32.7 C
Jakarta
Array

Relasi Akhlak Anak-Bapak (Bagian II)

Artikel Trending

Relasi Akhlak Anak-Bapak (Bagian II)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Perasaan merupakan urusan hati. Hati bersih akan mudah menghormati dan mentaati orang tua. Oleh karena itu sangat penting sekali bagi anak untuk menjaga perasaan orang tua agar tidak terluka.

Pada dasarnya menghormati orang yang lebih tua merupakan bagian nilai moral yang berlaku di manapun dan kapanpun. Sehingga sangatlah aneh bilamana seseorang yang bisa menghormati orang lain yang lebih tua darinya namun rasa penghormatan kepada bapaknya kurang terasa. Padahal Nabi saw sebelumnya telah memperingatkan, “Bukan dari golonganku orang yang tidak menyayangi yang lebih muda dan tidak menghormati yang lebih tua”. Hadis yang   diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitabnya al-Adab al-Mufrad (1375 H) beserta al-Tirmidzi dalam sunan-nya (1978), ini mengisyaratkan keseimbangan relasi emosional dan moral antara seorang anak dengan bapaknya. Perlu digarisbawahi bahwa redaksi yang diungkapkan Nabi saw (tawqîr) tidak hanya berarti sebatas penghormatan namun juga disertai rasa pengagungan. Sehingga jika hubungan emosional dan moral antara anak dengan bapaknya bisa seimbang, maka dapat dipastikan keindahan berkeluarga akan terasa.

Patuh dengan perintah dan larangan ibu bapak sangat dianjurkan dalam agama. Sebab taat pada ibu-bapak merupakan harga mati bagi orang yang mengharapkan keberkahan hidup. Bagaimana tidak, kerelaan seorang ayah berasal dari kerelaan Tuhan, murka ayah bersumber dari murka Tuhan. Kurang lebih demikian ungkapan masyhur yang berkenaan dengan relasi anak dengan orang tua. Namun perlu dicatat, ketaatan kepada ibu-bapak itu masih dalam bingkai ketaatan kepada Tuhan. Kita bisa kembali merujuk pada sejarah, bagaimana nasib putra Nabi Nuh as yang tidak patuh dengan perintah ayahnya untuk bersama naik perahu dan menjauhi orang-orang yang ingkar? Ia secara langsung mendapat azab, air bah menelannya bahkan ia pun tidak dianggap oleh Tuhan sebagai ‘anak’ ideologi Nabi Nuh as.

Selanjutnya seorang anak dituntut agar menjaga perasaan orang tua. Jangan sampai sekalipun anak menyakiti ibu-bapak dengan cara apapun. Baik menyakiti secara fisik maupun perasaannya. Bahkan ucapan “cuih” pun dilarang Al-Quran. Bagi rakyat Indonesia, cerita rakyat Malin Kundang cukup menjadi pelajaran seorang anak untuk tetap menjaga perasaan ibu bapaknya.

Ihsân kepada bapak dalam ucapan sejatinya tetap mengacu pada menjaga perasaan orang tua. Sehingga ucapan kasar sangat dilarang diungkapkan kepada ibu-bapak agar hati mereka berdua tidak terlukai. Sebagai gantinya ungkapan lemah lembut yang menyejukkan menjadi opsi tunggal dalam interaksi verbal dengan keduanya.

Al-Quran sangat melarang untuk menghardik ibu-bapak. Ucapan kasar lagi keras sangat tidak mencerminkan penghormatan anak kepada orang tuanya. Bagaimanapun seorang ayah pernah salah, namun sangat tidak pantas suara bentakkan dialamatkan padanya. Kita bisa melihat kembali kisah Nabi Ibrahim as saat orang tuanya –jika tidak mau menyebutnya sebagai ayahnya atau pamannya karena kelemahan riwayat- menyembah berhala yang tidak bisa mendengar dan melihat. Bukan hentakkan maupun hardikkan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as. Akan tetapi diskusi sehat dan sopan yang ditempuhnya. Melihat orang tuanya dalam kegelapan kesesatan paganisme, tidak serta merta membuat Nabi Ibrahim as langsung marah-marah melarangnya. Penggunaan redaksi larangan secara ‘telanjang’ tidak didahulukan oleh Nabi Ibrahim as dalam diskusi itu. Namun bertanya terlebih dahulu untuk memastikan, “apa engkau menjadikan patung-patung sebagai sesembahan?” Qs. Al-Anʻâm [6]: 74. Setelah terbukti menyembahnya, Nabi Ibrahim as tidak langsung melarang namun menanyakan alasannya terlebih dahulu, “Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mampu mendengar, melihat dan memberimu kecukupan sedikitpun?” Lalu Nabi Ibrahim as mengutarakan dasar ketidaksetujuannya dengan apa yang dilakukan orang tuanya. Baru setelah itu ungkapan larangan bagi orang tuanya keluar dari mulut Nabi Ibrahim as. Larangan itu terpaksa dilontarkan oleh Nabi Ibrahim as sebagai bentuk penghormatan dan balasan kasih sayang agar bahaya dan celaka tidak menimpanya. Nabi Ibrahim as hanya melakukan tugasnya untuk mengingatkan, diterima tidaknya bukan menjadi urusannya. Lihat Qs. Maryam [19]: 42-47. Semoga kita semua bisa meneladani sopan santun Nabi Ibrahim as.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru