27.6 C
Jakarta
Array

Relasi Ideologis Hukum Negara dan Hukum Islam di Indonesia

Artikel Trending

Relasi Ideologis Hukum Negara dan Hukum Islam di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Indonesia, dalam arti khusus, merupakan suatu ikatan besar yang merangkul jutaan manusia dengan segala ketentuan hukum yang menyertainya. Setiap individu –tanpa terkecuali- wajib mennyerahkan diri sepenuhnya untuk mematuhi segala ketentuan yang telah ditancapkan di dalamnya. Akan tetapi di sisi lain, manusia yang tengah menjalani proses berhukum di Indonesia, “secara langsung” juga tengah menjalani proses berhukum dalam sudut yang berbeda, yaitu agama. Ironisnya, masing-masing ikatan tersebut memiliki aturan dan ketentuan tersendiri yang keduanya harus dijalani oleh masyarakat Indonesia dalam waktu yang bersamaan.

Keharusan untuk menjalankan dua ketentuan dalam satu waktu ini lah yang belakangan sering menjadi pemicu dari beberapa kekacauan dan konflik yang terjadi di Indonesia. Yaitu ketidakbijaksanaan sebagian individu atau golongan tertentu dalam menyikapi dua hal di atas. Mereka tidak mampu mengkrompromikan dua hal (yaitu hukum negara dan hukum agama), yang mestinya mampu dibawa menuju satu arah dan dijalankan beriringan dalam waktu yang sama. Mereka beriskukuh untuk memprioritaskan salah satu saja, dan berusaha untuk menafikan yang lainnya.

Pancasila sebagai Falsafah Hukum Negara

Sebagai sebuah Negara yang berdaulat, Indonesia memiliki tatanan-tatanan hukum yang diperuntukkan bagi terciptanya kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis. Tanpa adanya hukum, suatu kehidupan sosial tidak mungkin mampu berjalan dengan baik dan aman. Oleh sebab itu, para pakar hukum dan ahli tata Negara yang terlahir di bumi pertiwi ini, mulai dari zaman terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai detik ini, tak pernah berhenti memikirkan berbagai persoalan hukum berikut solusi-solusi nya demi terciptanya kehidupan yang damai di tengah masyarakat.

Pandangan hidup bangsa Indonesia terangkum dalam perumusan sila-sila Pancasila yang dijadikan falsafah hidup bernegara berdasarkan UUD 1945. Sebagai padangan hidup bangsa dan falsafah bernegara, Pancasila merupakan sumber hukum dalam arti materiil yang tidak saja menjiwai, tetap bahkan harus dilaksanakan dan tercermin oleh dan dalam setiap peraturan hukum Indonesia. Dengan demikian, setiap peraturan hukum yang bertentangan dengan Pancasila tidak boleh berlaku.

Sekilas tentang Prinsip Dasar Hukum Islam

Secara umum, hukum-hukum yang terdapat di dalam Islam menyentuh seluruh lini kehidupan manusia. Mulai dari hal-hal yang dilarang (haram), dibenci (makruh), dibolehkan (mubah), dianjurkan (sunnah), dan diwajibkan (wajib) . Persoalan yang dibahas pun juga menyangkut hal-hal yang selalu mengitari kehidupan manusia, yaitu interaksi sosial antarsesama manusia (mu’amalah) dan interaksi manusia dengan Tuhannya (ibadah).

Di dalam Islam, terdapat lima tujuan utama diberlakukannya hukum-hukum syari’at dalam kehidupan manusia, yaitu :
1. Menjaga Agama (Hifzh al-Din), misalnya shalat.
2. Menjaga Jiwa (Hifzh al-Nafs), misalnya anjuran makan dan minum.
3. Menjaga Harta (Hifzh al-Maal), misalnya jual beli.
4. Menjaga Akal (Hifzh al-‘Aql), misalnya larangan meminum sesuatu yang memabukkan.
5. Menjaga Keturunan (Hifzh al-Nasl), misalnya larangan berzina.
6. Menjaga Kehormatan (Hifzh al-‘Aradh), misalnya larangan mencaci orang lain.

Relasi Ideo-Historis antara Hukum Negara dengan Hukum Islam di Indonesia

Sebagai sebuah negara yang berasaskan Pancasila, Indonesia telah menampilkan dirinya sebagai negara yang hidup dibawah suatu payung hukum, guna tercapainya kehidupan bernegara yang damai. Payung hukum itu tercipta tatkala para pendiri bangsa (founding fathers) bermufakat pasca terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditandai dengan pembacaan teks Proklamasi oleh Ir. Soekarno.

Sehari setelah peristiwa itu, tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945, Pancasila secara resmi dimurnikan dan dipadatkan menjadi Dasar Negara, dimana ia merupakan inti dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Di Indonesia, rumusan Pancasila (lima pilar utama yang selanjutnya menjadi dasar negara (yaitu): Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia) merupakan bentuk “kompromi” antara pandangan sekuler (yang menganggap tidak perlu ada peran agama dalam ranah negara) dengan pandangan agamis (khususnya Islam sebagai agama terbesar di Indonesia yang menganggap agama harus berperan dalam proses bernegara).

Memberikan inspirasi baru terhadap penerapan nilai-nilai Islam merupakan suatu hal yang diperkenankan, selama tidak bertentangan dengan Pancasila. Di sisi lain, hal ini juga menjadikan Indonesia terbebas dari tuduhan sebagai “negara yang sekuler” meskipun tidak memproklamirkan dirinya menjadi sebuah negara Islam.

