29.1 C
Jakarta
Array

Rekonstruksi Kebangsaan dalam Turbulensi Globalisasi

Artikel Trending

Rekonstruksi Kebangsaan dalam Turbulensi Globalisasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Indonesia, negeri berdaulat yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Berbagai suku, agama, ras dan kultur berbeda tersebar diseluruh bentangan bumi Nusantara. Nilai-nilai kebangsaan yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945, merupakan cermin peradaban, bahwa manusia Indonesia telah mencapai kematangan pola pikir yang bijaksana. Indonesia adalah bangsa besar yang memiliki spirit wawasan kebangsaan berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan oleh karenanya memiliki landasan moral, etik dan spiritual, serta berkeinginan untuk membangun masa kini dan masa depan bangsa yang sejahtera lahir dan batin, material dan spiritual, didunia dan akhirat (Yudohusodo, 1996:13).

Namun, betapa sayangnya dan sungguh memiriskan pada melenium 21 ini, ada indikasi menurunnya spirit wawasan kebangsaan dan ketaatan terhadap nasionalisme dalam tubuh bangsa besar kita. Nilai-nilai intrinsik dan fundamental bangsa yang selama ini menjadi landasan pembangunan kebangsaan dan kenegaraan –mulai, sedikit demi sedikit– tereduksi maknanya. Tak lain karena terlalu silau dengan nilai-nilai baru yang datang secara mencengangkan, yang belum tentu sesuai dengan karakter dan kultur bangsa Indonesia.

Itulah globalisasi. Atas nama globalisasi inilah terjadi pencarian budaya baru yang lebih relevan. Ekstrimnya, disini tidak peduli apakah identitas, yang berpangkal pada identitas kebangsaan (religiusitas dan nasionalisme) harus ditanggalkan. Parahnya lagi, relevansi ini terkesan mudah goyah, berganti, dan terus berganti hingga mencabut akar tradisi yang memang sudah tidak kokoh. Maka, menetaslah budaya baru (new culturalism) yang sama sekali baru dan modern, bukan berkiblat pada Barat maupun Timur, namun bisa jadi lebih parah-menyesatkan.

Globalisasi adalah suatu keniscayaan, sebagai hal yang kini tak lagi dapat terelakkan. Terjangan arusnya telah melanda laksana sebuah kekuatan alami yang teramat sukar dibendung, hingga mengguncang akar-akar sendi kehidupan kita. Embrio konsep globalisasi yang mulai tumbuh tidak lama setelah usainya Perang Dunia II (sekitar 1950-an) telah menimbulkan suatu great acceleration dibidang iptek, ekonomi, politik, sosial dan budaya. Sejak dimulainya periode ini para peneliti, pakar, dan pemikir mulai khawatir dengan kehadiran globalisasi. Dan, Indonesia dapat dikatakan terlalu terbuka (tanpa ada perlawanan berarti, meskipun secara moral-etika) dihantamkan pada kikisnya kecintaan terhadap bangsa sendiri, dan lebih mengeksplorasi produk-produk globalisasi yang tak banyak membawa nilai positif.

Samuel P. Huntington lewat buku The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996) menuliskan bahwa dalam keadaan dunia yang semakin terglobalisasi, akan terjadi perusakan serius pada kesadaran diri pada tingkat peradaban, kemasyarakatan dan etnis. Dapat kita mengerti yang dimaksud Huntington ialah globalisasi adalah selubung hitam penghancur bangsa lewat praksis-praksisnya. Maka, tak lain tak bukan, secara nasional dan seluruh rakyat Indonesia harus mengerti (atau setidaknya tahu) bahwa problema bangsa besar kita untuk menghalau globalisasi ialah dengan menggugah ghirah kebangsaan, yakni perihal rasa religiusitas plus nasionalisme Indonesia ditengah tatanan perubahan dunia, yang berakselerasi dengan sangat-sangat cepat. Dengan kata lain, intinya disini ialah kita harus melakukan rekonstruksi kebangsaan ditengah arus deras turbulensi dari globalisasi.

Lantas mengapa harus dengan cara menggugah ghirah kebangsaan untuk mengusir globalisasi? Kita pahami bahwa masalah kita berakar pada tereduksi makna kecintaan terhadap bangsa sendiri. Nilai-nilai dan karakter bangsa kita waktu demi waktu kian terkikis. Inilah yang harus segera dibenahi lewat rekonstruksi wawasan kebangsaan, yang berangkat dari nilai-nilai dasar religiusitas dan nasionalisme. Ernest Gellner dalam Nations and Nationalism (1983) menyatakan bahwa nasionalisme-lah yang telah melahirkan sebuah bangsa. Meningkatnya religiusitas dalam tubuh sebuah bangsa adalah bagian dari nasionalisme itu sendiri. Dari itu bila kita simpulkan, religiusitas dan nasionalisme telah menjadi satu tubuh yang saling berikatan dalam wawasan kebangsaan.

