31.8 C
Jakarta

Relasi Sosial Hizbut Tahrir dan Militer di Indonesia (Bagian I)

Artikel Trending

KhazanahResonansiRelasi Sosial Hizbut Tahrir dan Militer di Indonesia (Bagian I)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Abstrak

Hizbut Tahrir (HT) sebuah gerakan pemikiran dan politik transnasional bercita-cita mendirikan Khilafah global melalui peralihan kekuasaan di suatu negara secara revolusioner, menyeluruh dan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Menurut doktrin HT peralihan kekuasaan yang demikian hanya dapat dilakukan oleh militer. Penelitian ini mengkonstruksi hubungan Hizbut Tahrir dengan militer di Indonesia, dari sejak lahirnya grup kajian yang pertama halaqah ula (1985) sampai sekarang (2021).

Berdasarkan legalitasnya, ada tiga fase yang dilalui oleh Hizbut Tahrir Indonesia yaitu fase sebelum terdaftar sebagai organisasi resmi (1985 – 2006), fase menjadi organisasi kemasyarakatan resmi (2006 – 2017) dan fase menjadi gerakan ilegal (2017 – sekarang). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan metode analisis konten berbasis data primer dan sekunder dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan studi dokumen, kemudian dilakukan uji validasi data dengan triangulasi data. Ditemukan beberapa pola dan pendekatan hubungan sosial yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir, serta respon yang sepadan dari militer sesuai situasi sosial dan politik saat itu.

Kata kunci: Hizbut Tahrir; militer; conveyor belt; terorisme

Pendahuluan

Sebagai sebuah paham, radikalisme menyasar ke semua elemen masyarakat. Ibarat debu, radikalisme dapat menempel di mana saja. Termasuk di kalangan militer (Ayik H 2022). Radikalisme di kalangan militer pertama kali diungkapkan oleh Menteri Pertahanan (2014-2019) Ryamizard Ryacudu, bahwa 3% prajurit Tentara Naional Indonesia (TNI) terpapar paham radikal (Hadi 2019).

Tiga tahun kemudian, hal ini mencuat kembali setelah Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo pada Rapat Pimpinan TNI-Polri, selasa 1 Maret 2022, menyinggung tentang penceramah radikal yang diundang oleh istri-istri TNI-Polri (Nugraheny Erika Dian 2022).

Kemudian dalam rangka menindaklanjuti arahan Presiden tersebut, Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Jenderal, Dudung Abdurrahman memerintahkan kepada semua Panglima Daerah Militer (Pangdam) dan Panglima Resort Militer (Danrem) supaya tidak mengundang penceramah radikal (Noviansah Wildan 2022) .

Menurut Brigjen. Pol. R. Ahmad Nurwakhid, SE, MM, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI), ada lima ciri penceramah radikal antara yaitu: 1) Anti Pancasila dan pro khilafah transnasional; 2) Berpaham takfiri kepada sesama agama dan kepada agama lain; 3) Anti pemerintah yang sah, dan melakukan kegiatan memutus kepercayaan masyarakat kepada pemerintah (distrust) dengan cara menyebarkan fitnah, hoaks, adu domba dan ujaran kebencian; 4) Bersikap eksklusif, intoleransi dan anti pluralitas; 5) Anti budaya dan kearifan lokal (JPNN 2022).

Dalam arahannya, Presiden Joko Widodo menyebut sikap sebagian oknum prajurit TNI dan anggota Polri yang turut menolak keputusan pemerintah tentang pemindahan ibukota negara di grup-grup WA (Whatsapp) (Andri 2022). Hal ini mengarahkan kepada kelompok radikal yang dimaksud adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI adalah kelompok radikal paling keras menolak ibukota negara (IKN) dari Jakarta ke Penajam Kalimantan.

Mereka melakukan penggalangan opini secara terstruktur, sistematis dan massif agar masyakarat menolak IKN. Melalui media dalam jaringan (daring), akun dan channel media sosial (Facebook, Youtube dan Tiktok) dan aplikasi pesan (Telegram dan Whatsapp) yang berafiliasi dengan HTI. Tercatat dari 12 April 2020 sampai 25 Maret 2022, website Tintasiyasi menurunkan 52 artikel tentang IKN. Website Media Umat sebanyak 34 artikel.