Supriyadi melalui kutipannya terhadap pendapat Soenarjo menyebutkan bahwa hukum Islam memiliki tujuh prinsip utama, yaitu :

1. Prinsip Tauhid (al-Tauhid)
Yaitu suatu prinsip yang bermuara pada pengesaan Tuhan. Dalilnya terdapat dalam Q.S. Ali Imran (3): 64. Hal ini senada dengan bunyi sila pertama, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

2. Prinsip Keadilan (al-‘Adl)
Ada empat makna adil. Pertama, adil dalam arti sama; Kedua, adil dalam arti seimbang; Ketiga, adil dalam arti menempatkan sesuatu pada tempatnya’ Keempat, adil dinisbatkan kepada Allah. Dalil perintah berbuat adil terdapat dalam Q.S. al-A’raf: 29. Hal ini senada dengan sila kelima, yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

3. Prinsip Persamaan (al-Musawah)
Dengan prinsip ini, setiap individu, kelompok dan golongan mempunyai hak yang sama dalam pandangan hukum Islam. Yang membedakannya hanyalah ketaqwaannya di sisi Allah. Q.S. al-Hujurat (49): 13. Hal ini juga senada dengan sila yang kelima, yaitu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (tanpa pandang suku dan ras).

4. Prinsip Kemerdekaan/Kebebasan (al-hurriyyah)
Prinsip kebebasan dapat dijumpai pada beberapa ayat di dalam al-Qur’an. Salah satunya yaitu Q.S. al-Baqarah (2): 256. Hal ini senada dengan kalimat yang tertera dalam pembukaan UUD 1945 pada alenia pertama yang berbunyi, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

5. Prinsip Perintah Kebaikan dan Mencegah Kemungkaran (al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyu ‘an al-munkar)
Prinsip ini menjadi pengendali kehidupan umat manusia agar terhindar dari segala bentuk kemudharatan. Hal ini sangat berimbang dengan tujuan utama dibentuknya hukum perudang-undangan negara, yaitu untuk mencegah terjadinya keburukan di tengah kehidupan masyarakat.

6. Prinsip Tolong-Menolong (al-Ta’awun) dan Musyawarah (al-Shura)
Untuk menghasilkan produk hukum yang sesuai dengan kemaslahatan manusia, Islam mengajarkan penganutnya untuk tolong menolong dalam kebaikan dan mengadakan musyawarah. Hal ini senada dengan semangat yang dibangun oleh hukum negara, yaitu agar masyarakat saling menolong dalam kebaikan agar tercipta kehidupan yang damai. Juga senada dengan isi sila yang keempat. Ayat yang berkenaan dengan prinsip ini terdapat dalam Q.S. al-Maidah (5): 2; Q.S. Ali Imran (3): 159.

7. Prinsip Toleransi (al-Tasamuh)
Prinsip ini menegaskan bahwa perbedaan pandangan dalam melihat sebuah hukum, kerena perbedaan teori, metode, dan pendekatan yang dipakai dalam penggalian hukum Islam hendaknya disikapi dengan lapang dada. Dengan arti, meskipun kesimpulan hukum yang diperoleh oleh satu kelompok dengan kelompok lain berbeda, namun mereka masih berada dalam agama yang satu, yaitu Islam. Hal ini senada dengan semboyan negara Indonesia, yaitu “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti “meski berbeda-beda namun tetap satu”.

Relasi Bilateral antara Hukum Negara dan Hukum Islam

Sebuah kaidah Ushul Fiqh menyebutkan :
الْمُحَافَظَةُ عَلَى اْلقَدِيْمِ الصَّالِحِ وَالْأَخْذُ بِالْجَدِيْدِ الْأَصْلَحِ
“Melestarikan khazanah masa lalu dan mengakomodasi khazanah masa kini yang dinilai efektif-fungsional bagi reformasi hukum Islam kontemporer.”

Kaidah di atas memberikan isyarat bahwa suatu hal yang telah lama ada, jika dianggap masih relevan dan cocok untuk diaplikasikan, maka hal itu dapat dilanjutkan dan dilestarikan. Namun jika hal tersebut –setelah  dikontekstualisasikan dengan keadaan masyarakat tertentu— dirasa tidak relevan dan dianggap mustahil untuk diterapkan, maka membuat suatu terobosan baru dengan tidak mengubah tujuan dan eksistensi sebelumnya, menjadi sangat pantas untuk diterapkan.

Masyarakat Indonesia yang memiliki kultur dan budaya tersendiri –yang dalam banyak tempat memiliki banyak perbedaan dengan masyarakat Arab—, membutuhkan suatu payung hukum yang mampu menaungi segala persoalan yang terjadi di tengah kehidupan mereka. Di sisi lain, mereka telah menerima agama Islam sebagai agama yang harus dipegang dan diamalkan.

Realita sejarah membuktikan, bahwa agama Islam yang muncul di lingkungan kehidupan masyarakat Arab tidak jarang harus mengadopsi beberapa kebiasaan yang biasa mereka lakukan, dengan tujuan agar nilai-nilai baru yang ditawarkan oleh Islam dapat diterima dan diamalkan dengan mudah.

Syariat Islam bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan umum masyarakat . Salah satunya ialah dengan menerapkan sistem pemerintahan yang sejalan dengan pola kebiasaan hidup masyarakat tersebut. Islam menanamkan nilai-nilai, sedangkan negara mewujudkan nilai-nilai tersebut menggunakan langkah-langkah yang paling relevan dengan kondisi sosial masyarakatnya.

Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa tidak ada pertentangan sedikitpun antara hukum Negara dengan hukum Islam selama hukum yang ditegakkan itu sejalan dengan prinsip-prinsip dasar dalam agama Islam. Sehingga Indonesia dapat tetap berdiri kokoh dengan pondasi-pondasi dasar Negaranya dan saling bahu-membahu dengan nilai-nilai universal Islam.

 

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru