lebih jauh dari itu, media sosial adalah bagian hidup anak muda. Apakah ini salah? Sama sekali tidak. Bagaimana pun, penggunaan media sosial di era ini adalah sebuah keniscayaan tanpa melihat berapa usia si pengguna. Namun, yang ironis adalah sering kali kita bermesraan dengan media sosial melampaui batas yang dibutuhkan. Dalam 24 jam, saya yakin masing-masing kita memiliki screen time yang panjang dibandingkan dengan melakukan aktivitas lain.
Melihat fakta di atas, kita bisa langsung mendapat konklusi bahwa waktu yang kita gunakan untuk membaca buku itu sangat sedikit. Anak muda cenderung lebih suka menangkap informasi dari konten media sosial ketimbang dari buku. Padahal, jika dikomparasikan, kebanyakan konten di media sosial itu hanya setara dengan bagian “Pendahuluan” sebuah buku. Maknanya, mayoritas anak muda itu hanya mendapatkan informasi sepotong atau tidak utuh. Informasi sepotong ibarat premis yang pincang, yang kemudian berpengaruh terhadap kesimpulan yang tidak tepat. Apakah anak muda sadar akan hal ini? Tampaknya, sebagian besar tidak.
Ironi atas kondisi tingkat literasi anak muda sudah berada di level akut. Bagi anak muda, buku bukan satu-satunya sumber informasi. “Buat apa baca buku kalau internet sudah menyediakan segalanya”, mungkin begitu pikir mereka. Memang benar, buku bukan satu-satunya sumber informasi. Namun, yang perlu diperhatikan di sini adalah rutinitas membaca dengan aktivitas mencari informasi saat butuh saja, tentu memiliki perbedaan yang signifikan. Pikiran jelas akan lebih aktif bekerja saat kita sering menggunakannya untuk membaca. Tetapi kalau pikiran jarang/hampir tidak pernah digunakan untuk membaca, ia ibarat tubuh yang tidak pernah digerakkan.
Selain itu, isi pikiran juga berbanding lurus dengan isi omongan. Kita dapat dengan mudah menilai, apabila yang keluar dari mulut seseorang itu penuh keburukan dan kebusukan, maka seperti itulah isi otaknya. Sebaliknya, jika ada orang yang isi mulutnya baik, bagus, dan tertata, maka itulah cerminan kualitas pikirannya. Oleh sebab itu, harusnya kita selalu mengisi pikiran-pikiran kita dengan apa saja yang baik. Caranya? Perbanyak membaca.
Lalu, apakah menikmati konten media sosial itu tidak diperbolehkan? Tentu, tidak! Bukan begitu kesimpulannya. Menikmati apa yang disajikan oleh media sosial itu boleh dan sah. Itu hak semua orang. Lagi pula, konten yang mengandung manfaat juga tak sedikit. Jadi, bagaimana? Kita perlu sedikit mengurangi intensitas bermesraan dengan media sosial.
Jarang membaca tidak hanya berdampak pada buruknya kualitas isi lisan. Dampak lain yang mungkin bisa juga tercipta adalah kita menjadi pribadi yang terlalu cepat menyimpulkan. Apabila ditarik ke dalam konteks sosio-religius, orang yang jarang membaca akan lebih mudah terseret arus paham tekstualis. Mengapa itu bisa terjadi?
Begini, paham tekstualis itu selalu menginterpretasikan nas apa adanya. Misalnya saat ada nas yang memaparkan bahwa darah orang kafir itu halal, maka mereka akan menganggap bahwa tindakan membunuh orang kafir itu akan selalu diganjar surga. Padahal, kita semua tahu bahwa menarik hukum dari nas tidak sesederhana itu. Ada banyak aspek yang perlu diperhatikan.
Bagi anak muda yang jarang membaca, apa yang ditawarkan oleh paham tekstualis tentu tampak lebih lezat ketimbang paham lainnya. Alasannya, apa yang disuguhkan oleh paham tekstualis itu lebih gampang dicerna pikiran menurut mereka. Tak perlu belajar tata bahasa Arab, kaidah fikih, ulum Al-Qur’an, ulumul hadis, dan sebagainya.
Cukup berbekal terjemah, mereka merasa dapat memahami kandungan makna suatu nas. Kalau seperti ini, lalu apa bedanya anak muda dewasa yang jarang membaca dengan anak usia SMP? Mestinya anak muda dewasa itu lebih bisa memahami sesuatu yang kompleks, bukan malah menelan semua yang di depan mata apa adanya.
Anak muda itu aset sekaligus harapan. Jika kebanyakan anak muda lebih tertarik dengan paham tekstualis, maka mereka akan berubah menjadi ancaman. Pasalnya, kita tidak pernah tahu kapan mereka bertindak dengan berdasar pemahaman yang kurang tepat. Tindakan level menengah yang mungkin bisa muncul adalah penuduhan kafir terhadap orang-orang yang praktik beragamanya tak sama dengan mereka.
Adapun tindakan buruk level atas yang bisa saja terjadi—dan memang sudah banyak terjadi—adalah bom bunuh diri. Dua contoh tindakan termaktub tentu merupakan sesuatu yang salah dan tidak sepatutnya terjadi. Mitigasi terhadapnya harus mulai dan selalu dilakukan. Apabila peran kita orang tua, kita harus mendorong anak muda untuk banyak membaca. Namun, apabila kita seorang anak muda, kita harus mulai mengeksplorasi beragam referensi, sehingga kita tidak punya paradigma yang sempit.
Urgensi membaca sebenarnya sudah digaungkan sejak Rasulullah saw menerima wahyu pertama. Hal ini lantas dipraktikkan oleh ulama-ulama generasi berikutnya dan lahirlah banyak karya tulis masterpiece dari tangan mereka. Dalam lingkup pendidikan, sebenarnya para guru di sekolah juga sudah menggemakan pentingnya membaca kepada murid-muridnya. Lantas, apa yang membuat anak muda kurang tertarik untuk membaca?
Menurut pengamatan sekilas saya, ada tiga faktor. Pertama, membaca adalah aktivitas yang membosankan menurut kebanyakan anak muda. Kedua, sebagian besar orang tua tidak memberi contoh rajin membaca. Ketiga, media sosial lebih seksi dan menyenangkan ketimbang buku.
Tiga faktor tersebut jelas membuat jihad literasi akan sangat berat. Namun, kita tidak selayaknya berpangku tangan dan diam saja. Sebab, bila kita pasrah dan tak melakukan apa-apa, persentase kemungkinan tumbuhnya bibit-bibit paham tekstualis pada anak muda kita akan semakin besar. Semoga hal tersebut tidak terjadi. Wallahu A’lam.