BACA JUGA  Bimtek PPIH 2024: Upaya Kementerian Agama Melahirkan Uwais Al-Qarni di Zaman Modern

Sedangkan channel youtube Pusat Kebijakan Analisis Data (PKAD) merilis 48 video yang membahas IKN. Mimbartube 35 video, Ahmad Khozinudin 30 video, RayahTv sebanyak 16 video, Muslimah Media Center 12 video, Multaqa Ulama Aswaja TV 3 video, Ngaji Shubuh 2 video dan Media Umat 1 video. Media-media tersebut memiliki kemiripan dalam isu, narasi, narasumber dan ide pokok.

Radikalisme yang mengarah kepada terorisme, tidak dapat dipisahkan dari upaya penanggulangan terorisme secara keseluruhan. Hubungan erat antara radikalisme dengan terorisme dapat digambarkan sebagai berikut; Jika radikalisme itu jiwa, maka terorisme yang menjadi raganya. Jika radikalisme itu hulu, maka terorisme adalah hilir. (Ahmad Nurwakhid 2021).

Jika radikalisme itu software, maka terorisme yang menjadi hardware. Jika radikalisme itu adalah sebab, maka terorisme adalah akibatnya. Radikalisme merupakan faktor independen, sedangkan terorisme faktor dependen. (Ayik H 2020). Artinya, terorisme pasti dilatarbelakangi oleh radikalisme, namun, radikalisme tidak otomatis berujung kepada aksi terorisme (Ahmad Nurwakhid 2021).

Radikalisme terdiri dari kata radikal dan isme. Radikal berasal dari bahasa Yunani: radix yang berarti akar. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan, radikal berarti (a) secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip); (b) amat keras menuntut perubahan (undang-undang atau pemerintahan); (c) maju dalam berpikir atau bertindak.

Kamus Cambridge mendefinisikan radikal sebagai upaya dalam mempercayai dan mengekspresikan keyakinan bahwa perubahan sosial atau politik harus dilakukan secara ekstrem. Radikalisme adalah paham yang menginginkan perubahan secara mendasar dan menyeluruh terhadap sistem politik, pemerintahan dan negara. Sedangkan proses meradikalkan pemikiran dan tindakan seseorang disebut radikalisasi (Galib, Islam, and Alauddin 2021).

Radikalisme dilatarbelakangi oleh beberapa hal, salah satu di antaranya adalah pemahaman agama, berupa kekurangpahaman dan atau kesalahpahaman. Radikalisme yang berujung kepada aksi terorisme merupakan bentuk penyimpangan dari ajaran agama. Hal ini terjadi karena asumsi, sangkaan, tafsiran dan pemahaman, bahwa penggunaan kekerasan dalam menegakkan ajaran agama sebagai bagian dari ajaran agama yang disebabkan oleh faktor ketidaktahuan, kesempitan jiwa dan ketidakjujuran hati seorang radikalis (Setiawandari, Munandar, and Hannase 2020).

Oleh sebab itu, pencegahan terorisme harus dimulai dari pencegahan radikalisme. Ibarat sebuah pohon, radikalisme berperan sebagai batang, cabang dan ranting; Maka terorisme adalah buahnya (Ahmad Nurwakhid 2021).

Dengan alasan, pertama, HTI sebagai organisasi masyarakat (ormas) yang berbadan hukum tidak berperan positif dalam pembangunan guna mencapai tujuan nasional; Kedua, kegiatan yang dilakukan oleh HTI terindikasi kuat bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, NKRI sebagaimana yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2013; Ketiga, aktivitas HTI dinilai dapat memicu benteran masyarakat dan mengancam NKRI, maka pemerintah melalui Menteri Politik, Hukum dan Keamanan, mencabut badan hukum HTI.

Pencabutan badan hukum HTI pada tanggal 19 Juli 2017 oleh Kementerian Hukum dan HAM, (Hukum 2017; Humas Kemenko Polhukam 2017), dikuatkan dengan putusan Mahkamah Agung RI dengan nomor putusan 27 K/TUN/2019 (Kepaniteraan Mahkamah Agung RI 2019), tidak serta dapat menghentikan kegiatan mereka. Sebagai gerakan pemikiran dan politik (gerakan ideologis), pencabutan badan hukum bukan berarti pencabutan ideologi. HTI menegaskan bahwa mereka tetap bergerak, sebagaimana yang ditegaskan oleh M. Ismail Yusanto (Jurubicara HTI) setelah mendengar putusan Mahkamah Agung (Imam 2017).

Bersambung…

Ayik Heriansyah
Ayik Heriansyah
Mahasiswa Kajian Terorisme SKSG UI, dan Direktur Eksekutif CNRCT

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru