Rektor ISI Yogyakarta Tolak HTI
Harakatuna.com. Yogyakarta. Civitas Akademika Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta bergolak. Sekitar 300-an mahasiswa, dosen, alumnus ISI menggelar aksi menolak HTI di halaman rektorat kampus ISI pada Jumat siang, 17 Juni 2016. Penggagas aksi itu antara lain alumnus ISI yang menjadi dosen Institut Kesenian Jakarta, Tomy Widiyatno Taslim. Mereka juga bergerak bersama masyarakat Kecamatan Sewon dengan menghadirkan Lurah Desa Sewon Wahyudi.
Mereka membentangkan spanduk “ISI Tolak HTI” dan memasang lambang Pancasila. Mereka juga berselawat, menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan berdoa. Ada pula seniman yang menggelar aksi teatrikal mengecat tubuh berkarakter gambar Pancasila. Seniman Yustoni Voluntero mengenakan sarung dan kopiah berorasi menolak penyebaran gerakan khilafah di ISI.
Rektor ISI Yogyakarta Agus Burhan datang untuk memberi pernyataan sikap rektorat. Isinya adalah rektorat segera mengeluarkan surat keputusan larangan organisasi masyarakat dan partai politik menyebarkan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. “Bukan hanya HTI, tapi semua ormas dan parpol tidak boleh di kampus,” ujar Burhan.
Menurut Burhan, penyebaran ideologi HTI itu mengganggu kegiatan kemahasiswaan, pengembangan bidang ilmu, dan perkuliahan serta menghambat kreativitas. Gerakan khilafah yang membatasi kebebasan berekspresi itu, tutur Burhan, tidak sejalan dengan pengembangan bidang keilmuan ISI Yogyakarta. Penyebaran ideologi itu muncul di ruang-ruang kuliah melalui dosennya. Sejumlah pengajar tidak mau mengampu mata kuliah yang menggambarkan manusia.
Selain itu, kajian tentang khilafah berlangsung di Masjid Al-Mukhtar kampus ISI. Burhan menyebutkan kegiatan ibadah di masjid itu didominasi kelompok tertentu. Ini menggambarkan situasi kampus yang tidak sehat. Tak hanya di ISI, penyebaran gerakan khilafah, menurut Burhan, juga terjadi di Universitas Islam Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Namun juru bicara organisasi masyarakat Hizbut Tahrir Indonesia pusat, Muhammad Ismail Yusanto, mengatakan organisasinya tidak menghambat seni di kampus-kampus, di antaranya Institut Seni Indonesia Yogyakarta. “Tapi seharusnya seni dikendalikan norma agama,” kata Ismail ketika dihubungi, Jumat, 18 Juni 2016.
Ismail memberi komentar atas gerakan penolakan HTI masuk kampus ISI Yogyakarta oleh mahasiswa, alumnus, dosen, dan masyarakat sekitar kampus itu. Penolakan terjadi karena gerakan yang mengusung khilafah itu masuk ruang akademik.
Sejumlah dosen yang diduga berafiliasi dengan HTI tidak mau mengajarkan materi seni rupa yang berhubungan dengan tubuh manusia, misalnya tidak boleh menggambar tubuh manusia. Selain itu, mereka menggelar kajian tentang khilafah di Masjid Al-Mukhtar kampus ISI.
Ismail membantah HTI bertentangan dengan Pancasila. Khilafah yang pihaknya maksud dalam gerakan itu berisi syariah, ukhuwah, dan dakwah. Menurut dia, HTI merupakan ormas Islam yang bergerak secara terbuka di kampus-kampus.
Di Yogyakarta, HTI juga menyebarkan ide-ide khilafah di Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Ahmad Dahlan, dan Universitas Gadjah Mada. “Kegiatan kami berdakwah dan non-kekerasan. Tidak mengerti apa yang dipersoalkan,” ucapnya.
Dia tidak setuju jika HTI dengan khilafahnya dituding tak sesuai dengan Pancasila. Ismail meminta ada yang membuktikan bahwa HTI bertolak belakang dengan dasar negara Indonesia. “Ini upaya membungkam dakwah Islam dengan topeng bertentangan dengan Pancasila,” ujarnya
BANGSAONLINE