Berbicara soal nasionalisme, kita tidak akan lepas dari pergerakan Budi Oetomo (1908). Hari lahirnya menjadi hari bersejarah, telah menggugah semangat nasionalisme dalam kancah pergerakan bangsa Indonesia. Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap tahun pada tanggal 20 Mei tidak semata seremonial belaka. Lebih dari itu makna kebangkitan nasional punya arti yang sangat penting dan strategis. Atas nama reformasi, dinamika dan problematika kebangsaan kita kian rumit. Tak hanya membuka pintu kerawanan internal, namun juga harus siap menangkis berbagai hantaman lewat retorika globalisasi.

Kemajemukan dengan Retorika Kebangsaan

Dekade terakhir ini (terlebih satu tahun terakhir) bangsa Indonesia mengalami semacam turbulensi intern. Kondisi politik yang bergejolak, bahkan berlarut-larut membuat panas perbincangan rakyat dan pemikir sosial, mulai dari kelas berdasi hingga warung kopi. Hadirnya fenomena overload information yang memunculkan hoax, menyerempet ke persoalan suku, agama, ras, adat (SARA) menyebabkan rakyat resah. Bahwa kemajemukan mulai dipermasalahkan, yang menimbulkan ketakutan terjadinya konflik.

Kemajemukan dalam kerangka bangsa Indonesia yang telah sedemikian rupa dibuat oleh Tuhan. Sesungguhnya kita hidup dalam keberagamaan, maka kita harus bersatu dalam keberagaman (unity in diversity). Ini sesuai prinsip dasar Bhinneka Tunggal Ika, sebagai pilar bangsa kita. Istilah yang diambil dari Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular, pujangga Majapahit ini pada konsepsinya berkomitmen untuk menjaga keutuhan NKRI baik secara geografis, secara politik, secara ekonomi dan tentu secara budaya. Keberagaman sama sekali bukan hal tabu. Yang mesti ditekankan disini ialah tak selamanya persamaan itu mendatangkan kedamaian. Justru, didalam keberagaman lebih mudah ditemukan kedamaian yang mutlak, yang lebih hakiki. Dimana manusia yang berbeda-berbeda, mulai dari agama, bahasa, warna kulit bisa hidup tentram dalam keberagaman. Maka, disinilah kita munculkan kosakata “indahnya kebergaman”.

Syarat untuk berlaku efektifnya kosakata ini, lewat pemahaman etik dan sikap keterbukaan berdasarkan tujuan yang satu: damai. Belajar untuk mengerti dan menjalankan bahwa setiap manusia adalah saudara bagi manusia lainnya. Bahwa setiap orang harus dipandang sebagai manusia, tanpa ada pengelompokan secara struktural, apalagi pengkastaan –yang ini sangat sentisif melahirkan perpecahan. Perbedaan bukan sesuatu yang menepis, melainkan memperkaya kesatuan. Negara tidak boleh membedakan perlakuan terhadap warganya. Semua berhak menikmati hak sosial, hak ekonomi dan hak politiknya. Dalam wujudnya yang paling konkrit, prinsip kebersatuan dan persatuan itu juga kita materialisasikan dalam konsepsi tentang negara konstitusional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Moerdiono (dalam Suprayogi, 1992) memaparkan bahwa nasionalisme adalah tekad untuk hidup suatu bangsa di bawah suatu negara yang sama, terlepas dari perbedaan etnis, ras, agama ataupun golongan. UUD 1945 yang di dalamnya terkandung roh Pancasila itu merupakan piagam pemersatu kita sebagai satu bangsa yang hidup dalam kesatuan wadah NKRI. Di dalam UUD 1945 itu, segala hak dan kewajiban kita sebagai warga negara dipersamakan satu dengan yang lain antar sesama warga negara. Sebagai warga masyarakat, kita beraneka-ragam, tetapi sebagai warga negara segala hak dan kewajiban kita sama satu dengan yang lain.

Pada suatu kesempatan, Soekarno pernah berpesan agar bangsa ini bertuhan secara kebudayaan. Bertuhan secara kebudayaan adalah bertuhan yang mengedepankan sifat toleransi, solidaritas, dan keterbukaan. Soekarno berkata, “Marilah kita amalkan, dijalankan agama, baik Islam maupun Kristen dengan cara yang berkeadaban; ialah hormat-menghormati satu sama lain.” Lima sila Pancasila harus dibaca dalam semangat kolektivitas yang memagari demokrasi dari kaum radikal. Ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan, dan keadilan adalah ide-ide kolektivitas. Kita tidak pernah bertuhan sendirian. Kita harus bertuhan sambil memelihara solidaritas antarmanusia. (Donny Gahral Adian, Kompas, 14/1/2017).

Kenyataannya, ternyata kini Islam yang berorientasi ke arah radikal (bila tak hendak menyebut Islam Radikal) sebagai ideologi kembali muncul ke permukaan. Radikalisme dan fanatisme adalah dua hal yang “berbahaya”. Kelompok ini harus kita dekati dan diberi pengertian bahwa NKRI berdasarkan Pancasila adalah pilihan terbaik, yang sama sekali tidak melanggar prinsip agama Islam. Dari bebagai ideologi politik dan paham agama, Pancasila dapat menimbulkan kepribadian secara selaras, serasi dan seimbang. Walau ada perbedaan cukup signifikan dari Piagam Jakarta ke Pancasila, sama sekali tidaklah bertentangan dengan hukum-hukum Tuhan dari berbagai keyakinan adat dan agama apapun di Indonesia.  Bagaimana kita memahami gairah umat dalam berbagai Aksi Bela Islam yang berulang-ulang terus dilakukan. Farouk Muhammad mencatat setidaknya tiga hal penting. Pertama, kesadaran masif-kolektif tentang satu identitas (keyakinan) yang harus dijaga bersama. Kedua, penunjukan atau pengejawantahan wajah demokrasi Muslim Indonesia yang bisa diajak superteduh dan damai. Ketiga, terdapat akar masalah serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang perlu disadari dan diselesaikan bersama demi masa depan Indonesia yang lebih baik. (Republika, 30/12/2016).

Rekonstruksi Nasionalisme

Upaya meningkatkan kecintaan terhadap tanah air Indonesia adalah keharusan dan tanggung jawab bersama. Dimulai dari diri sendiri untuk tetap berpegang teguh pada nilai-nilai religiusme dan nasionalisme yang bersumber dari nilai-nilai Pancasila. Melihat kenyataan pentingnya nasionalisme di era sekarang ini, membuat kita harus berpikir tentang bagaimana cara kita untuk bisa mengimplementasikan penanaman nilai-nilai nasionalisme tersebut dalam lingkup kehidupan sehari-hari. Perlu bagi kita untuk tahu bahwa nasionalisme berawal dari suatu kesadaran. Maka dari itu, nasionalisme dapat dijabarkan dan ditularkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu cara menanamkan nilai-nilai nasionalisme dalam lingkup kehidupan sehari-hari adalah melalui pendidikan.

Melalui proses pembelajaran di sektor pendidikan, maka nilai-nilai pendidikan karakter dapat dimasukkan. Mengingat bahwa penanaman nilai-nilai nasionalisme merupakan suatu pembelajaran yang bersifat abstrak, maka lembaga pendidikan pun harus mengemas pembelajaran dengan metode yang tepat agar pesan yang terkandung di dalamnya dapat diterima oleh semua orang sesuai dengan apa yang direncanakan. Ketika nasionalisme itu berkolaborasi dengan pendidikan, maka yang akan terjadi adalah adanya rasa saling menghargai, serta keharmonisan antar sesamanya. (Firman Yusup, 2011).

Nasionalisme berkeyakinan bahwa umat manusia terbagi dalam beraneka bangsa. Bahwa semua bangsa memiliki hak untuk memiliki pemerintahan dan menentukan nasibnya sendiri. Negara adalah satu-satunya unit politik yang sah sebagai penjaga identitas bangsa. Dari latar belakang ini perlu adanya untuk mengembalikan peran agama dalam menjawab problematika umat. Nasionalisme berakar dari sistem budaya suatu kelompok masyarakat yang saling tidak mengenal satu sama lain. Kebersamaan mereka dalam gagasan mengenai suatu bangsa dikonstruksikan melalui khayalan yang menjadi materi nasionalisme. Sebagai contoh dalam pandangan Ben Anderson, bahwa nasionalisme terbentuk dari adanya suatu khayalan akan suatu bangsa yang mandiri dan bebas dari cengkraman kekuasaan kolonial.

Pada akhirnya, diera globalisasi telah menyelebungi kehidupan, kita mestilah berpikir realita dan rasional. Melihat kondisi dan fakta lapangan, tidak mungkin globalisasi terhapuskan. Maka, sikap kita terhadap globalisasi haruslah jelas, yaitu protektif dan proaktif. Tidak sekadar antisipatif dan wait and see belaka. Disinilah kita harus berperan aktif ikut membentuk wujud globalisasi bertransformasi menjadi globalisasi dengan perangainya yang ideal, yaitu damai, berkeadilan, makmur dan berperadaban, tanpa menanggalkan identitas kebangsaan lewat rekonstruksi nilai-nilai kebangsaan dalam demi masa depan NKRI yang lebih baik.

*Muhammad Husein Heikal, analis Economic Action (EconAct) Indonesia. Tengah menyelesaikan studi Ekonomi Pembangunan di Universitas Sumatera Utara.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru